Sunnah Tanafus (Hukum
Berkompetisi)
Kalau kita perhatikan dengan cermat, tidak ada kehidupan di
dunia ini yang bebas dari kompetisi. Ilmu pengetahuan modern telah mengajarkan
kepada kita bahwa pada semua makhluk apakah it tumbuhan, hewan, atau manusia berlaku hukum the survival of the
fittest atau siapa yang kuat maka ialah yang akan bertahan.
Di Afrika sana, setiap pagi singa-singa berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari rusa, supaya hari itu dia dapat makan dan ga mati kelaparan.
Sementara si rusa pun berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari singa, supaya hari itu dia tidak jadi santapan singa.
Di Afrika sana, setiap pagi singa-singa berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari rusa, supaya hari itu dia dapat makan dan ga mati kelaparan.
Sementara si rusa pun berpikir, bagaimana caranya berlari lebih cepat dari singa, supaya hari itu dia tidak jadi santapan singa.
Sunnah Tadafu’ (Hukum
Tolak Menolak)
“Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam” (QS Al-Baqarah: 251)
Di alam kita mengenal predator, binatang pemangsa dalam
sebuah ekosistem. Jika hewan kehilangan predatornya maka hewan itu akan
berbahaya. Contoh: wereng sejak jaman dulu sudah ada. Wereng menjadi berbahaya
ketika manusia menggangu predator wereng seperti menangkapi burung, memakan
katak dan lain-lain. Akibatnya rusaklah keseimbangan alam.
Di dalam islam, hal ini disebut dengan sunnah tadafu’,
sunnah yang terjadi antar makhluk untuk saling ber-tadafu’, bersaing,
berkonfrontasi, berebut dan saling memangsa.
Dalam alqur’an, ayat tentang sunnah tadafu’ selalu berada
dalam rangkaian ayat tentang jihad. Salah satunya adalah kisah fenomenal,
tentang Thalut, Jalut dan Daud dalam surat Al Baqoroh: 246-251.
“Apakah kamu tidak
memperhatikan pemuka2 bani Israil sesuah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata
kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami
berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab:
”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang kamu tidak akan
berperang”. Mereka menjawab: ”mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah,
padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala
perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling kecuali beberapa saja
diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”
Ketika muncul seorang penguasa zalim yang menindas rakyatnya
dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt. mengirimkan
kepadanya orang yang mengingatkannya dan menghentikan perbuatan zalimnya itu.
Bisa jadi orang yang diutus Allah untuk menghentikan perbuatan si zalim itu
adalah seorang yang adil, atau bisa juga orang yang zalim juga seperti penguasa
itu.
Kapan Allah Swt. mengirim pemimpin dan penguasa yang adil?
Jawabnya, ketika umat Islam mau kembali dan taat kepada hukum dan ketentuan
Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf:
96).
Allah Swt. mengutus Nabi Ibrahim As. kepada Namrud yang
tiranis, mengirim Nabi Musa As. kepada Fir’aun yang sombong lagi menindas,
menyuruh Thalut untuk melawan Jalut yang kejam, dan menghadirkan Nabi Muhammad
Saw. di tengah-tengah masyarakat Quraisy yang musyrik dan suka membunuh.
Jadi Sunnatu
at-Tadafu’ merupakan sesuatu yang mesti ada dalam kehidupan dunia ini untuk
mencegah kerusakan di bumi, sehingga sebagian manusia tidak melanggar hak asasi
sebagian yang lain, dan si kuat tidak memangsa si lemah. Jika Sunnatu
at-Tadafu’ ini tidak ada, maka dunia akan dikuasai oleh hukum rimba
Sunnatut Tadawul
(Hukum Pergiliran)
Ini pembicaraan seputar hukum pergiliran. Ini semacam siklus kehidupan. Bahwa roda
kehidupan dunia sepanjang sejarahnya terus berputar tiada henti. Sejarah telah
melemparkan manusia ke langit kebesaran, dan sebagiannya dilindas rodanya
dengan kejam, kemudian kaidah pergiliran itu berlaku, orang-orang yang tadinya
diatas tiba-tiba harus bergelimpangan dibawah, dan mereka yang tadinya berdarah-darah
di bawah sekarang berkibar di puncak gunung kejayaan.
Untuk apa?
Apakah untuk menangisi kekalahan, seperti tumpah ruahnya
kesedihan para sahabat saat mengalami kekalahan pada perang uhud dalam bentuk
isak tangis dan derai air mata? Padahal Allah swt telah mengingatkan :
“dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah
yang lebih tinggi jika kamu beriman.
Jika kamu tersentuh kekalahan (musibah), maka luka ( musibah) yang sama juga
menimpa kaum yang lain. Demikianlah hari-hari (kemenangan) kami pergilirkan
diantara manusia”. (Qs. ali Imran:
140)
Berbicara soal sunnatut tadaawul kita teringat dengan kisah Nabi Yusuf as.
Tumbuh dalam dekapan hangat kasih sayang orang tuanya.
Lalu dillemparkan ke dalam sumur oleh sauadara-saudara yang memendam
bara iri dan dengki.
Kemudian diselamatkan oleh sekelompok orang dan dijual
sebagai budak. Ia menjalani masa-masa
remajanya di tengah keluarga seorang pembesar Mesir.
Lalu dipenjara karena memperthankan kesuciannya dari godaan
istri pembesar Mesir itu .
Hingga kemudian dibebaskan dan menjadi perdana mentri.
Begitulah Nabi Yusuf AS. dari
terdzalimi menjadi orang yang berkuasa.
From zero to hero
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka
mengubah apa yang ada di dalam diri mereka sendiri” (Qs. ar-Ra’du: 11)
Ini memberikan kita paradigma, pertama pantangan untuk patah
arang karena semenderita apapun kesusahan kita, selalu tersedia kesempatan
untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kedua, keharusan untuk menjadi
pribadi yang terus bertumbuh. Ini agar kapasitas internal kita selalu bisa
lebih besar dari realitas dan tantangan kita.
Jadi, sunnatut tadaawul sebenarnya adalah agar kita cermat
menghitung, sudah seberapa banyak
kita mengumpulkan syarat yang akan memantaskan kita menjadi bintang dilangit
sejarah, dan bukannya malah mengeluh
Itulah 3
sunnatullah dalam kehidupan ini.
Semoga kita bisa menyikapinya dengan tepat.
Semoga menjadi bekal kita mengarungi bahtera kehidupan ini.
Semoga kita bisa menyikapinya dengan tepat.
Semoga menjadi bekal kita mengarungi bahtera kehidupan ini.
Komentar
Posting Komentar