“De, Abang besok dinas luar kota lagi,” kata suamiku di
tengah sarapan.
“Perasaan sekarang jadi sering ke luar kota ya?” sahutku
sekaligus tanya.
“Maklum lah, De. Kantor Abang lagi buka cabang, semuanya
harus dipersiapkan, apalagi deadline pembukaan tinggal dua pekan lagi.”
Suamiku mengelap mulutnya dengan tisu dan meraih gelas berisi teh manis
kesukaannya.
Keletihan masih terlihat di wajahnya. Dipercaya menjadi
penanggung jawab pembukaan kantor cabang cukup menguras pikirannya, ditambah
keletihan fisik yang harus bolak-balik ke lokasi kantor cabang baru yang
berjarak dua ratus kilo meter, walaupun hanya dua tiga hari. Semuanya dilakukan
atas rasa tanggung jawabnya. Dan aku merasa bangga melihat semangat kerja
suamiku. Dan itu pula yang membuatku lima tahun lalu, menerima ajakannya untuk
membina rumah tangga. Selain ketaatannya dalam beribadah. Aku mengenalnya sejak
sama-sama kuliah dan menjadi aktivis rohis.
“Humaira ditinggal lagi dong,” kataku saat menyerahkan tas
kerjanya. Suamiku hanya tersenyum.
Humaira adalah panggilan putri kami, yang Allah amanahkan
sejak lima bulan yang lalu. Seorang putri yang membuat nuansa rumah kami ceria
kembali, setelah mulai sedikit membosankan tanpa kehadiran seorang anak. Kami
yang mulai dilanda saring curiga, siapa di antara kami yang mandul. Hadirnya
Humaira seolah cinta kami terbarukan. Apalagi suamiku, dia selalu menceritakan
kecantikan putrinya kepada teman-temannya. Dengan siapa pun dia bicara,
langsung maupun lewat telepon, selalu menyisipkan cerita tentang putri kami.
Kami sangat bahagia dengan kehadiran Humaira. Seorang putri
yang cantik yang terlahir normal, bahkan sejak bulan pertama kehamilanku tidak
merasakan sesuatu yang aneh, semua normal, bahkan terbilang lancar untuk ukuran
kelahiran pertama. Sehingga, Kami sangat kaget ketika dokter mengatakan bahwa
putri Kami ini punya kelainan di jantungnya, entah apa istilah kedokterannya,
yang jelas di usianya yang lima bulan ini, separuh waktunya harus bolak-balik menginap
di rumah sakit. Rupanya Allah memberikan amanah yang lain, amanah kesabaran
yang harus Kami jaga.
“Tahu ga, De?” Suamiku mengagetkanku dari lamunan, “Sejak
putri Kita yang cantik ini lahir, rasanya semangat Abang bertambah.”
“Ya iyalah, amanahnya kan bertambah, yang harus dijaga
sekarang dua orang.”
“Tapi sayang ya De ….”
Aku segera menempelkan tanganku di mulutnya sambil
menggelengkan kepala pelan. Aku tahu suamiku akan bicara apa, dan aku hanya
mengingatkan komitmen bersama untuk tidak membicarakan masalah penyakit putri Kami.
“Ayooo sudah jam delapan, nanti terlambat lho!” Aku meraih
tangan kanannya dan menciumnya.
***
Sehari ditinggal ayahnya, panas Humaira meninggi. Sebenarnya
ini sudah biasa, setiap malam, panas anakku ini selalu tinggi. Tetapi malam ini
sepertinya lebih panas dari biasanya. Tak mau ambil resiko, ku telepon adikku.
“Wan, antar kakak ke rumah sakit. Humaira panasnya tidak
normal.”
“Emang Abang kemana?”
“Dari kemarin dinas ke luar kota lagi.”
Lima belas menit kemudian, adikku tiba. Segera kubawa
Humaira ke rumah sakit dengan terpaksa naik sepeda motor. Berangin-angin di
malam yang menjelang tengah malam.
