Anti Klimaks 'Gajah Mada": from Hero to Zero


 

Buku ini merupakan buku terakhir dari lima kisah Gajah Mada yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi, seorang penulis asal Banyuwangi.

 

Untuk mengingat, berikut judul novel seri Gajah Mada sebelumnya.

1.Gajah Mada (2005) menceritakan awal karier Gajah Mada saat ia menyelamatkan Raja Jayanegara dari para pemberontak,

2.Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara (2006), menceritakan bagaimana Gajah Mada mesti bermanuver di antara perseteruan dua kubu calon pengganti Jayanegara

3.Gajah Mada: Hamukti Palapa (2007), yang mengisahkan ambisi Sang Mahapatih untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang berserakan di Nusantara di bawah Majapahit.

4.Gajah Mada: Perang Bubat (2007), mengisahkan fragmen tragis dalam karier Gajah Mada dan hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit.

 

Buku kelima ini atau yang terakhir diberi judul Gajah Mada: Hamukti Moksa. Diterbitkan perdana oleh Tiga Serangkai Solo bulan November 2008.

 

Novel setebal 594 halaman ini mengisahkan tentang Gajah Mada yang dibebastugaskan dari jabatannya karena kesalahannya hingga menyebabkan para tamu dari Kerajaan Sunda Galuh terbunuh. Peristiwa itu dikenal dalam sejarah sebagai Perang Bubat. Walaupun Gajah Mada berpendirian apa yang dilakukannya bukan kesalahan, tetapi dia tetap menerima hukuman tersebut.

 

Berbeda dengan 4 novel sebelumnya. Dalam novel terakhir ini tidak ada peristiwa peperangan. Walaupun begitu, ketegangan sudah bisa dirasakan pembaca di awal-awal bab. Saat di mana terjadi perseteruan dua kubu, yang meminta Gajah Mada untuk dihukum dengan kubu yang mendukung Mahapatih Gajah Mada, terutama dari pasukan Bhayangkara.

 

Perang saudara hampir terjadi, kalau saja Gajah Mada dengan kewibawaannya tidak datang, menengahi dua kubu tersebut.

 

Kepiawaian Langit Kresna Hariadi, dengan untaian kalimat dan pemilihan kata, mampu menggambarkan suasana ketegangan tersebut. Setidaknya itu yang saya rasakan.

 

Cerita selanjutnya bergulir seputar bagaimana mengantisipasi ancaman balas dendam dari pihak Sunda Galuh, yang indikasinya sudah terbaca oleh pasukan teliksandi Majapahit.

 

Gajah Mada sendiri setelah dicopot jabatannya, kemudian menyepi ke sebuah daerah sunyi yang memang sejak dahulu diimpikan olehnya untuk tinggal di sana. Perjalanannya menuju lokasi tersebut pun, penuh dengan alur cerita yang menegangkan. Karena, rupanya kewibawaan Gajah Mada tidak hilang walau sudah tidak memiliki jabatan.

 

Gajah Mada menyepi, hidup bagai seorang pertapa. Merupakan anti klimaks. Empat novel sebelumnya menggambarkan keperkasaan seorang Gajah Mada yang mampu mempersatukan kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk tunduk dalam kekuasaan Majapahit. Di novel terakhir ini, Gajah Mada hidup seorang diri, hanya ditemani beberapa penduduk yang berterima kasih karena telah ditolongnya.

 

Walaupun, kemudian di akhir kisah, Gajah Mada diminta kembali untuk memegang jabatan Mahapatih. Prabu Hayam Wuruk sendiri yang datang menemui Gajah Mada dan mengutarakan permintaan tersebut.

 

Di novel terakhir ini pun, dikuak rahasia yang selama ini ditutup-tutupi. Yaitu, Dyah Menur yang menjadi istri Pradhabasu adalah mantan istri Raden Kudamerta. begitupun Kuda Swabaya adalah putra Raden Kudamerta dari Dyah Menur. Keduanya, Dyah Menur dan Kuda Swabaya, sengaja disembunyikan dari upaya ‘pembersihan’ yang dilakukan Gajah Mada saat terjadi perebutan kekuasaan, yang dikisahkan di novel kedua.

 

Ada rasa sedih saat mengakhiri baca novel ini, karena berarti berakhir pula mengikuti sepak terjang keperkasaan Gajah Mada serta pasukan Bhayangkaranya, yang ‘dilukiskan’ dengan sangat apik melalui diksi yang dipilih sang penulis, Langit Kresna Hariadi.

Komentar