Setengah jam kemudian, aku sudah bisa menerima kenyataan.
Putri cantikku, Humaira, telah mendahuluiku. Bidadari yang ditunggu
kedatangannya selama lima tahun. Matahari yang selalu menyemangati suamiku,
kini tiada. Kulihat dia seperti tidur pulas, seperti biasa dengan senyum
kecilnya. Kulit putihnya semakin putih, kontras dengan selimut biru tua yang
membungkusnya.
“Antarkan aku dengan mobilmu!” pintaku pada dokter Mira.
“Nisa, prosedur rumah sakit mengharuskan jenazah diantar
dengan ambulan.”
“Kau aturlah, aku ga mau pulang pake ambulan,” tegasku
meminta.
Dokter Mira menyerah. Berjalan ke ruang adminitrasi.
Beberapa jenak kemudian kembali dan mengangguk. Aku segera menyuruh adikku
pulang tanpa memberitahu kondisi anakku. Kudekap erat Humaira selama berjalan
ke tempat parkir.
“Kau tidak ngasih kabar suamimu?” tanya dokter Mira sambil
menyetir.
Aku terdiam sejenak. “Aku khawatir. Dia sedang dalam
perjalanan pulang, perkiraanku dia sudah masuk tol. Kalau aku kasih kabar,
takut dia panik dan ngebut.”
Dokter Mira mengangguk. “Terus, rencananya akan dimakamkan
di mana?”
“Nantilah aku bicarakan sama sumaiku.”
Dokter Mira tidak bertanya lagi. Terus memegang setir,
sementara aku terus memeluk Humaira.
Sampai di rumah, aku langsung membaringkan Humaira di
kasurnya.
“Serius kamu ga mau aku temani sampai suamimu tiba?”
“Ya!” jawabku pendek.
“Baiklah, Nis! Aku tahu, aku kenal kau sudah lama. Kamu
pasti tabah menghadapi ini semua. Pamit ya, assalamu’alaikum.” Dokter Mira
memelukku erat.
“Wa’alaikum salam, terima kasih, Mir.” Kubalas pelukannya.
Aku tengok jam dinding, pukul 17.45, sudah mau maghrib. Segera
bergegas ke kamar mandi.
Setelah salat magrib dan berdoa, kusempatkan membaca al-Qur’an,
dua halaman cukup menenangkanku. Ketika hendak mengembalikan al-Qur’an ke rak
buku, pandanganku tertarik ke sebuah kitab hadits, kitab Fathul Bari. Entah
kenapa, hati ini menggerakkan tangan untuk meraihnya. Aku membukanya hampir
halaman tengah, kubaca. Tertegun membaca sebuah hadits yang mengisahkan tentang
Ummu Sulaim. Kuresapi kisahnya. Ada sedikit senyum dalam hatiku.
Bunyi gawai mengagetkanku. Dari suamiku, hanya pesan singkat,
‘maaf Abang terlambat, ada tabrakan di tol, lumayan macet’.
Kubalas, ‘ya Bang, hati-hati jangan ngebut’.
Kusibukkan di kamar. Kuganti baju Humaira, bersih sekali
kulitnya ketika semua bajunya terbuka bahkan tercium wangi. Rupanya pihak rumah
sakit sudah memandikan sekaligus memberinya parfum. Aku pakaikan baju terbaik
untuk Humaira, selimutnya pun aku ganti. Kutambahkan lagi parfum. Humaira
terlihat seperti tidur. Subhannallah, bibir mungilnya sejak dari rumah sakit
tidak berubah, menyunggingkan senyum yang mengundangku untuk menciumnya.
Aku kemudian menyiapkan makan malam. Dan terus berusaha
fokus untuk bersikap tenang untuk menyambut suamiku. Aku tidak ingin
kedatangannya disambut dengan sesuatu yang membangkitkan emosinya. Suamiku
memang orang yang saleh dan cukup penyabar, tapi ada sedikit darah Medan dalam
tubuhnya, yang kadang itu meledak kalau pemicunya sangat membuatnya marah.
Seperti pernah terjadi setahun silam, saat suamiku memarahi anak buahnya. Kaget
aku melihatnya marah, kemarahan yang baru aku dengar kali itu. Dan aku tidak
ingin kemarahan seperti itu muncul malam ini, mengingat sayangnya dia pada
Humaira.
Pukul 20 lewat sedikit suamiku tiba. Segera aku keluar
menyambutnya di teras.
“Assalamu’alaikum,” salam suamiku sambil menyerahkan tas
kerjanya.
“Wa’alaikum salam,” balasku, kuraih dan kucium tangannya.
“Lama menungguku ya?”
“Iya, hampir dingin lagi tuh makan malamnya.” Aku tersenyum,
kubuat senormal mungkin. Sekuat tenaga menahan gejolak dalam hatiku.
“Abang mandi aja dulu, ya?”
“Ya, Bang!”
