3 SUNNAH DALAM KEHIDUPAN


Sunnah Tanafus (Hukum Berkompetisi)

Kalau kita perhatikan dengan cermat, tidak ada kehidupan di dunia ini yang bebas dari kompetisi. Ilmu pengetahuan modern telah mengajarkan kepada kita bahwa pada semua makhluk apakah it tumbuhan, hewan, atau manusia berlaku hukum the survival of the fittest atau siapa yang kuat maka ialah yang akan bertahan.


Di Afrika sana, setiap pagi singa-singa berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari rusa, supaya hari itu dia dapat makan dan ga mati kelaparan.
Sementara si rusa pun berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari singa, supaya hari itu dia tidak jadi santapan singa.


Sunnah Tadafu’ (Hukum Tolak Menolak)

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS Al-Baqarah: 251)

Di alam kita mengenal predator, binatang pemangsa dalam sebuah ekosistem. Jika hewan kehilangan predatornya maka hewan itu akan berbahaya. Contoh: wereng sejak jaman dulu sudah ada. Wereng menjadi berbahaya ketika manusia menggangu predator wereng seperti menangkapi burung, memakan katak dan lain-lain. Akibatnya rusaklah keseimbangan alam.

Di dalam islam, hal ini disebut dengan sunnah tadafu’, sunnah yang terjadi antar makhluk untuk saling ber-tadafu’, bersaing, berkonfrontasi, berebut dan saling memangsa.

Dalam alqur’an, ayat tentang sunnah tadafu’ selalu berada dalam rangkaian ayat tentang jihad. Salah satunya adalah kisah fenomenal, tentang Thalut, Jalut dan Daud dalam surat Al Baqoroh: 246-251.

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka2 bani Israil sesuah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: ”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab: ”mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling kecuali beberapa saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim

Ketika muncul seorang penguasa zalim yang menindas rakyatnya dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt. mengirimkan kepadanya orang yang mengingatkannya dan menghentikan perbuatan zalimnya itu. Bisa jadi orang yang diutus Allah untuk menghentikan perbuatan si zalim itu adalah seorang yang adil, atau bisa juga orang yang zalim juga seperti penguasa itu.

Kapan Allah Swt. mengirim pemimpin dan penguasa yang adil? Jawabnya, ketika umat Islam mau kembali dan taat kepada hukum dan ketentuan Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96).

Allah Swt. mengutus Nabi Ibrahim As. kepada Namrud yang tiranis, mengirim Nabi Musa As. kepada Fir’aun yang sombong lagi menindas, menyuruh Thalut untuk melawan Jalut yang kejam, dan menghadirkan Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah masyarakat Quraisy yang musyrik dan suka membunuh.

Jadi Sunnatu at-Tadafu’ merupakan sesuatu yang mesti ada dalam kehidupan dunia ini untuk mencegah kerusakan di bumi, sehingga sebagian manusia tidak melanggar hak asasi sebagian yang lain, dan si kuat tidak memangsa si lemah. Jika Sunnatu at-Tadafu’ ini tidak ada, maka dunia akan dikuasai oleh hukum rimba



Sunnatut Tadawul (Hukum Pergiliran)

Ini pembicaraan seputar hukum pergiliran. Ini semacam siklus kehidupan. Bahwa roda kehidupan dunia sepanjang sejarahnya terus berputar tiada henti. Sejarah telah melemparkan manusia ke langit kebesaran, dan sebagiannya dilindas rodanya dengan kejam, kemudian kaidah pergiliran itu berlaku, orang-orang yang tadinya diatas tiba-tiba harus bergelimpangan dibawah, dan mereka yang tadinya berdarah-darah di bawah sekarang berkibar di puncak gunung kejayaan.

Untuk apa?

Apakah untuk menangisi kekalahan, seperti tumpah ruahnya kesedihan para sahabat saat mengalami kekalahan pada perang uhud dalam bentuk isak tangis dan derai air mata? Padahal Allah swt telah mengingatkan :

“dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah yang  lebih tinggi jika kamu beriman. Jika kamu tersentuh kekalahan (musibah), maka luka ( musibah) yang sama juga menimpa kaum yang lain. Demikianlah hari-hari (kemenangan) kami pergilirkan diantara manusia”. (Qs. ali Imran: 140)

Berbicara soal sunnatut tadaawul kita teringat dengan kisah Nabi Yusuf as.
Tumbuh dalam dekapan hangat kasih sayang orang tuanya.
Lalu dillemparkan ke dalam sumur oleh sauadara-saudara yang memendam bara iri dan dengki.
Kemudian diselamatkan oleh sekelompok orang dan dijual sebagai budak. Ia menjalani masa-masa remajanya di tengah keluarga seorang pembesar Mesir.
Lalu dipenjara karena memperthankan kesuciannya dari godaan istri pembesar Mesir itu .
Hingga kemudian dibebaskan dan menjadi perdana mentri.
Begitulah Nabi Yusuf AS. dari terdzalimi menjadi orang yang berkuasa.

From zero to hero

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada di dalam diri mereka sendiri” (Qs. ar-Ra’du: 11)

Ini memberikan kita paradigma, pertama pantangan untuk patah arang karena semenderita apapun kesusahan kita, selalu tersedia kesempatan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kedua, keharusan untuk menjadi pribadi yang terus bertumbuh. Ini agar kapasitas internal kita selalu bisa lebih besar dari realitas dan tantangan kita.

Jadi, sunnatut tadaawul sebenarnya adalah agar kita cermat menghitung, sudah seberapa banyak kita mengumpulkan syarat yang akan memantaskan kita menjadi bintang dilangit sejarah, dan bukannya malah mengeluh


Itulah 3 sunnatullah dalam kehidupan ini.
Semoga kita bisa menyikapinya dengan tepat.
Semoga menjadi bekal kita mengarungi bahtera kehidupan ini.

Komentar