Gejolak Fitnah (3)

 

Sebuah fragmen kelam dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Sebuah pembuktian, bahwa cinta dan ketaatan mampu meredam gejolak fitnah.


Beberapa saat setelah matahari tergelincir melewati batas siang hari, mereka tiba di tempat pasukan Muslim beristirahat. Alangkah gembiranya Shafwan, upayanya tidak sia-sia ditambah kekhawatiran dan rasa kasihannya kepada Ummul Mukminin hilang. Shafwan segera membawa untanya ke tempat Rasulullah beristirahat.

 

Sementara itu pasukan kaum Muslimin masih memperbincangkan kabar hilangnya Ummul Mu’minin. Seolah kabar ini hanya satu-satunya tema pembicaraan mereka, baik yang sedang menyiapkan makanan, yang sedang berjaga di pos, yang sedang duduk-duduk beristirahat, dimanapun. Segala kemungkinan penyebab hilangnya Aisyah menambah bunga cerita dalam pembicaraan mereka. Sehingga mereka bertambah kaget ketika melihat Shafwan tiba dengan menuntun unta yang dinaiki Aisyah. Mereka pun terdiam dan memperhatikan Shafwan ketika melewati mereka. Pandangan mereka seolah bertanya, apa yang terjadi dengan Shafwan dan Aisyah. Shafwan yang tidak sadar menjadi pusat perhatian terus berjalan mendekati kemah Rasulullah.

 

Sesampainya di tempat istirahat Rasulullah, Shafwan menurunkan untanya dan segera menghadap Rasulullah. Sementara Aisyah yang merasa lelah dan sakit karena selama perjalanan tidak bertandu, langsung masuk ke hamdajnya tanpa berbicara sepatah kata pun pada Rasulullah. Rasulullah pun memahami kondisi Aisyah, beliau hanya memanggil Shafwan dan minta keterangan apa yang telah terjadi. Shafwan pun menceritakan apa yang dialaminya, sejak menemukan Aisyah tertidur di bawah pohon sampai tiba di tempat beristirahat pasukan.

 

“Apakah Aisyah tidak menceritakan kepadamu, kenapa sampai tertinggal pasukan?” Tanya Rasulullah kepada Shafwan.

 

“Tidak, ya Rasulullah. Ummul Mu’minin hanya berkata bahwa dia ketinggalan rombongan. Hamba pun tidak berani bertanya, Ummul Mu’minin kelihatan sakit dan lelah sekali, sehingga hamba tidak tega untuk bertanya kepadanya.” Jawab Shafwan.

 

Mendengar keterangan dari Shafwan, Rasulullah hanya mengangguk dan terdiam. Karena khawatir Aisyah sakit dan bertambah parah sakitnya, Rasulullah pun menginstruksikan pasukan untuk segera bergerak melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah.

 

Selama perjalanan tidak terdengar Aisyah bersuara, sehingga Rasulullah pun tidak mengajaknya berbicara. Rasulullah memaklumi sikap Aisyah seperti itu, tertinggal sendirian selama setengah hari, tentu membuat kondisi fisik dan mental terganggu. Apalagi selama perjalanan menyusul pasukan, Aisyah tidak terlindungi, padahal cuaca hari itu sangat terik. Rasulullah mempercepat perjalanan, seolah tidak sabar untuk segera sampai di Madinah.

 

Menjelang maghrib, Rasulullah dan pasukan sampai di Madinah. Setelah memberikan arahan dan membubarkan pasukan, Rasulullah pun membuka tirai hawdaj. Aisyah terlihat pucat, rona wajahnya memperlihatkan kelelalahan yang sangat.

 

Rasulullah mengulurkan tangan dan langsung disambut Aisyah. Rasulullah menggandeng Aisyah untuk membawanya ke rumah, dan Aisyah tetap diam membisu seolah bibir Aisyah terkunci. Sejak memasuki rumah, Aisyah menjadi pendiam dan tidak pernah keluar rumah karena sakit.

 

Ternyata sampainya Ummul Mu’minin ke rumah bukan akhir dari penderitaannya. Tanpa sepengetahuan Rasulullah dan dirinya. Di luar sana telah berembus dengan deras dan menyebar ke seantero kota sebuah kabar bohong, bahwa telah terjadi sesuatu yang memalukan antara Shafwan dan Aisyah. Kaum munafik yang selama ini selalu mencari cara untuk menjatuhkan Islam dan Rasulullah, seolah mendapat peluang emas. Mereka pun, dipimpin dedengkot mereka Abdullah bin Ubay bin Salul, tidak menyia-nyiakan peristiwa Shafwan dengan Aisyah ini.

 

“Berduaannya seorang wanita muda yang cantik dengan seorang pemuda tampan, dalam waktu yang lama, sangat memungkinkan terjadi sesuatu. Momen ini harus kita manfaatkan,” bisik Abdullah bin Ubay bin Salul.

 

“Bagaimana kita harus memanfaatkannya, ya Ibnu Ubay?” Tanya Misthah bin Utsatsah minta penjelasan, yang juga berbisik.

 

“Kita buat cerita. Pertemuan seorang wanita dengan seorang lelaki yang sama-sama muda, tidak ada lagi alasan selain asmara,” jawab Abdullah bin Ubay.

 

“Asmara bagaimana maksudmu?” Sekarang Hasan bin Tsabit yang penasaran.

