Gejolak fitnah (2)

Sebuah fragmen kelam dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Sebuah pembuktian, bahwa cinta dan ketaatan mampu meredam gejolak fitnah.


 

Malam itu, saat Rasulullah SAW menginstruksikan untuk melanjutkan perjalanan dan pasukan kaum Muslimin pun kemudian berbenah, Aisyah yang tertidur di tandu, terjaga dan segera mempersiapkan diri. Namun, mendadak perutnya terasa mulas dan merasa ingin buang hajat. Aisyah pun keluar dari hawdaj dan berlari menuju tempat yang agak jauh, untuk melepaskan isi perut yang membuatnya mulas.

 

Seusai melaksanakan hajat, Aisyah pun beranjak kembali ke tandunya. Namun, sesuatu membuatnya kaget. Saat membetulkan hijabnya dan saat meraba lehernya, ada sesuatu yang aneh. Jari-jarinya tidak merasakan keberadaan kalung yang selalu dipakainya. Kalung yang tidak pernah lepas dari lehernya sejak resmi menjadi istri Rasulullah SAW.

 

Kalung kesayangan Aisyah yang terbuat dari mutiara Zhafar dan berliontin batu onyx. Hadiah dari ibunya, Ummu Aiman, saat Rasulullah SAW menjabat tangan ayahnya, Abu Bakar, untuk mengucapkan ijab qabul.

 

Aisyah lupa bahwa waktu yang dimilikinya terbatas. Tidak mau kehilangan kalung kesayangannya, dia pun mencari-cari di seputar lokasi tadi melepas hajat. Nihil, yang dicari-cari tetap tidak ketemu. Dan Aisyah pun tertahan karena pencarian itu.

 

Dalam pada itu, orang yang bertugas menuntun untanya telah mengangkat hawdaj dan meletakkannya di atas punggung unta. Dia mengira Aisyah telah berada di dalamnya. Aisyah memang berperawakan kecil, apalagi seorang perempuan yang masih belia. Si penuntun unta tidak merasakan beratnya hawdaj ketika mengangkatnya ke atas unta. Sehingga saat malam itu, ketika dia juga menaikkan hawdaj ke atas unta, dia tidak bisa membedakan hawdaj itu kosong atau berisi. Dia tidak menyadari kalau Aisyah tidak ada di dalamnya.

 

Aisyah baru menemukan kalung itu setelah pasukan kaum Muslimin sudah berjalan. DIa segera mendatangi tempat unta dan hawdaj yang dinaikinya. Namun kosong. Aisyah tidak melihat seorang pun di sana. Aisyah segera berlari berusaha menyusul rombongan, namun jangankan menyusul, pandangannya pun sudah tidak bisa melihat pasukan kaum Muslimin. Rasulullah SAW dan pasukan sudah jauh meninggalkan Aisyah. Apa daya, langkah kecil seorang wanita belia dengan pakaian yang melilit tubuhnya, tidak mungkin dapat berlari kencang.

 

Merasa tidak akan mampu berlari terus dan mustahil kalau dapat menyusul rombongan, Aisyah pun terduduk lemas, pandangannya kosong ke arah jalan yang dilalui Rasulullah SAW. Kaget, sedih, takut, khawatir dan berpuluh-puluh kegalauan rasa bercampur baur dalam dadanya. “Ya Allah … kenapa mereka meninggalkannku?” rintih Aisyah.

 

Aisyah pun kemudian kembali ke tempat semula beristirahat. Dia berniat menunggu dengan harapan mereka akan menyadari telah kehilangan dirinya dan kembali menjemputnya. Angin sejuk pun menerpa tubuhnya seolah ingin menemaninya dalam kesendirian. Kesejukan yang dirasakan ditambah kesepian yang mengelilinginya, membuat Aisyah tertidur.

 

Di saat yang bersamaan, ternyata bukan hanya Aisyah yang tertinggal rombongan. Adalah Shafwan bin Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani yang karena satu keperluan dia harus berangkat paling akhir. Selepas fajar saat dia mau meneruskan perjalanan ketika melewati tempat Aisyah, dia melihat bayangan di balik pohon, yang setelah didekati, kaget tidak kepalang, ternyata bayangan hitam itu Aisyah, Ummul Mu’minin yang sedang tidur.

 

“Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raji’uun,” reflek Shafwan mengucapkan kalimat istirja’.

 

Mendengar suara itu Aisyah pun terbangun. Ada rasa kaget sekaligus senang saat melihat ada orang lain di sana. Dan ternyata orang yang dikenalnya dan sudah tidak asing, Shafwan, yang beberapa kali pernah berkunjung ke rumah Rasulullah SAW.

 

Aisyah pun menceritakan keadaannya sampai tertidur di sana. Melihat Aisyah menangis sambil bercerita, Shafwan merasa kasihan dan tidak sanggup berkata apa-apa kecuali terus mengucapkan kalimat istirja’.

 

Shafwan pun segera menuntun untanya dan mendudukkannya dan meminta Aisyah untuk menaikinya. Ada sedikit keraguan dalam diri Aisyah, tetapi tidak mau mengambil risiko kalau-kalau Rasulullah tidak menjemputnya, dia pun akhirnya mau naik ke unta milik Shafwan.

 

Segera mereka berangkat dan berharap dapat menyusul pasukan kaum Muslimin. Selama perjalanan mereka tidak berkata-kata, Shafwan hanya menuntun untanya dengan segera. Begitupun dengan Aisyah. Kondisi yang belum pulih dari rasa takut selama menunggu sampai munculnya Shafwan, membuatnya hanya bisa duduk termenung di atas unta. Apalagi cuaca siang di bulan Sya’ban itu, teriknya sangat menyengat. Tak terbayangkan tersiksanya Aisyah, melakukan perjalanan jarak jauh di siang terik dengan tiada teman bicara. Sementara Shafwan menyadari etika Islam yang mengharuskannya menjaga jarak dengan perempuan yang bukan muhrim, apalagi ini Aisyah, istri Rasulullah SAW, Ummul Mu’minin.

 

Hening menyertai perjalanan mereka berdua.


Komentar