Gejolak Fitnah (4)

 Sebuah fragmen kelam dalam kehidupan Rasulullah SAW.

Sebuah pembuktian, bahwa cinta dan ketaatan mampu meredam gejolak fitnah.


Di hari berikutnya, ketika Rasulullah SAW menemui Aisyah, Aisyah pun berkata, “Ya Rasulullah, suamiku, telah sampai kepadaku kabar apa yang orang-orang perbincangkan. Aku pun merasakan adanya perubahan sikapmu kepadaku. Oleh karenanya, ijinkan aku pulang menemui kedua orang tuaku. Aku ingin beristirahat di sana sekaligus ingin mendengar berita yang sebenarnya dari kedua orang tuaku.”

 

Rasulullah terdiam. Beliau merasakan beban yang dirasakan istrinya, Aisyah. Oleh karenanya, tidak ingin menambah sedih Aisyah dan berharap sakit Aisyah terobati, Rasulullah SAW pun mengijinkan Aisyah pulang ke rumah orang tuanya.

 

Setelah Rasulullah SAW mengijinkan, Aisyah pun kemudian pergi ke rumah orang tuanya, Aisyah langsung menemui ibunya ketika sampai, memeluknya dan menumpahkan semua isi hatinya.

 

“Ya … ibunda, telah hancur hatiku, terbakar telingaku, mendengar orang-orang membicarakan sesuatu yang memalukan.” Bersimpuh Aisyah sambil mencurahkan isi hatinya. Airmata Aisyah tumpah di pangkuan ibunya.

 

“Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah jarang sekali wanita cantik yang dicintai suaminya dan dimadu melainkan madu-madunya itu pasti banyak menggunjing dirinya,” hibur ibunya Aisyah sambil memeluk kepala Aisyah yang bersimpuh di pangkuannya.

 

semalaman tangis Aisyah tidak berhenti. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Aisyah tidak bisa tidur dan terus menagis hingga pagi, seolah ingin menghabiskan stok air matanya.

 

Abu Bakar, ayah Aisyah tak kalah sedih melihat keadaan anaknya yang sangat menderita. Abu Bakar adalah sahabat karib Rasulullah SAW, sebelum menjadi mertua Rasulullah SAW. Abu Bakar lah yang menemani Rasulullah SAW ketika dikejar-kejar kafir Quraisy saat hijrah ke Madinah. Tetapi dalam kondisi seperti ini, Abu Bakar pun tak berdaya menghadapi fitnah keji yang melanda anaknya. Abu Bakar tidak berdaya menolak fitnah dan tidak punya dalih menyalahkan berita yang sudah tersebar. Karena realitanya sulit dibantah.

 

Kemarahan Abu Bakar timbul kepada orang-orang yang telah menghembuskan api fitnah itu. Apalagi saat mengetahui salah satu penyebar berita bohong itu adalah Misthnah bin Utsatsah, kemarahannya meninggi.

 

Abu Bakar terkenal orang yang berhati lembut, dia tidak bisa melihat orang lain menderita, oleh karenanya di masa awal-awal dakwah Rasulullah SAW Abu Bakar banyak membebaskan budak yang disiksa majikannya karena masuk Islam. Sebutlah Bilal bin Rabbah, Yasir sekaligus istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar.

 

Tapi kali ini, mengetahui Misthah bin Utsatsah jadi salah satu penghembus angin fitnah, kemarahannya muncul. Bagaimana tidak, Misthah adalah sepupu jauhnya yang terbilang miskin, sehingga setiap bulannya dibantu secara ekonomi oleh Abu Bakar. Mendengar orang yang selalu dibantunya itu justru turut andil menyebarkan fitnah, hati siapa yang tidak akan marah?

 

Abu Bakar kemudian bersumpah, bahwa dia tidak akan lagi membantu Misthah. Abu Bakar bersumpah akan menghentikan bantuan ekonominya kepada Misthah. Namun, Allah kemudian menegur Abu Bakar karena keputusannya itu.

