Gejolak Fitnah (1)

 


Malam telah melewati dua pertiganya ketika Rasulullah SAW menginstruksikan pasukan kaum Muslimin untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah. Fajar pun akan segera tiba. Ingin segera kembali ke Madinah, membuat Rasulullah SAW mengambil keputusan untuk segera berangkat begitu selesai salat Subuh.

 

Semalam beristirahat dirasa cukup untuk menghilangkan lelah setelah berperang melawan Bani Musthaliq. Walaupun perlawanan Bani Musthaliq dapat diredam hanya dalam waktu sehari, tetapi pertempuran tetaplah pertempuran. Banyak energi terkuras, baik fisik maupun psikis.

 

Terlalu banyak agenda dakwah, sehingga Rasulullah SAW menginginkan segera kembali ke Madinah. Dan dari lokasi tempat rehat pasukan, perlu waktu sehari perjalanan untuk sampai ke Madinah.

 

Mendengar instruksi Sang Pemimpin, pasukan kaum Muslimin pun berbenah membereskan barang masing-masing. Tidak terkecuali Aisyah, istri Rasulullah SAW, yang saat itu ikut dalam perjalanan bersama Rasulullah SAW.

 

Segera Aisyah pun membereskan barang-barangnya dan memasukannya ke hawdaj tempat duduknya selama dalam perjalanan. Berbeda dengan yang lain, karena seorang perempuan, apalagi istri seorang Rasul, maka untuk kenyamanan selama perjalanan serta untuk melindunginya dari panas dan angin, Aisyah pun menggunakan hawdaj yang diletakkan di atas unta.

 

Hawdaj semacam tandu kecil yang diletakkan di punggung unta. Berbentuk kubus yang dibuat dari beberapa batang kayu. Keempat sisi dan sisi bagian atasnya lalu di pasang kain sebagai penutup.

 

Malam itu, begitu mendengar aba-aba untuk segera berangkat, Aisyah pun segera berbenah. Tapi tiba-tiba perutnya bermasalah. Sesuatu di dalamnya memaksa keluar. Panik tentu saja Aisyah, dan tentu tak bisa ditahannya. Berniat menuntaskan secepat mungkin dan menghitung masih ada waktu sebelum berangkat, maka dia pun segera keluar hawdaj menuju tempat yang aman untuk menuntaskan keperluannya.

 

Sementara itu, walaupun rasa lelah dan kantuk setelah berperang melawan Bani Musthaliq belum sepenuhnya hilang, pasukan kaum Muslimin segera menaati instruksi Rasulullah SAW. Selain juga memang mereka ingin segera bertemu anak dan istri, setelah berhari-hari mereka tinggalkan.

 

Begitupun petugas yang menuntun unta yang dinaiki Aisyah, setelah menaikkan hawdaj ke atas unta dibantu seorang rekannya, dia segera menuntun untanya mendekati Rasulullah SAW, di depan pasukan.

 

Menjelang fajar, pasukan kaum Muslimin pun bergerak menuju Madinah. Rona-rona sumringah menghiasi wajah pasukan kaum Muslimin, karena telah berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang akan dilakukan kaum kufar. Mereka berbahagia, untuk kesekian kalinya bisa terlibat langsung jihad fi sabilillah, apalagi peperangan kali ini dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW.

 

Kemenangan menggagalkan rencana pemberontakan Bani Musthaliq tidak terlepas dari kecerdikan Rasulullah SAW mengatur strategi. Kemenangan di bulan Sya’ban tahun kelima setelah hijrah itu menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa Allah selalu menyertai mereka.

 

Namun di sisi lain, kemenangan tersebut menambah kedengkian kaum munafik, yang sebagiannya ikut dalam peperangan itu. Sejak kedatangan Rasulullah SAW dan Muhajirin ke Madinah, kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubayy bin Salul merasa tersisihkan, mereka merasa keberadaan kaum Muslimin dari Mekkah dan masuk Islamnya orang-orang Madinah, mengurangi eksistensi mereka di Madinah.

 

Walaupun mereka turut pula masuk Islam, tapi itu hanya sekedar pura-pura untuk menyelamatkan diri saja. Hakikat dalam hati mereka, mereka tetap ingin Islam dan kaum Muslimin tidak ada di Madinah, sehingga berbagai upaya selalu mereka lakukan untuk itu.

 

Menjelang Zuhur dan karena matahari sangat terik, Rasulullah SAW kemudian memerintahkan pasukan untuk beristirahat. Mereka pun kemudian menambatkan unta-unta mereka dan membuka perbekalan masing-masing. Rasulullah SAW kemudian memanggil penuntun unta Aisyah dan memerintahkan untuk menurunkan Aisyah dari tandunya.