Suamiku masuk kamar, terlihat keletihan di wajahnya.
Membuatku semakin tidak tega untuk mengabarkan apa yang terjadi saat ini. Aku
akan memberitahukannya nanti setelah suami tenang, hilang penat dan capenya.
“Abang tadi tengok sebelum mandi, Humaira lelap sekali
tidurnya,” kata suamiku sesaat setelah duduk di meja makan, dan minum seteguk.
Aku pura-pura sibuk membereskan piring dan gelas, tidak
segera merespon perkataannya.
“Mungkin tidak ingin mengganggu ayah bundanya,” jawabku
berusaha bercanda menyembunyikan kesedihanku.
“Halah, ada yang rindu berat rupanya,” suamiku membalas
candaku.
Aku hanya tersenyum. Sengaja memang, suasana kubuat
sedemikan rupa, supaya suamiku tenang dan teralihkan keinginannya untuk
menggendong Humaira. Kebiasaannya memang, setiap pulang dari dinas luar kota,
jam berapa pun, suamiku selalu menggendong Humaira.
Selesai makan malam, kami tidak beranjak dari meja makan,
disambung obrolan ringan. Aku yang aktif mengajak suamiku berbincang.
“Bagaimana persiapan opening kantor cabangnya, Bang?”
kataku mengawali obrolan.
“Alhamdulillah …, lancar. Di luar perkiraan. Semua urusan
dimudahkan, perijinan yang biasanya makan beberapa hari, dua hari beres. Finishing
kantor yang diperkiraan akan selesai hari Jumat, ternyata tadi sudah selesai.
Dan, yang spesial, Walikota sudah menyatakan siap hadir saat pembukaan nanti.”
Aku senang mendengarnya. Terlihat antusias sekali suamiku
menceritakan tentang pekerjaannya.
“Tahu gak, De?” Suamiku meraih kopi susu dan meneguknya
setelah sebelumnya menghirup asapnya yang mengepul. Itu memang kebiasaannya
kalau minum kopi. Lalu lanjutnya, “Abang merasakan, semenjak kelahiran anak kita,
segala urusan pekerjaan abang sepertinya jadi mudah.”
Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Sekuat tenaga menjaga agar
roman muka tidak berubah mendengar pernyataannya. Aku hanya menbalas pendek,
“Syukurlah, Bang.”
Aku segera meraih gelas dan piring kotor dan membawanya ke
dapur. Sengaja. Sepertinya Aku tidak akan tahan menahan tumpahan airmata. Dan,
di dapur Aku menenangkan diri. Kutarik napas panjang. Setelah merasa tenang, aku
kembali menemani suamiku. Melanjutkan obrolan yang sempat terhenti saat ke
dapur. Jam dinding menunjukkan hampir pukul 22, kopi suamiku pun terlihat sudah
habis.
“Tidur yuk, Bang! Lelah sekali badan ini.” Hampir saja aku
keceplosan bahwa seharian di rumah sakit.
“Lelah apa lelah …?” goda suamiku. “Memangnya aku ga rindu,
De?” pelan suamiku beranjak dari kursinya dan menghampiriku, memegang pundakku
dari belakang kemudian berbisik, “Kamu sudah keramas kan?”
“Iiih …, apaan sih.” Aku menengadah memandang mukanya, dia
langsung mengecup keningku. Kemarin waktu suamiku berangkat ke luar kota,
memang aku sedang datang bulan, hari terakhir.
Suamiku kemudian masuk kamar setelah mengerling nakal. Aku
tidak segera bangkit menyusul. Beribu rasa berbaur dalam hati. Ingin
menyenangkan suamiku, tapi muncul pertanyaan, ‘pantaskah Kami sepasang suami
istri berpadu kasih di tengah suasana yang seharusnya bersedih?’
Aku ingin suamiku dalam kondisi tenang saat nanti mendengar
kabar tentang Humaira.
Aku berdiri dan segera menyusul ke kamar. Suamiku sedang
berdiri di pinggir tempat tidur Humaira saat aku masuk. Senyum-senyum sendiri
memperhatikan putrinya.
“Cantik sekali putri kita ya, De? Secantik ibunya.”
Aku hanya tersenyum dan merebahkan diri di kasur.
“Tenang sekali tidurnya.” Suamiku mencium Humaira, lalu
menghampiriku dan berbaring di sebelah kananku.
Malam pun kami lewati dengan berlayar di lautan bunga yang
mewangi. Bagaikan bertemunya bunga mawar dengan kumbang yang lama tidak berkunjung.
Mawar pun menyerahkan semua madunya pada sang kumbang.
***
Sayup-sayup suara adzan awal membangunkanku. Pelan kuturunkan
tangan kanan suamiku yang memeluk pinggangku. Masih jam tiga pikirku. Kubiarkan
suamiku melanjutkan istirahatnya setelah lelah mendayung rasa. Sementara aku
segera beranjak ke kamar mandi.