 

“Ya asmara. Cinta. Kita buat cerita, bahwa mereka berdua memang sengaja bertemu karena mereka saling mencinta,” jelas Abdullah bin Ubay lebih detail lagi.

 

“Anggap saja mereka melakukan perselingkuhan, maksudmu?” Mitsnah bin Utstsah menerka apa yang dimaksud Abdullah bin Ubay.

 

“Naaahh ... itu. Tepat sekali jawabanmu itu.”

 

Hasan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah manggut-manggut. Keduanya paham apa yang dimaksud Abdullah bin Ubay.

 

Abdullah bin Ubay pun melanjutkan rencana busuknya. “Kita buat cerita, bahwa Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan. Tugas kalian berdua adalah menyebarkan cerita ini ke semua orang yang ada di Madinah. Kalian harus membuat semua orang mempercayai cerita ini.  Kalian berdua harus menjadikan cerita ini jadi berita”

 

Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit pun mengangguk tanda setuju dan mereka berpikir, ide pimpinan mereka sangat tepat.

 

Cerita pun beredar, viral. Bahwa telah terjadi perselingkuhan antara Aisyah dengan Shafwan. Angin fitnah pun menerobos masuk ke rumah-rumah penduduk Madinah. Sampai kemudian sampai juga ke telinga Rasulullah SAW. Dan Rasulullah yang belum mendapat penjelasan dari Aisyah, mendengar isu yang berhembus itu hanya terdiam, antara percaya dan tidak percaya.

 

Percaya, karena kenyataannya memang Aisyah hanya berdua dengan Shafwan untuk waktu yang tidak sebentar. Tidak percaya, karena beliau kenal betul siapa itu Shafwan, apalagi terhadap Aisyah, istri sendiri. Merasa tidak mungkin apa yang diisukan itu terjadi. Untuk beberapa hari beliaupun selalu menyendiri, menunggu wahyu dari Allah SWT yang akan memberikan penjelasan yang sebenarnya.

 

Suatu malam, karena merasa harus buang hajat, Aisyah meminta Ummu Misthah menemaninya ke tempat biasa orang-orang membuang hajat. Saat itu masyarakat Madinah belum membuat tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga kalau seseorang ingin buang hajat, ia harus berjalan ke Al-Manash, yaitu tempat buang hajat di padang pasir, yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

 

Saat Aisyah selesai buang hajat dan kembali ke rumah, tiba-tiba Ummu Misthah kakinya tersandung sesuatu dan hampir menjatuhkannya. Reflek mulutnya mengeluarkan serapah. Ia berkata, “Celakalah Misthah!”

 

Mendengar serapah itu sontak Aisyah pun memperingatinya, “Sungguh buruk perkataanmu, apakah engkau mencela seorang lelaki yang telah mengikuti peperangan Badar?”

 

Ummu Misthah menjawab, “Wahai Ummul Mu’minin, apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakan Mitsnah tentang dirimu?”

 

“Memang apa yang dikatakannya?” Selidik Aisyah.

 

Kemudian Ummu Misthah bercerita bahwa kemarin Mitsnah menemuinya. Dia menceritakan fitnah yang beredar tentang Aisyah dengan Shafwan, mendengar cerita itu Aisyah pun kaget.

 

“Betulkah itu, Ummu Misthah?” tanya Aisyah tidak percaya.

 

“Betul, ya Ummul Mu’minin. Kabar itu bahkan menjadi pembicaraan orang setiap hari.”

 

Seketika bergejolak hati Aisyah mendengarnya. Rasa sedih, marah, malu bercampur, bergelora dalam dirinya. Sakit Aisyah yang dialami sejak kepulangannya menjadi semakin parah. Dalam keadaan sakit yang bertambah parah, Aisyah hanya bisa menangis sepanjang hari. Semakin membenamkan diri dalam selimut kesedihan. Semakin menambah enggannya untuk keluar rumah.

 

Sebenarnya sejak beberapa hari dari kepulangannya, Aisyah memang sudah merasakan sesuatu yang aneh, terutama dari sikap Rasulullah, suaminya. Aisyah tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah ketika menemuinya, tidak seperti biasa. Beberapa kali Rasulullah menemuinya hanya mengatakan, ‘Bagaimana kabarmu?’ tidak lebih. Itu pun dengan roman muka yang dingin. Padahal, jangankan sedang sakit, kalau Rasulullah berkunjung ke rumah Aisyah, Rasulullah menemuinya dengan wajah ceria, selalu keluar pujian akan kecantikan wajah Aisyah, seperti ‘ya humaira’. Tidak jarang Rasulullah mengajaknya bercanda, seperti mengajaknya balap lari.

 

“Aku telah merasakan kecuriagaan saat aku sakit, aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah yang biasa kuterima saat aku sakit.” Demikian curhat Aisyah kepada Ummu Misthah. “Ini membuatku curiga. Rupanya berita itulah penyebabnya.”

 

Di tempat lain, semenjak tuduhan terhadap Aisyah tersiar, kegalauan melanda Rasulullah SAW. Beliau pun merasa enggan untuk menemui Aisyah. Hanya sesekali beliau menemui Aisyah. Dan sudah sebulan lamanya wahyu tentang peristiwa yang menimpa istrinya itu tidak kunjung turun. Karenanya Rasulullah pun bimbang dalam mengambil keputusan untuk masalah ini. Apakah harus mempercayai kabar yang beredar atau tidak. Kalau kabar itu benar, haruskah dia menceraikan Aisyah?

Komentar