***


Dalam kegalauannya menyikapi permasalahan istrinya, Rasulullah SAW pun kemudian memanggil beberapa sahabatnya untuk dimintai pendapat tentang masalah yang dihadapinya.

 

Rasulullah SAW meminta pendapat para sahabatnya, haruskah dia menceraikan Aisyah atau tidak. Usamah bin Zaid mengsulkan agar Rasulullah SAW menangguhkan keinginannya untuk bercerai, karena menurutnya Aisyah bersih dari tuduhan keji semacam itu serta begitu besarnya cinta Aisyah kepada Rasulullah SAW. Usamah bin Zaid mengemukakan pendapatnya, “Wahai Rasulullah SAW, kami tidak mengetahui dari keluarga engkau, melainkan kebaikan.”

 

Sedangkan Ali bin Abi Thalib ketika dimintai pendapatnya ia berkata, “Wahai Rasulullah SAW, janganlah engkau dibuat sempit karenanya, masih banyak wanita-wanita lain selain dia. Tanyakan saja kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.”

 

Rasulullah SAW pun memanggil Barirah, budaknya Aisyah. Beliau bertanya, “Wahai Barirah! Apakah engkau melihat ada sesuatu yang meragukan pada diri Aisyah?”  

 

“Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melihat pada diri Ummul Mu’minin sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan roti milik keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.” Jawab Barirah. Maksud Barirah, Aisyah tidak punya cela, tidak pernah melakukan kesalahan. Kecuali saat kecil ketika disuruh ibunya menjaga adonan roti.

 

Setelah meminta pendapat dari dua orang sahabatnya tadi serta keterangan dari Barirah, Rasulullah SAW memanggil kaum Muslimin kemudian berdiri di atas mimbar dan menyeru kepada mereka, meminta pembelaan dari tuduhan orang-orang munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay bin Salul, “Wahai kaum Muslimin, siapakah yang akan memberiku pengakuan dari seorang lelaki (maksudnya Abdullah bin Ubay bin Salul) yang telah menyakiti keluargaku. Sungguh demi Allah, aku tidaklah mengetahui sesuatu pun dari keluargaku kecuali kebaikan. Mereka telah menceritakan tentang seorang lelaki (maksudnya Shafwan bin Mu’atthal Assulami) yang aku tidak mengetahui dari dirinya kecuali kebaikan. Dan tidaklah ada orang yang menemui isteriku kecuali dia bersamaku.”

 

Mendengar penjelasan Rasulullah SAW tersebut, kaum Muslimin mulai sadar bahwa kabar tentang perselingkuhan Aisyah itu hanya buah akal busuk dari kaum munafik.

 

Dari kerumunan kaum Muslimin yang mendengarkan penjelasan Rasulullah SAW, berdirilah Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari dan berkata, “Aku akan membelamu wahai Rasulullah SAW, jika orang yang menyebarkan fitnah itu berasal dari Bani Aus, maka akan kami penggal kepalanya, jika orang itu berasal dari Bani Khazraj, maka silahkan perintahkan kami untuk melakukan tindakan terhadapnya.”

 

Mendengar perkataan Sa’ad bin Mu’adz itu, terjadi keributan di tengah-tengah kaum Muslimin. Tiba-tiba Sa’ad bin Ubadah berkata setengah berteriak, ditujukan kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya Sa’ad, dan tidak akan mampu untuk membunuhnya.”

 

Sa’ad bin Ubadah adalah pimpinan dari Bani Khazraj, merasa tidak enak kalau nama baninya disebut-sebut oleh Sa’ad bin Mu’adz. Karakter Mu’adz memang keras, walau Islam telah memolesnya menjadi seorang yang sholeh, tapi kepanatikan terhadap baninya masih kuat.

 

Melihat Sa’ad bin Ubadah membentak Sa’ad bin Mu’adz, yang merupakan pamannya, Usaid bin Hudhair berkata tak kalah keras, “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya karena kau seorang munafik yangmemperdebatkan orang-orang munafik.”

