(Review buku Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto)
Buku ini merupakan satu bab atau bagian dari buku 'Dari
Gestapu ke Reformasi' yang terbit tahun 2013. Tetapi karena banyak pembaca,
terutama teman-teman Prof. Salim Said (penulis buku), menginginkan untuk
diterbitkan secara khusus, maka buku ini pun diterbitkan tahun 2015.
Sama dengan buku 'induknya', buku ini diterbitkan oleh
Penerbit Mizan bernomor ISBN 978-979-433-905-3 dengan tebal 202 halaman,
termasuk halaman profil penulis.
Gestapu adalah sebutan yang sering disematkan pada peristiwa
G-30-S. Sebuah peristiwa konflik paling unik yang pernah terjadi di Indonesia
pasca kemerdekaannya. Unik, karena walaupun sudah setengah abad lebih peristiwa
itu terjadi, perdebatan tentangnya seperti enggan untuk berhenti. Terutama
perdebatan tentang how dan why-nya, sementara what, who, where, when-nya sudah
tercatat dalam buku-buku sejarah.
Buku ini adalah satu dari puluhan atau mungkin ratusan buku
tentang peristiwa G-30-S. Namun. yang menjadikan buku ini istimewa dibandingkan
buku yang lainnya adalah faktor penulisnya.
Siapa Prof. Dr. Salim Said? Ungkapan yang disampaikan Prof.
Dr. Ahmad Syafii Maarif bisa sedikit menjelaskan. Guru Besar Sejarah dan mantan
Ketua Muhammadiyah itu mengatakan, "Salim Said adalah mantan wartawan
dengan pengalaman Panjang. Juga pakar terkemuka tentang masalah militer di
Indonesia. Kemudian memasuki dunia akademis sampai meraih Ph.D. di AS.
ketajaman analisis dan kekayaan informasi penulisnya jelas terlihat pada buku
yang ada di tangan Anda sekarang ini."
Seorang wartawan, pakar masalah militer Indonesia serta
pengalaman, cukup untuk menunjukkan kualitas dari buku ini. Tambahan yang
penting dari itu semua adalah, penulisnya menyaksikan langsung situasi seputar
peristiwa Gestapu.
"Bung Salim, menuliskan kesaksiannya tentang peristiwa
sejarah yang super misterius ini, dengan gaya amat menarik dan memukau tentang
tiga tokoh sentral di sekitar peristiwa G-30-S," demikian kesan Asahan
Alham Aidit setelah membaca buku ini.
Dengan gaya penulisan seperti menulis diari (buku harian)
penulis sejak beberapa bulan sebelum peristiwa G-30-S terjadi, menambah semakin
jelas, apa background dari peristiwa tersebut, bagaimana situasi kebatinan para
tokoh negara di hari-hari menjelah pecah G-30-S, apa yang terjadi di dalam
militer saat itu, semua terjelaskan dengan baik ditambah analisis tajam ala
wartawan.
Buku ini memang buku lama. Tetapi, menjelang hari H
peringatan 55 tahun silam peristiwa kelam itu, buku ini layak untuk dibaca
kembali. Mengingat sampai sekarang, setelah pemegang kendali negara berganti 7
kali, masih banyak misteri yang belum terjawab.
"Meski setengah abad telah dilewati, misteri siapa yang
membunuh enam jenderal angkatan darat pada 1 Oktober 1965 belum terungkap
seluruhnya. Buku ini menawarkan analisis paling meyakinkan yang pernah saya
baca. Berkat pengalaman pribadi selaku wartawan pada masa itu serta ilmuwan
politik yang mengikuti dari dekat peran politik militer selama puluhan tahun,
penulis menjelaskan dengan jitu dan cermat peran yang kemungkinan besar
dimainkan para aktor penting, terutama Soekarno, Aidit, Syam, Latif dan
Soeharto." R. William Liddle, professor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State
University, mengomentari buku ini.
Dalam bukunya ini, Prof. Salim mengatakan bahwa ide
penangkapan terhadap sejumlah jenderal angkatan darat awalnya berasal dari
Soekarno. Namun, penangkapan tersebut tidak dimaksudkan sebagai pembantaian.
Soekarno hanya meminta pasukan pengawal presiden, Cakrabhirawa, yang dipimpin
oleh Letkol. Untung untuk membawa sejumlah jenderal tersebut menghadap kepada
presiden. Tujuannya adalah untuk 'mendaulat' mereka agar patuh dan setia pada
Soekarno yang pada saat itu berkedudukan sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Kata 'daulat' dijelaskan oleh Salim Said sebagai sebuah
tradisi yang sering digunakan oleh para pejuang Indonesia untuk meminta pihak
tertentu agar patuh pada permintaan pihak yang mendaulat.
Prosesi daulat tersebut diterjemahkan dalam bentuk
penculikan. Salah satu peristiwa 'daulat' adalah penculikan Soekarno-Hatta oleh
sejumlah pemuda ke Rengasdengklok dalam rangka meminta kedua tokoh tersebut
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proses 'daulat' akan ditempuh
ketika cara-cara formal tidak dapat lagi ditempuh.
Berubahnya proses 'daulat' menjadi peristiwa pembataian
menurut Prof. Salim dapat dijelaskan melaui 3 skenario. Salah satunya adalah,
pembunuhan terhadap sejumlah jenderal di rumahnya masing-masing terjadi karena
kepanikan prajurit di lapangan mengingat adanya perlawanan oleh sejumlah
jenderal yang akan diculik. Pembunuhan memang tak terhindarkan, karena
persiapan penculikan tidak dilakukan dengan perencanaan yang teliti dan
seksama.
Lalu bagaimana peran Soeharto? Apakah dia hanya memanfaatkan
kondisi chaos yang terjadi? Atau ada perannya juga dalam peristiwa berdarah
itu? Banyak fakta menarik yang disajikan dalam buku ini disertai analisa
penulis yang mendalam yang akan memberi perspektif baru bagi kita.
Komentar
Posting Komentar