Ketekunan
hampir selalu berbuah sukses. Fenny Sumayah contohnya. Bermula sebagai pembantu
rumah tangga, Fenny kini menjelma menjadi miliarder berkat kegigihannya.
Dua puluh
lima tahun silam, Fenny Sumayah bukanlah siapa-siapa. Dia hanya satu dari
ribuan, atau mungkin jutaan, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencoba mengadu
nasib di negeri orang. Pilihan Fenny, warga Desa Bogowanti, Kecamatan Ngawen,
Kabupaten Blora, jatuh ke Arab Saudi.
Fenny
bekerja sebagaimana kebanyakan TKI asal Indonesia di Saudi, yakni menjadi
pembantu rumah tangga. Yang membedakan dia dengan TKI lain, barangkali, adalah
semangatnya untuk berubah dan menjadi lebih baik.
Dia tak
melulu menjadi PRT. Di sela waktu, sesekali, Fenny mencoba berjualan. Dia
menjajakan barang-barang khas Indonesia mulai dari nasi bungkus dengan lauk
sederhana semacam tahu-tempe hingga oleh-oleh lokal-- kepada para jamaah haji
atau umrah asal Indonesia yang tengah berada di Madinah.
Bisnis
kecil-kecilan itu ternyata lancar. Untungnya juga lumayan gede, jauh lebih gede
dibanding bayarannya bekerja sebagai PRT. Fenny pun makin sering melakukannya.
Tapi, dia tidak lantas meninggalkan pekerjaan aslinya begitu saja. Jualan nasi
bungkus dan oleh-oleh itu tetap dia anggap sebagai sambilan.
"Saya
merintisnya dari nol. Betul-betul dari bawah," kata Fenny (45), yang tetap
ber-KTP Bogowanti dan mudik tiga kali setahun meski telah hidup mapan di negeri
orang. Pernah sekali waktu ketika berjualan di sekitar Masjid Nabawi, Madinah,
dagangan Fenny digusur. Di kawasan itu, pedagang asongan memang harus
kucing-kucingan dengan polisi.
Tempat
tersebut termasuk daerah terlarang bagi pedagang. Namun seperti halnya di
Indonesia, di Madinah pun, tetap saja banyak pedagang yang nekat membuka
dasaran di jalanan.
Setiap kali
berjualan di sekitar Nabawi, Fenny selalu bersua dengan jamaah haji asal
Indonesia. Makin hari, jumlah jamaah kian bertambah banyak. Di luar musim haji,
jamaah umrah juga melimpah. Otaknya berbisik, ini adalah peluang besar yang
bisa digarap.
Maka, dia
pun mulai meningkatkan usaha. Fenny tak hanya membuka lapak kecil di jalanan.
Dia mulai masuk hotel, menawar-nawarkan katering kepada para jamaah itu secara
langsung. Dia pun memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai PRT dan menekuni
wirausaha tersebut.
Awalnya,
dia hanya menyiapkan nasi bungkus untuk para jamaah. Namun gayung tak langsung
bersambut. Usaha Fenny berjalan berat. Selain harus masak dan menjajakan
sendiri, tidak semua jamaah bersedia menerima tawarannya. Tapi dia tak berputus
asa. Fenny terus bekerja keras dan berusaha meningkatkan kualitas kateringnya.
Meski tetap sederhana, Fenny berusaha membuat citarasa masakan olahannya
betul-betul cocok untuk lidah Indonesia. Model bungkus pun diubahnya menjadi
kemasan alumunium foil.
Setahun,
dua tahun, dan tahun-tahun berikutnya, usaha Fenny bertumbuh. Dari hanya sebuah
usaha jalanan, bisnis Fenny kini telah menjadi raksasa.
Dia menjadi
salah satu pengusaha katering terkemuka di Madinah. Fenny kini telah memiliki
dapur moderen dengan kapasitas ribuan porsi per hari di dekat Bandara Pangeran
Mohammad bin Abdul Aziz Madinah. Dengan dapur moderen itu, Fenny sanggup
melayani katering untuk ribuan jamaah.
"Dapur
milik saya termasuk yang moderen dan besar di Madinah," ujar Fenny,
yang sebagaimana kebanyakan wanita Saudi
saat berada di kawasan publik, mengenakan jilbab bercadar untuk menutup wajah.
Fenny
menyewa lantai dua hotel tersebut selama dua bulan sejak pertengahan September
lalu dengan harga sekitar 350 ribu riyal atau setara Rp 875 juta. Dia
mempekerjakan puluhan karyawan dari Indonesia, Pakistan, dan India untuk
melayani ratusan pengunjung yang saban hari antre.
Menu
restoran ini beragam. Ada oseng cumi-cumi, lunpia, bakwan, rendang, dan yang
favorit; bakso solo. Sepiring rendang dipatok 13 riyal atau setara Rp 34 ribu.
Bakwan tiga riyal atau Rp 7.500. Seplastik kerupuk –yang di Indonesia dijual Rp
1.000—di restoran ini seharga lima riyal atau Rp 12,5 ribu.
Dengan
harga 10 riyal per porsi (Rp 25 ribu) berisi lima biji bakso plus mie kuning,
tak menghalangi pengunjung untuk berebut. Tak jarang antrean mengular hingga
lebih dari 20 meter.
( Gunarso /
CN32 / JBSM )
Sumber:
suaramerdeka.com
Komentar
Posting Komentar