 

Keadaan pun semakin memanas. Antara Bani Aus dan Khazraj, hampir terjadi baku hantam. Mereka seperti ingin saling bunuh. Rasulullah SAW yang masih berada di atas mimbar kemudian menenangkan mereka, sampai akhirnya mereka pun terdiam dan suasana tenang kembali.

 

Setelah memberi penjelasan kepada kaum Muslimin, kegalauan masih menyelimuti Rasulullah SAW. Bagaimanapun, wahyu yang dinantikannya belum juga turun. Dan firman Allah adalah sumber kebenaran mutlak, termasuk untuk masalah yang sedang dihadapinya sekarang. Upaya terakhir untuk mencari kebenaran sebelum wahyu turun, Rasulullah SAW menemui Aisyah di rumah Abu Bakar.

 

Sementara itu Aisyah yang berada di rumah orang tuanya belum berhenti dari tangis kesedihannya. Kesedihan yang berganda, setelah dituduh berbuat yang memalukan, sekarang suaminya pun, Rasulullah SAW bersikap dingin seolah mempercayai tuduhan itu.

 

Malam itu, saat Rasulullah SAW menemuinya, tangisnya semakin menjadi, seolah ingin menghabiskan stok airmatanya, sampai-sampai Abu Bakar dan istrinya mengira Aisyah telah hancur hatinya. Mereka pun terus menghibur Aisyah. Rasulullah SAW kemudian masuk menemui mereka. Setelah mengucapkan salam lantas Rasulullah SAW pun duduk di samping Aisyah, padahal selama satu bulan Rasulullah SAW tidak pernah duduk di samping Aisyah.

 

Setelah mengucapkan tasyahud, Rasulullah SAW bersabda, “Ammaa Ba’du, wahai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita begini dan begini, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah Ta’ala menjauhkanmu dari tuduhan itu. Tetapi, bila kamu melakukan dosa tersebut, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena, seorang hamba yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.”

 

Mendengar Rasulullah SAW mengatakan itu, tangis Aisyah semakin menjadi, bertambah deras, air mata semakin banyak yang tumpah. Aisyah pun berkata kepada ayahnya, “Ya … ayahanda, tolonglah anakmu ini, jawablah apa yang sudah dikatakan Rasulullah SAW itu.”

 

“Aku tidak tahu, demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada Rasulullah SAW.” Abu Bakar hanya berkata singkat.

 

Aisyah kemudian berpaling pada ibunya. “Ya ibunda, jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW,” pinta Aisyah pada ibunya.

 

“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah SAW.” jawab ibunya.

 

Mengetahui kedua orang tuanya tidak dapat menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, Aisyah kemudian berkata ditujukan kepada Rasulullah SAW dan kepada orang tuanya dengan mengutip ayat 18 surat Yusuf, “Aku adalah seorang gadis yang masih kecil usianya, aku tidak banyak hafal ayat Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga engkau merasa mantap dan percaya terhadap hal itu. Dan bila aku bicara kepada kalian, ‘Sesungguhnya aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui bila aku jauh dari perbuatan tersebut, maka kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika aku mengaku kepada kalian dengan suatu perkara, sedang Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian pasti akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf (maksudnya Nabi Ayub): “Sabar itu adalah baik dan Allah adalah tempat meminta pertolongan terhadap apa yang kalian tuduhkan”.”

 

Aisyah kemudian berbaring di atas ranjangnya, berpaling dari Rasulullah SAW. Aisyah yakin Allah akan segera memberinya pertolongan karena menyadari bahwa dia memang tidak melakukan apa yang orang-orang tuduhkan. Seperti yang diucapkan Rasulullah SAW, Aisyah yakin Allah akan menjauhkannya karena memang dia jauh dari perbuatan tersebut.

 

Setelah memberikan jawaban kepada Rasulullah SAW, hati Aisyah menjadi tenang.


<Bersambung>


Komentar