“Putrimu harus tidur di sini. Selain karena sudah malam,
juga ada yang sesuatu yang mengkhawatirkan di jantungnya.” Dokter Mira
menjelaskan dengan pelan setelah setengah jam aku menunggu pemeriksaan Humaira.
“Apa yang terjadi dengan jantungnya, Mir?” tanyaku kaget.
Mira adalah teman kuliahku, sehingga aku selalu memanggil namanya langsung.
Kebetulan juga malam ini sedang piket.
“Ya itulah, kami harus memeriksanya terlebih dahulu. Kau
pulang saja, istirahat dan berdo’a. Aku akan mengabarkan secepatnya begitu
hasil pemeriksaannya ada.” Dokter Mira memegang pundakku, berusaha
menenangkanku.
“Baiklah! Tolong ya, Mir. Humairaku.” Isakku tak bisa terbendung,
dan dibalas dokter Mira hanya dengan anggukan.
Aku pun pulang. Sampai di rumah sudah sepertiga malam, waktu
yang tepat untuk memohon pada Yang Kuasa. Segera aku salat tahajud, setelah
beberapa rakaat dan ditutup witir, aku tumpahkan kesedihanku kepada-Nya. Aku
sampaikan keinginanku. Kucurahkan semua perasaanku. Kututup dengan istighfar
dan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau beri hamba beban dengan beban yang di luar
batas kemampuan hamba dan sekiranya hamba tidak akan sanggup memikulnya.”
Ada perasaan tenang setelah salat tahajud berdoa. Aku pun
tertidur di sajadah.
***
Pukul 08:24 gawaiku berdering, aku yang sedang baca al-Qur’an
setelah Solat duha empat rakaat, segera setengah berlari ke ruang tengah,
berharap itu kabar dari dokter Mira. Aku tidak sabar mengetahui kabar putriku.
Ternyata suamiku yang menelepon. Aku pun segera menarik napas panjang sebelum
kujawab, berusaha menenangkan diri.
“Assalamu’alaikum, De. Lagi apa nih?” sapa suamiku.
“Wa’alaikum salam, baru beres duha, Bang,” jawabku dengan
suara dibuat setenang mungkin.
“Masyaallah, istri yang saleh. Aku hanya mau ngasih kabar,
Alhamdulillah … persiapan pembukaan kantor cabang sudah selesai. Jadi Abang
sore nanti juga sudah bisa pulang.”
“Alhamdulillah … kalau begitu Bang. Mau dimasakin apa nih
buat makan malam?”
“Apa pun menunya, kalau makan ditemani dua bidadari cantik
pasti nikmat. Oh ya. Mana Humairaku?”
Aku sebisa mungkin menahan gejolak jantungku, dan berusaha
setenang mungkin saat bicara, “Humaira sedang istirahat Bang.” Aku tidak
menjawab yang sebenarnya, khawatir mengganggu konsentrasi pekerjaan suamiku.
“Kenapa, panas lagi badannya?”
“Begitulah Bang! Abang ga usah khawatir, Humaira baik-baik
saja kok.”
“Ya sudah kalau begitu, Abang kerja lagi ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Entah mengapa perasaanku kali ini berbeda. Sudah beberapa
kali Humaira mengalami seperti semalam dan berakhir harus menginap di rumah
sakit. Tapi kali ini di hatiku seperti ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Sejak bangun tidur aku ingin segera menelepon dokter Mira,
tapi tidak jadi, karena teringat pesan Dia semalam, ‘begitu ada kabar hasil
pemeriksaan, aku segera memberitahumu’. Lagian, Dia memang tidak begitu suka
kalau ditelepon ditanya kondisi pasien.
Menunggu adalah kondisi di mana waktu seolah berjalan
melambat. Apalagi menunggu sesuatu yang sangat diinginkan sekali. Saat ini, aku
ingin sekali mendapatkan kabar Humaira. Tapi sampai hampir pukul sepuluh, yang
ditunggu belum tiba. Aku ingin menyusul ke rumah sakit, tapi mengingat
pengalaman sebelumnya, merasa akan percuma. Karena, tetap tidak akan diijinkan
masuk ke ruang perawatan anak, selama pemeriksaan belum selesai.
