Ada tiga pola interaksi antara kita (manusia) dengan Allah
swt. Yaitu,
- interaksi hamba dengan majikan
- interaksi peminjam dan yang meminjamkan
- interaksi pedagang dan pembeli
Pertama, hubungan antara hamba dengan majikan
Manusia adalah makhluk yang diberi tugas untuk mengabdi
kepada Allah swt.
Allah swt berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat(51): 56)
Mengabdi atau menghamba, artinya manusia dalam posisi sebagai
hamba sahaya (budak) dan Allah swt sebagai majikan. Sulit memang
mengilustrasikannya di zaman sekarang, karena sudah tidak ada sistem
perbudakan. Paling tidak kita bisa analogikan dengan hubungan antara seorang pembantu
rumah tangga (ART) dengan majikannya.
Seorang ART sudah pasti mempunyai sejumlah tugas yang sudah
ditetapkan saat pertama kali bekerja. Seorang ART yang baik tentu akan
melaksanakan semua tugasnya itu, supaya majikannya puas. Tetapi seorang ART
akan membuat majikannya senang, tidak hanya puas, kalau dia melakukan sesuatu
yang membuat majikannya senang, walaupun itu bukan tugasnya. Misalnya, setiap
sore majikannya suka minum teh manis di beranda belakang rumah. Menyajikan teh
manis tidak termasuk tugasnya, tapi karena ingin membuat senang majikannya,
maka dia setiap sore selalu menghidangkan segelas teh manis di beranda
belakang. Walaupun, kalau dia tidak melakukan itu, majikannya tidak akan
menegur atau menyalahkannya.
Jelas, karena puas dan senang dengan pekerjaan pembantunya,
maka si majikan tentu akan terus memperkerjakannya bahkan mungkin memberinya
bonus atau hadiah.
Begitupun misalnya interaksi seorang karyawan dengan bosnya.
Seorang bos tentu akan senang pada anak buahnya yang rajin, masuk kerja selalu
sebelum jam masuk kantor dan pulang selalu melebih jam pulang. Tidak pernah
abstain, kecuali ada hal yang sangat penting. Loyal, selalu siap menerima
perintah, serta selalu sopan, hormat pada atasan.
Begitulah seharusnya seorang manusia bersikap kepada Allah
swt.
Kedua, hubungan yang meminjamkan dan peminjam.
Pinjam meminjam sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan kita sekarang. Apalagi, dalam dunia bisnis. Seseorang yang mempunyai
dana tentu akan meminjamkan atau menginvestasikan dananya ketika melihat
prospek dananya akan berkembang beberapa kali lipat.
Ada tiga dalam ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah
swt meminta pinjaman pada kita dan berjanji akan melipatgandakan pembayarannya
beberapa kali lipat.
Allah swt berfirman,
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, maka Allah akan memperlipatgandakan (balasan) pinjaman untuknya.” (QS.
Al-Hadid(57): 11
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan sebuah hadits yang
meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, saat itu Abu Dahdah Al-Anshari sedang
ada di dekat Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, apakah Allah menghendaki pinjaman dari
kita?” Tanya Abu Dahdah.
“Benar! Wahai Abu Dahdah,” jawab Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, kemarikanlah tanganmu,” kata Abu Dahdah.
Rasulullah saw mengulurkan tangannya.
“Sesungguhnya aku pinjamkan kepada Tuhanku kebun kurmaku,”
ujarnya lagi.
Diriwayatkan, kebun kurma Abu Dahdah berisikan enam ratus
pohon kurma. Rasulullah saw kemudian bersabda, “Betapa banyaknya pohon kurma
yang berbuah subur di dalam surga milik Abu Dahdah.” Dalam lafaz yang lain
disebutkan, “Betapa banyak pohon kurma yang berjuntai buahnya berupa intan dan
yaqut milik Abu Dahdah di surga.”
Di surat yang sama (al-Hadid) ayat ke-18, Allah swt
berfirman,
“Dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya
akan dilipatgandakan (pembayarannya), dan bagi mereka pahala yang banyak.”
Ibnu Katsir menjelaskan, Allah swt akan membalas (membayar)
pinjaman itu dengan sepuluh kali lipatnya, dan diberi tambahan pula hingga
sampai tujuh ratus kali lipatnya, bahkan lebih dari itu.
Ditegaskan lagi dengan firman-Nya di surat at-Taghabun ayat
17,
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu.”
Beberapa mufasir menjelaskan arti meminjamkan kepada Allah
swt ini adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah, atau menginfaqkan harta
kita. Semakin besar yang kita pinjamkan kepada Allah swt, maka semakin besar
pula pembayarannya, berkali-kali lipat ditambah lagi bonus pengampunan dari
Allah swt.
Ketiga, interaksi penjual dan pembeli
Interaksi ini dijelaskan Allah swt dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu
beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di
dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan
yang besar.” (QS. Ash-Shaff(10): 10-12)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah swt menggunakan kata tijaaroh
atau perniagaan atau perdagangan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, perniagaan
ini tidak akan merugi selamanya. Allah swt akan membeli apa yang kita jual. Apa
yang kita jual? Dijelaskan di ayat ke-13, bahwa kita tetap beriman kepada Allah
swt serta berjihad di jalan-Nya dengan mengorbankan jiwa dan harta. Siapa yang
tak ingin perniagaannya merugi? Silahkan berniaga dengan Allah swt.
Lalu, interaksi mana yang lebih baik?
Semuanya!
Ini bentuk kemudahan dari Allah swt kepada kita untuk selalu berhubungan baik dengan-Nya dan mendapatkan balasan dari-Nya, dengan cara apapun. Artinya, kalau ketiga moda interaksi ini kita tidak gunakan, mau dengan moda bagaimana lagi?
Komentar
Posting Komentar