Kebenaran pasti menang, pun kejahatan pasti kalah. Ungkapan tersebut sering kita dengar dan kita yakini kebenarannya. Bahkan itu sudah tercetak dalam pikiran kita sejak kecil, sejak kita mampu mencerna jalan cerita sebuah film atau novel.
Masih inget kan, film ‘Satria
Bergitar’nya Rhoma Irama?
Hehe… yang jawab inget, pasti
sudah tua.
Itu hanya contoh saja. Rhoma,
Sang Pahlawan, Sang Pembela Kebenaran pasti menang.
Ungkapan di atas memang seolah
menjadi plot wajib bagi setiap penulis novel atau sutradara. Bahwa, si penjahat
harus kalah dan si pahlawan harus menang. Sangat jarang film atau novel yang
endingnya memenangkan si penjahat. Bahkan, saya belum pernah nonton film atau
baca novel, yang pemeran antagonis yang menang.
Tidak ada yang salah dengan
ungkapan di atas. Dan, emang ga salah.
Benar kok, yang benar itu pasti
menang.
Lalu masalahnya di mana, kok
judulnya pake tanda tanya?
Masalahnya, kalau ungkapan di
atas dimaknai secara sederhana, simpel, to the point, apa adanya, saenae dewe. Pokoke
sing bener kudu menang. Tidak bisa tidak, yang benar kudu menang.
Itu masalahnya.
Emang kenapa?
Ya kudu ada proses.
Ada proses atau jalan yang
berliku sampai kepada terbuktinya ungkapan tersebut. Perlu stamina kesabaran
yang tinggi dan daya tahan yang kuat, sampai terbukti yang jahat kalah. Jadi,
tidak semata-mata saat berada dalam kebenaran, maka otomatis kita akan menang.
Tidak bisa begitu, Ferguso!
Dalam film atau novel pun, selalu
dikisahkan ada alur yang panjang dan konflik tak berkesudahan, sebelum berakhir
dengan kekalahan si penjahat atau kemenangan bagi si pahlawan.
Dalam kenyataan pun demikian.
Siapa yang meragukan Rasulullah
Saw berada dalam kebenaran?
Tidak ada, kan? Semua yakin,
haqqul yaqin.
Tapi kenapa, saat mau hijrah ke
Madinah, Beliau harus sembunyi-sembunyi? Apa Beliau ga percaya bahwa kebenaran
akan menang? Apa Beliau ga yakin Allah Swt akan menolongnya?
Bukan!
Bukan ga yakin, dan bukan ga
percaya akan pertolongan Allah Swt.
Namun, strategi dan perlu tahu
diri.
Karena ada hukum alam yang lain. Bahwa, yang kuat akan menang melawan yang lemah. Itu yang perlu dipahami saat
memaknai ungkapan di atas.
Rasulullah itu sebagai qudwah, figur yang harus dicontoh. Maka, Beliau memberi contoh. Bagaimana saat sedang dalam
posisi lemah, walaupun di pihak yang benar, harus berhadapan dengan kekuatan
jahat. Apalagi kekuatan itu superior.
Jadi tahu dirilah, jangan mentang-mentang sedang berada di jalan yang benar. Main serobot saja, padahal di hadapan ada
kekuatan jahat yang dahsyat.
Seperti terlihat di gambar
berikut.
Pengendara motor itu ada di jalur yang benar, ada di posisi yang benar. Tapi, apakah dia harus ngotot, lanjut menjalankan motornya? Tidak kan!
Komentar
Posting Komentar