Sebuah fragmen kelam dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Sebuah pembuktian, bahwa cinta dan ketaatan mampu meredam gejolak fitnah.
Di hari berikutnya, ketika Rasulullah
SAW menemui Aisyah, Aisyah pun berkata, “Ya Rasulullah, suamiku, telah sampai
kepadaku kabar apa yang orang-orang perbincangkan. Aku pun merasakan adanya
perubahan sikapmu kepadaku. Oleh karenanya, ijinkan aku pulang menemui kedua
orang tuaku. Aku ingin beristirahat di sana sekaligus ingin mendengar berita yang
sebenarnya dari kedua orang tuaku.”
Rasulullah terdiam. Beliau merasakan
beban yang dirasakan istrinya, Aisyah. Oleh karenanya, tidak ingin menambah
sedih Aisyah dan berharap sakit Aisyah terobati, Rasulullah SAW pun mengijinkan
Aisyah pulang ke rumah orang tuanya.
Setelah Rasulullah SAW mengijinkan,
Aisyah pun kemudian pergi ke rumah orang tuanya, Aisyah langsung menemui ibunya
ketika sampai, memeluknya dan menumpahkan semua isi hatinya.
“Ya … ibunda, telah hancur hatiku, terbakar
telingaku, mendengar orang-orang membicarakan sesuatu yang memalukan.” Bersimpuh
Aisyah sambil mencurahkan isi hatinya. Airmata Aisyah tumpah di pangkuan
ibunya.
“Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah
jarang sekali wanita cantik yang dicintai suaminya dan dimadu melainkan
madu-madunya itu pasti banyak menggunjing dirinya,” hibur ibunya Aisyah sambil
memeluk kepala Aisyah yang bersimpuh di pangkuannya.
semalaman tangis Aisyah tidak
berhenti. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Aisyah tidak bisa tidur dan
terus menagis hingga pagi, seolah ingin menghabiskan stok air matanya.
Abu Bakar, ayah Aisyah tak kalah
sedih melihat keadaan anaknya yang sangat menderita. Abu Bakar adalah sahabat
karib Rasulullah SAW, sebelum menjadi mertua Rasulullah SAW. Abu Bakar lah yang
menemani Rasulullah SAW ketika dikejar-kejar kafir Quraisy saat hijrah ke
Madinah. Tetapi dalam kondisi seperti ini, Abu Bakar pun tak berdaya menghadapi
fitnah keji yang melanda anaknya. Abu Bakar tidak berdaya menolak fitnah dan
tidak punya dalih menyalahkan berita yang sudah tersebar. Karena realitanya
sulit dibantah.
Kemarahan Abu Bakar timbul kepada
orang-orang yang telah menghembuskan api fitnah itu. Apalagi saat mengetahui
salah satu penyebar berita bohong itu adalah Misthnah bin Utsatsah,
kemarahannya meninggi.
Abu Bakar terkenal orang yang berhati
lembut, dia tidak bisa melihat orang lain menderita, oleh karenanya di masa
awal-awal dakwah Rasulullah SAW Abu Bakar banyak membebaskan budak yang disiksa
majikannya karena masuk Islam. Sebutlah Bilal bin Rabbah, Yasir sekaligus
istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar.
Tapi kali ini, mengetahui Misthah bin
Utsatsah jadi salah satu penghembus angin fitnah, kemarahannya muncul.
Bagaimana tidak, Misthah adalah sepupu jauhnya yang terbilang miskin, sehingga setiap
bulannya dibantu secara ekonomi oleh Abu Bakar. Mendengar orang yang selalu
dibantunya itu justru turut andil menyebarkan fitnah, hati siapa yang tidak
akan marah?
Abu Bakar kemudian bersumpah, bahwa
dia tidak akan lagi membantu Misthah. Abu Bakar bersumpah akan menghentikan
bantuan ekonominya kepada Misthah. Namun, Allah kemudian menegur Abu Bakar
karena keputusannya itu.
***
Dalam kegalauannya menyikapi
permasalahan istrinya, Rasulullah SAW pun kemudian memanggil beberapa
sahabatnya untuk dimintai pendapat tentang masalah yang dihadapinya.
Rasulullah SAW meminta pendapat para
sahabatnya, haruskah dia menceraikan Aisyah atau tidak. Usamah bin Zaid
mengsulkan agar Rasulullah SAW menangguhkan keinginannya untuk bercerai, karena
menurutnya Aisyah bersih dari tuduhan keji semacam itu serta begitu besarnya
cinta Aisyah kepada Rasulullah SAW. Usamah bin Zaid mengemukakan pendapatnya, “Wahai
Rasulullah SAW, kami tidak mengetahui dari keluarga engkau, melainkan
kebaikan.”