Untuk menghilangkan kegalauan, aku pun menyibukkan diri
dengan beres-beres rumah dan kemudian memasak, aku janji akan menghidangkan
menu kesukaan suamiku saat makan malam nanti.
Pukul 12 lewat gawaiku bunyi. Baru saja selesai melaksanakan
salat zuhur. Sebuah pesan masuk.
“Nis, kamu sebaiknya segera ke rumah sakit.”
Pesan yang pendek dari Mira. Pesan yang menambah kepanikan
dan kekhawatiranku. Mira biasanya langsung menelepon, tidak pernah melalui
pesan kalau memberitahu tentang Humaira.
Apa yang terjadi dengan Humaira?
Apakah dokter Mira menghindari pertanyaan dariku sehingga
tidak mau menelepon langsung?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain bermunculan dalam kepalaku.
Segera kutelepon adikku.
“Wan, antar kakak ke rumah sakit.”
***
Sampai di halaman rumah sakit aku langsung berlari ke ruang
anak, meninggalkan adikku yang masih memarkirkan sepeda motornya. Dokter Mira
sudah menunggu di depan pintu ruang anak.
“Humaira harus masuk ICU,” katanya pendek tanpa menunggu aku
bertanya.
“Apa, apa yang terjadi dengan anakku, Mir?”
“Ada terdeteksi kelainan lain di jantungnya, selain kelainan
yang sebelumnya. Dan, sejak jam 10 tadi, panas tubuhnya meningkat.”
Serasa seluruh tulang dalam tubuhku menghilang. Tubuhku pun
melemas dan melorot. Beruntung dokter Mira meraih tubuhku dan kemudian dibantu
adikku, aku dibawa ke ruangan dokter Mira.
Antara sadar dan tidak, dokter Mira memberiku obat dan
membantu menempelkan gelas ke bibirku. Aku pun meminumnya pelan sampai habis.
“Kamu harus tenang, Nis,” katanya pelan.
Aku hanya mengangguk. Dokter Mira membaringkanku di sofa
yang ada di ruangannya. Aku pun tertidur, sepertinya dia memberiku obat
penenang, sehingga aku bisa tertidur cukup pulas.
Entah berapa jam Aku tidur. Aku baru dibangunkan saat waktu salat
Asar.
Sekitar pukul setengah empat interkom di meja dokter Mira
berbunyi. Dia pun mengangkatnya dan bicara singkat. “Baik, saya akan segera ke
sana.”
“Maaf Nis, aku tinggal dulu ya.”
Aku membalas dengan anggukan.
Selang setengah jam, dokter Mira kembali dan langsung
menghampiriku dengan mimik muka sedih dan terlihat di matanya menggenang
sedikit air mata. Perasaanku berkata, ada yang tidak beres dengan Humaira.
“Ada apa, Mir?” Aku menyambutnya dengan pertanyaan.
Dokter Mira tidak menjawab. Dia hanya memandang wajahku.
Kemudian memelukku. Tangisnya pun tersedu di bahuku. Isaknya mengguncang tubuhku.
“Nisa, Kamu yang sabar ya, Allah Maha Tahu, Kamu pasti tabah
menerima takdir-Nya.” Dokter Mira terbata-bata di antara isak tangisnya.
Aku hanya duduk tegak. Kaku. Tanpa Dokter Mira berkata pun, aku
sudah tahu apa yang terjadi dengan Humaira. Gestur tubuhnya yang memeluk erat
sambil menangis, sudah memberitahuku. Seperti ada sesuatu meninju jantungku,
membuat debarnya bertambah cepat. Sakit. Airmata pun deras mengalir membasahi
pipiku. Tangis pun tak bisa kubendung.
Mendengar aku menangis, dokter Mira makin erat memelukku.
Beberapa menit kita berdua menangis sambil berpelukan. Dia kemudian melepaskan
pelukannya dan memegang wajahku dengan kedua tangannya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Maafkan aku, Nis!”
Aku diam. Sorot mata tanpa tatap dan derai airmataku, cukup
untuk menjawabnya.
(Bersambung)

Komentar
Posting Komentar