 

Setelah unta yang dinaiki Aisyah didudukkan, Rasulullah SAW pun memanggil Aisyah, “Ya Humaira, istriku, kesini lah, kita bersantap bersama, tentu engkau lapar setelah perjalanan jauh ini.”

 

Tidak ada sahutan dari dalam hawdaj. Begitupun, tidak ada yang keluar dari tandu. Ditunggu beberapa jenak, tidak ada yang keluar juga. Rasulullah SAW memanggil kembali, “Aisyah, apakah engkau sakit?”

 

Tetap tidak ada jawaban.

 

“Ya Rasulullah SAW, mungkin Ummul Mu’minin tertidur, sehingga tidak mendengar panggilan tuan,” kata penuntun unta yang memang masih di sana menunggu Aisyah keluar hawdaj.

 

“Baiklah,” Rasulullah SAW bangkit dan beranjak mendekati hawdaj, dan kemudian membuka tirai penutup tandu.

 

Dan …

 

Sekiranya di siang terik itu ada petir menggelegar, tentu akan membuat kaget Rasulullah SAW. Tetapi kekagetannya melihat hawdaj itu kosong, Aisyah tidak ada di tempat, melebihi kagetnya jika beliau mendengar petir di siang hari. Ya, hawdaj itu kosong, Aisyah entah ada dimana.

 

“Innalillahi … Aisyah tidak ada di dalam tandu.” Rasulullah SAW berkata seraya menoleh ke penuntun unta.

 

“Tidak ada bagaimana ya Rasulullah SAW?” tanya si penuntun unta keheranan.

 

“Tandunya kosong, Aisyah tidak ada di dalam.” Rasulullah SAW menegaskan.

 

“Masya Allah … lalu di manakah Ummul Mu’minin? Padahal selama perjalanan sejak berangkat tadi malam kita tidak berhenti, ya Rasulullah.” Si penuntun unta menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, dengan roman muka menyiratkan kekhawatiran sekaligus ketakutan.

 

Ketegangan menyelubungi mereka berdua. Heran, khawatir, dan takut menambah kekalutan mereka. Karena tempat beristirahat Rasulullah SAW berada di tengah-tengah pasukan, maka kabar hilangnya Aisyah pun segera diketahui oleh seluruh pasukan kaum Muslimin, termasuk kaum munafik yang ada di antara pasukan.

 

Si penuntun unta tentu jadi pusat perhatian, berbagai pertanyaan dilontarkan kepadanya. Tetapi apa yang mau dikatakan untuk menjawab, dia sendiri merasa heran, karena sejak pasukan bergerak sampai ke tempat istirahat itu, dia merasa tidak pernah berhenti sebentar pun.

 

Kehebohan pun melanda pasukan kaum Muslimin, hilangnya Aisyah tentu bukan sesuatu yang kecil. Aisyah adalah Ummul Mu’minin, ibunya orang-orang beriman. Walaupun bukan satu-satunya istri Rasulullah SAW, tapi karena usianya yang paling muda dan yang dinikahi paling terakhir, tentu Aisyah punya tempat khusus di hati Rasulullah SAW.

 

Desas-desuspun tidak bisa dihindari mewarnai kabar hilangnya Aisyah. Terutama dikipasi oleh orang-orang munafiq yang selalu mencari celah untuk mencoreng muka kaum Muslimin, terutama muka Rasulullah SAW.

 

Manusiawi kalau Rasulullah SAW kaget sekaligus sedih mengetahui Aisyah tidak ada. Bagaimanapun usia Aisyah masih muda. Di mata Rasulullah SAW terbayang kembali ketika Aisyah merajuk kepadanya untuk ikut dalam perjalanan itu, begitu juga istri-istri yang lain, semua berebut ingin ikut. Sehingga, demi keadilan, Rasulullah SAW pun membuat undian, siapa yang menang maka dia yang akan diajak Rasulullah SAW. dan ternyata Aisyah lah yang memenangi undian. Masih terbayang juga di mata Rasulullah SAW, bagaimana senangnya Aisyah, mukanya yang kemerah-merahan semakin memerah karena girangnya. Dan sekarang, Aisyah istri yang paling dicintainya itu tidak ada dan tidak diketahui keberadaannya.

 

Tapi bukan Rasulullah SAW kalau kemudian terlarut dengan rasa kaget dan sedih itu. Beliau pun kemudian memerintahkan pasukan meneruskan istirahatnya, sambil menunggu mungkin ada informasi tentang keberadaan Aisyah. Setelah melaksanakan sholat dzuhur, Rasulullah SAW pun melakukan musyawaran dengan beberapa sahabat. Dan keputusannya, mereka tetap menunggu sebelum meneruskan perjalanan pulang ke Madinah.

 

Lalu, dimanakah Aisyah?


<Bersambung>

Komentar