Setelah salat tahajud dan berdoa, kuraih kitab hadits yang
kemarin kubaca. Aku kembali membuka halaman yang sama dan membaca lagi. Kudekap
kitab hadits itu dan memohon, “Ya Allah yang membolak-balikkan hati, berilah
ketenangan dan kesabaran pada suamiku. Berilah hamba-Mu ini kekuatan saat
menyampaikan kabar pada suamiku.”
Beberapa menit sebelum azan subuh, kubangunkan suamiku.
Karena mesjid di perumahan ini lumayan jauh dan sepi karena
masih banyak rumah yang belum dihuni, suamiku jarang salat Subuh di masjid,
rutin ke masjid kalau salat Maghrib dan Isya.
Selesai salat berjamaah, suamiku yang jadi imam berbalik, akupun
mencium tangannya. Biasanya Kami lanjutkan dengan tadarus, membaca al-Qur’an.
Tapi kali ini, masih dengan memegang tangannya, aku berkata lirih.
“Bang, ada yang ingin aku bicarakan.”
“Oh ya, apa De?” Suamiku melepaskan tanganku dan membetulkan
pecinya.
“Bang …, sekiranya ada orang yang menitipkan sesuatu pada
kita, lalu orang itu hendak mengambil kembali, bolehkah kita menolak
mengembalikannya?” Aku menatap mata suamiku.
“Kamu ini bicara apa, De? Kirain mau bicara apa.”
“Jawab saja Bang, bolehkah kita menahan sesuatu itu dan
tidak menyerahkannya pada yang punya?”
“Iya ga boleh dong. Itu berarti bukan milik kita. Lagian,
barang apa sih?” Suamiku penasaran.
Aku meraih kedua tangan suamiku dan kucium keduanya.
“Bang, Abang masih cinta sama aku kan?” lirihku.
“De …, ada apa sih? Subuh-subuh sudah nanya yang aneh-aneh. Ya
pasti, Abang masih cinta. Memang kenapa, De?” Suamiku membetulkan mukenaku.
Aku memeluk suamiku erat, airmata yang sejak tadi kutahan
tumpah ruah beriringan dengan tangisanku. “Maafkan Aku Bang, aku tidak bisa
menjaga amanahmu.”
“Ada apa ini, kenapa kau menangis, De?” Suamiku melepaskan
pelukanku.
“Humaira, Bang.” Aku tak sanggup memandang matanya yang
menatapku.
“Ada apa dengan Humaira?”
“Dia …, Dia diambil oleh pemiliknya ….” Aku berkata sambil
menjatuhkan wajahku ke pangkuannya.
“Maksudnya … bagaimana?” Suamiku memegang bahuku berusaha
mengangkatku. Tapi Aku bertahan, bersimpuh di pangkuannya.
“Humaira, Bang. Humaira telah tiada.” Tangisku semakin
kencang. Airmataku membasahi kain sarungnya.
“Apa?!” Suamiku berteriak. Dia mengangkat bahuku dengan
keras. Aku tetap bertahan, kurangkul erat pinggangnya, tak sanggup Aku bangkit.
“Bagaimana, De? Bagaimana bisa terjadi?” Suara suamiku
terdengar pelan, tangannya masih memegang bahuku. Kurasakan getaran tubuhnya
menahan amarah sekaligus sedih.
Setelah puas menumpahkan airmata, aku pun menceritakan
semuanya, sejak malam kemarin, sejak Humaira dibawa ke rumah sakit.
“Jadi jam empat? Dan Kamu baru memberitahuku sekarang?”
Aku tidak menjawab.
“Tega kamu, De ….” Suamiku tidak melanjutkan kalimatnya.
Suamiku lemas,
menyandarkan tubuhnya di dinding mushola. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun,”
lirihnya.
Aku pun menjelaskan alasan tidak segera memberitahunya.
Suamiku akhirnya mengerti dan mau menerima kenyataan. Lalu kuambil kitab hadits
yang sempat kubaca, dan kuperlihatkan pada suamiku. Sejenak dia membaca dan
mengangguk kecil.
Satu jam aku menumpahkan perasaan yang kutahan sejak dua
belas jam yang lalu. Satu jam pula untuk menenangkan suamiku.
“Ya sudah, sekarang kau kasih tahu ibu, ibuku biar Abang
yang menelpon.”
***
Semburat mentari pagi mengantarkan Humaira ke persinggahan
terakhirnya. Semilir angin sejuk menyambut kami di pemakaman. Aku menyandarkan
kepalaku di dada suamiku saat Humaira dibawa turun, lalu tanah merah
menutupinya. Suamiku tegak, tangannya erat memeluk pinggangku. Gemuruh detak
jantungnya terdengar jelas di telingaku.
***
<terinspirasi dari kisah Ummu Sulaim atas kematian putranya, Abu Umair, yang dikisahkan di kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Hadits no. 1301>
Komentar
Posting Komentar