Beberapa saat setelah matahari tergelincir melewati batas
siang hari, mereka tiba di tempat pasukan Muslim beristirahat. Alangkah
gembiranya Shafwan, upayanya tidak sia-sia ditambah kekhawatiran dan rasa
kasihannya kepada Ummul Mukminin hilang. Shafwan segera membawa untanya ke
tempat Rasulullah beristirahat.
Sementara itu pasukan kaum Muslimin masih memperbincangkan
kabar hilangnya Ummul Mu’minin. Seolah kabar ini hanya satu-satunya tema pembicaraan
mereka, baik yang sedang menyiapkan makanan, yang sedang berjaga di pos, yang
sedang duduk-duduk beristirahat, dimanapun. Segala kemungkinan penyebab
hilangnya Aisyah menambah bunga cerita dalam pembicaraan mereka. Sehingga
mereka bertambah kaget ketika melihat Shafwan tiba dengan menuntun unta yang
dinaiki Aisyah. Mereka pun terdiam dan memperhatikan Shafwan ketika melewati
mereka. Pandangan mereka seolah bertanya, apa yang terjadi dengan Shafwan dan
Aisyah. Shafwan yang tidak sadar menjadi pusat perhatian terus berjalan
mendekati kemah Rasulullah.
Sesampainya di tempat istirahat Rasulullah, Shafwan
menurunkan untanya dan segera menghadap Rasulullah. Sementara Aisyah yang
merasa lelah dan sakit karena selama perjalanan tidak bertandu, langsung masuk
ke hamdajnya tanpa berbicara sepatah kata pun pada Rasulullah. Rasulullah pun
memahami kondisi Aisyah, beliau hanya memanggil Shafwan dan minta keterangan
apa yang telah terjadi. Shafwan pun menceritakan apa yang dialaminya, sejak
menemukan Aisyah tertidur di bawah pohon sampai tiba di tempat beristirahat
pasukan.
“Apakah Aisyah tidak menceritakan kepadamu, kenapa sampai
tertinggal pasukan?” Tanya Rasulullah kepada Shafwan.
“Tidak, ya Rasulullah. Ummul Mu’minin hanya berkata bahwa dia
ketinggalan rombongan. Hamba pun tidak berani bertanya, Ummul Mu’minin
kelihatan sakit dan lelah sekali, sehingga hamba tidak tega untuk bertanya
kepadanya.” Jawab Shafwan.
Mendengar keterangan dari Shafwan, Rasulullah hanya
mengangguk dan terdiam. Karena khawatir Aisyah sakit dan bertambah parah
sakitnya, Rasulullah pun menginstruksikan pasukan untuk segera bergerak
melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah.
Selama perjalanan tidak terdengar Aisyah bersuara, sehingga
Rasulullah pun tidak mengajaknya berbicara. Rasulullah memaklumi sikap Aisyah
seperti itu, tertinggal sendirian selama setengah hari, tentu membuat kondisi
fisik dan mental terganggu. Apalagi selama perjalanan menyusul pasukan, Aisyah
tidak terlindungi, padahal cuaca hari itu sangat terik. Rasulullah mempercepat
perjalanan, seolah tidak sabar untuk segera sampai di Madinah.
Menjelang maghrib, Rasulullah dan pasukan sampai di Madinah.
Setelah memberikan arahan dan membubarkan pasukan, Rasulullah pun membuka tirai
hawdaj. Aisyah terlihat pucat, rona wajahnya memperlihatkan kelelalahan yang
sangat.
Rasulullah mengulurkan tangan dan langsung disambut Aisyah.
Rasulullah menggandeng Aisyah untuk membawanya ke rumah, dan Aisyah tetap diam
membisu seolah bibir Aisyah terkunci. Sejak memasuki rumah, Aisyah menjadi
pendiam dan tidak pernah keluar rumah karena sakit.
Ternyata sampainya Ummul Mu’minin ke rumah bukan akhir dari
penderitaannya. Tanpa sepengetahuan Rasulullah dan dirinya. Di luar sana telah
berembus dengan deras dan menyebar ke seantero kota sebuah kabar bohong, bahwa
telah terjadi sesuatu yang memalukan antara Shafwan dan Aisyah. Kaum munafik
yang selama ini selalu mencari cara untuk menjatuhkan Islam dan Rasulullah,
seolah mendapat peluang emas. Mereka pun, dipimpin dedengkot mereka Abdullah
bin Ubay bin Salul, tidak menyia-nyiakan peristiwa Shafwan dengan Aisyah ini.
“Berduaannya seorang wanita muda yang cantik dengan seorang
pemuda tampan, dalam waktu yang lama, sangat memungkinkan terjadi sesuatu.
Momen ini harus kita manfaatkan,” bisik Abdullah bin Ubay bin Salul.
“Bagaimana kita harus memanfaatkannya, ya Ibnu Ubay?” Tanya
Misthah bin Utsatsah minta penjelasan, yang juga berbisik.
“Kita buat cerita. Pertemuan seorang wanita dengan seorang
lelaki yang sama-sama muda, tidak ada lagi alasan selain asmara,” jawab
Abdullah bin Ubay.
“Asmara bagaimana maksudmu?” Sekarang Hasan bin Tsabit yang
penasaran.
“Ya asmara. Cinta. Kita buat cerita, bahwa mereka berdua
memang sengaja bertemu karena mereka saling mencinta,” jelas Abdullah bin Ubay
lebih detail lagi.
