Malam itu, saat Rasulullah SAW
menginstruksikan untuk melanjutkan perjalanan dan pasukan kaum Muslimin pun
kemudian berbenah, Aisyah yang tertidur di tandu, terjaga dan segera
mempersiapkan diri. Namun, mendadak perutnya terasa mulas dan merasa ingin
buang hajat. Aisyah pun keluar dari hawdaj dan berlari menuju tempat yang agak
jauh, untuk melepaskan isi perut yang membuatnya mulas.
Seusai melaksanakan hajat, Aisyah pun
beranjak kembali ke tandunya. Namun, sesuatu membuatnya kaget. Saat membetulkan
hijabnya dan saat meraba lehernya, ada sesuatu yang aneh. Jari-jarinya tidak
merasakan keberadaan kalung yang selalu dipakainya. Kalung yang tidak pernah
lepas dari lehernya sejak resmi menjadi istri Rasulullah SAW.
Kalung kesayangan Aisyah yang terbuat
dari mutiara Zhafar dan berliontin batu onyx. Hadiah dari ibunya, Ummu Aiman,
saat Rasulullah SAW menjabat tangan ayahnya, Abu Bakar, untuk mengucapkan ijab
qabul.
Aisyah lupa bahwa waktu yang
dimilikinya terbatas. Tidak mau kehilangan kalung kesayangannya, dia pun mencari-cari
di seputar lokasi tadi melepas hajat. Nihil, yang dicari-cari tetap tidak
ketemu. Dan Aisyah pun tertahan karena pencarian itu.
Dalam pada itu, orang yang bertugas
menuntun untanya telah mengangkat hawdaj dan meletakkannya di atas punggung
unta. Dia mengira Aisyah telah berada di dalamnya. Aisyah memang berperawakan
kecil, apalagi seorang perempuan yang masih belia. Si penuntun unta tidak
merasakan beratnya hawdaj ketika mengangkatnya ke atas unta. Sehingga saat
malam itu, ketika dia juga menaikkan hawdaj ke atas unta, dia tidak bisa membedakan
hawdaj itu kosong atau berisi. Dia tidak menyadari kalau Aisyah tidak ada di
dalamnya.
Aisyah baru menemukan kalung itu
setelah pasukan kaum Muslimin sudah berjalan. DIa segera mendatangi tempat unta
dan hawdaj yang dinaikinya. Namun kosong. Aisyah tidak melihat seorang pun di
sana. Aisyah segera berlari berusaha menyusul rombongan, namun jangankan
menyusul, pandangannya pun sudah tidak bisa melihat pasukan kaum Muslimin. Rasulullah
SAW dan pasukan sudah jauh meninggalkan Aisyah. Apa daya, langkah kecil seorang
wanita belia dengan pakaian yang melilit tubuhnya, tidak mungkin dapat berlari
kencang.
Merasa tidak akan mampu berlari terus
dan mustahil kalau dapat menyusul rombongan, Aisyah pun terduduk lemas,
pandangannya kosong ke arah jalan yang dilalui Rasulullah SAW. Kaget, sedih,
takut, khawatir dan berpuluh-puluh kegalauan rasa bercampur baur dalam dadanya.
“Ya Allah … kenapa mereka meninggalkannku?” rintih Aisyah.
Aisyah pun kemudian kembali ke tempat
semula beristirahat. Dia berniat menunggu dengan harapan mereka akan menyadari
telah kehilangan dirinya dan kembali menjemputnya. Angin sejuk pun menerpa
tubuhnya seolah ingin menemaninya dalam kesendirian. Kesejukan yang dirasakan ditambah
kesepian yang mengelilinginya, membuat Aisyah tertidur.
Di saat yang bersamaan, ternyata
bukan hanya Aisyah yang tertinggal rombongan. Adalah Shafwan bin Mu’aththal
As-Sulami Adz-Dzakwani yang karena satu keperluan dia harus berangkat paling
akhir. Selepas fajar saat dia mau meneruskan perjalanan ketika melewati tempat
Aisyah, dia melihat bayangan di balik pohon, yang setelah didekati, kaget tidak
kepalang, ternyata bayangan hitam itu Aisyah, Ummul Mu’minin yang sedang tidur.
“Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi
Raji’uun,” reflek Shafwan mengucapkan kalimat istirja’.
Mendengar suara itu Aisyah pun
terbangun. Ada rasa kaget sekaligus senang saat melihat ada orang lain di sana.
Dan ternyata orang yang dikenalnya dan sudah tidak asing, Shafwan, yang beberapa
kali pernah berkunjung ke rumah Rasulullah SAW.
Aisyah pun menceritakan keadaannya
sampai tertidur di sana. Melihat Aisyah menangis sambil bercerita, Shafwan merasa
kasihan dan tidak sanggup berkata apa-apa kecuali terus mengucapkan kalimat
istirja’.
Shafwan pun segera menuntun untanya
dan mendudukkannya dan meminta Aisyah untuk menaikinya. Ada sedikit keraguan
dalam diri Aisyah, tetapi tidak mau mengambil risiko kalau-kalau Rasulullah
tidak menjemputnya, dia pun akhirnya mau naik ke unta milik Shafwan.
Segera mereka berangkat dan berharap dapat
menyusul pasukan kaum Muslimin. Selama perjalanan mereka tidak berkata-kata,
Shafwan hanya menuntun untanya dengan segera. Begitupun dengan Aisyah. Kondisi
yang belum pulih dari rasa takut selama menunggu sampai munculnya Shafwan,
membuatnya hanya bisa duduk termenung di atas unta. Apalagi cuaca siang di
bulan Sya’ban itu, teriknya sangat menyengat. Tak terbayangkan tersiksanya
Aisyah, melakukan perjalanan jarak jauh di siang terik dengan tiada teman
bicara. Sementara Shafwan menyadari etika Islam yang mengharuskannya menjaga
jarak dengan perempuan yang bukan muhrim, apalagi ini Aisyah, istri Rasulullah
SAW, Ummul Mu’minin.
Hening menyertai perjalanan mereka
berdua.
Komentar
Posting Komentar