“Anggap saja mereka melakukan perselingkuhan, maksudmu?”
Mitsnah bin Utstsah menerka apa yang dimaksud Abdullah bin Ubay.
“Naaahh ... itu. Tepat sekali jawabanmu itu.”
Hasan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah manggut-manggut.
Keduanya paham apa yang dimaksud Abdullah bin Ubay.
Abdullah bin Ubay pun melanjutkan rencana busuknya. “Kita
buat cerita, bahwa Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan. Tugas kalian
berdua adalah menyebarkan cerita ini ke semua orang yang ada di Madinah. Kalian
harus membuat semua orang mempercayai cerita ini. Kalian berdua harus menjadikan cerita ini
jadi berita”
Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit pun mengangguk tanda
setuju dan mereka berpikir, ide pimpinan mereka sangat tepat.
Cerita pun beredar, viral. Bahwa telah terjadi perselingkuhan
antara Aisyah dengan Shafwan. Angin fitnah pun menerobos masuk ke rumah-rumah
penduduk Madinah. Sampai kemudian sampai juga ke telinga Rasulullah SAW. Dan
Rasulullah yang belum mendapat penjelasan dari Aisyah, mendengar isu yang
berhembus itu hanya terdiam, antara percaya dan tidak percaya.
Percaya, karena kenyataannya memang Aisyah hanya berdua
dengan Shafwan untuk waktu yang tidak sebentar. Tidak percaya, karena beliau
kenal betul siapa itu Shafwan, apalagi terhadap Aisyah, istri sendiri. Merasa
tidak mungkin apa yang diisukan itu terjadi. Untuk beberapa hari beliaupun
selalu menyendiri, menunggu wahyu dari Allah SWT yang akan memberikan
penjelasan yang sebenarnya.
Suatu malam, karena merasa harus buang hajat, Aisyah meminta
Ummu Misthah menemaninya ke tempat biasa orang-orang membuang hajat. Saat itu
masyarakat Madinah belum membuat tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga kalau
seseorang ingin buang hajat, ia harus berjalan ke Al-Manash, yaitu tempat buang
hajat di padang pasir, yang jaraknya cukup jauh dari rumah.
Saat Aisyah selesai buang hajat dan kembali ke rumah,
tiba-tiba Ummu Misthah kakinya tersandung sesuatu dan hampir menjatuhkannya.
Reflek mulutnya mengeluarkan serapah. Ia berkata, “Celakalah Misthah!”
Mendengar serapah itu sontak Aisyah pun memperingatinya,
“Sungguh buruk perkataanmu, apakah engkau mencela seorang lelaki yang telah
mengikuti peperangan Badar?”
Ummu Misthah menjawab, “Wahai Ummul Mu’minin, apakah engkau
belum mendengar apa yang dikatakan Mitsnah tentang dirimu?”
“Memang apa yang dikatakannya?” Selidik Aisyah.
Kemudian Ummu Misthah bercerita bahwa kemarin Mitsnah
menemuinya. Dia menceritakan fitnah yang beredar tentang Aisyah dengan Shafwan,
mendengar cerita itu Aisyah pun kaget.
“Betulkah itu, Ummu Misthah?” tanya Aisyah tidak percaya.
“Betul, ya Ummul Mu’minin. Kabar itu bahkan menjadi
pembicaraan orang setiap hari.”
Seketika bergejolak hati Aisyah mendengarnya. Rasa sedih,
marah, malu bercampur, bergelora dalam dirinya. Sakit Aisyah yang dialami sejak
kepulangannya menjadi semakin parah. Dalam keadaan sakit yang bertambah parah,
Aisyah hanya bisa menangis sepanjang hari. Semakin membenamkan diri dalam
selimut kesedihan. Semakin menambah enggannya untuk keluar rumah.
Sebenarnya sejak beberapa hari dari kepulangannya, Aisyah
memang sudah merasakan sesuatu yang aneh, terutama dari sikap Rasulullah,
suaminya. Aisyah tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah ketika menemuinya,
tidak seperti biasa. Beberapa kali Rasulullah menemuinya hanya mengatakan,
‘Bagaimana kabarmu?’ tidak lebih. Itu pun dengan roman muka yang dingin.
Padahal, jangankan sedang sakit, kalau Rasulullah berkunjung ke rumah Aisyah,
Rasulullah menemuinya dengan wajah ceria, selalu keluar pujian akan kecantikan
wajah Aisyah, seperti ‘ya humaira’. Tidak jarang Rasulullah mengajaknya
bercanda, seperti mengajaknya balap lari.
“Aku telah merasakan kecuriagaan saat aku sakit, aku tidak
lagi merasakan kelembutan Rasulullah yang biasa kuterima saat aku sakit.”
Demikian curhat Aisyah kepada Ummu Misthah. “Ini membuatku curiga. Rupanya
berita itulah penyebabnya.”
Di tempat lain, semenjak tuduhan terhadap Aisyah tersiar, kegalauan melanda Rasulullah SAW. Beliau pun merasa enggan untuk menemui Aisyah. Hanya sesekali beliau menemui Aisyah. Dan sudah sebulan lamanya wahyu tentang peristiwa yang menimpa istrinya itu tidak kunjung turun. Karenanya Rasulullah pun bimbang dalam mengambil keputusan untuk masalah ini. Apakah harus mempercayai kabar yang beredar atau tidak. Kalau kabar itu benar, haruskah dia menceraikan Aisyah?
Komentar
Posting Komentar