Sedangkan Ali bin Abi Thalib ketika
dimintai pendapatnya ia berkata, “Wahai Rasulullah SAW, janganlah engkau dibuat
sempit karenanya, masih banyak wanita-wanita lain selain dia. Tanyakan saja
kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.”
Rasulullah SAW pun memanggil Barirah,
budaknya Aisyah. Beliau bertanya, “Wahai Barirah! Apakah engkau melihat ada
sesuatu yang meragukan pada diri Aisyah?”
“Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran,
aku tidak melihat pada diri Ummul Mu’minin sesuatu yang tercela darinya, hanya
saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan
roti milik keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.” Jawab Barirah.
Maksud Barirah, Aisyah tidak punya cela, tidak pernah melakukan kesalahan.
Kecuali saat kecil ketika disuruh ibunya menjaga adonan roti.
Setelah meminta pendapat dari dua
orang sahabatnya tadi serta keterangan dari Barirah, Rasulullah SAW memanggil
kaum Muslimin kemudian berdiri di atas mimbar dan menyeru kepada mereka, meminta
pembelaan dari tuduhan orang-orang munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay bin
Salul, “Wahai kaum Muslimin, siapakah yang akan memberiku pengakuan dari seorang
lelaki (maksudnya Abdullah bin Ubay bin Salul) yang telah menyakiti keluargaku.
Sungguh demi Allah, aku tidaklah mengetahui sesuatu pun dari keluargaku kecuali
kebaikan. Mereka telah menceritakan tentang seorang lelaki (maksudnya Shafwan
bin Mu’atthal Assulami) yang aku tidak mengetahui dari dirinya kecuali
kebaikan. Dan tidaklah ada orang yang menemui isteriku kecuali dia bersamaku.”
Mendengar penjelasan Rasulullah SAW
tersebut, kaum Muslimin mulai sadar bahwa kabar tentang perselingkuhan Aisyah
itu hanya buah akal busuk dari kaum munafik.
Dari kerumunan kaum Muslimin yang
mendengarkan penjelasan Rasulullah SAW, berdirilah Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari
dan berkata, “Aku akan membelamu wahai Rasulullah SAW, jika orang yang
menyebarkan fitnah itu berasal dari Bani Aus, maka akan kami penggal kepalanya,
jika orang itu berasal dari Bani Khazraj, maka silahkan perintahkan kami untuk
melakukan tindakan terhadapnya.”
Mendengar perkataan Sa’ad bin Mu’adz itu,
terjadi keributan di tengah-tengah kaum Muslimin. Tiba-tiba Sa’ad bin Ubadah
berkata setengah berteriak, ditujukan kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Demi Allah,
engkau tidak akan membunuhnya Sa’ad, dan tidak akan mampu untuk membunuhnya.”
Sa’ad bin Ubadah adalah pimpinan dari
Bani Khazraj, merasa tidak enak kalau nama baninya disebut-sebut oleh Sa’ad bin
Mu’adz. Karakter Mu’adz memang keras, walau Islam telah memolesnya menjadi
seorang yang sholeh, tapi kepanatikan terhadap baninya masih kuat.
Melihat Sa’ad bin Ubadah membentak
Sa’ad bin Mu’adz, yang merupakan pamannya, Usaid bin Hudhair berkata tak kalah
keras, “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya karena kau seorang munafik
yangmemperdebatkan orang-orang munafik.”
Keadaan pun semakin memanas. Antara Bani
Aus dan Khazraj, hampir terjadi baku hantam. Mereka seperti ingin saling bunuh.
Rasulullah SAW yang masih berada di atas mimbar kemudian menenangkan mereka,
sampai akhirnya mereka pun terdiam dan suasana tenang kembali.
Setelah memberi penjelasan kepada
kaum Muslimin, kegalauan masih menyelimuti Rasulullah SAW. Bagaimanapun, wahyu
yang dinantikannya belum juga turun. Dan firman Allah adalah sumber kebenaran
mutlak, termasuk untuk masalah yang sedang dihadapinya sekarang. Upaya terakhir
untuk mencari kebenaran sebelum wahyu turun, Rasulullah SAW menemui Aisyah di
rumah Abu Bakar.
Sementara itu Aisyah yang berada di
rumah orang tuanya belum berhenti dari tangis kesedihannya. Kesedihan yang
berganda, setelah dituduh berbuat yang memalukan, sekarang suaminya pun, Rasulullah
SAW bersikap dingin seolah mempercayai tuduhan itu.
Malam itu, saat Rasulullah SAW
menemuinya, tangisnya semakin menjadi, seolah ingin menghabiskan stok
airmatanya, sampai-sampai Abu Bakar dan istrinya mengira Aisyah telah hancur
hatinya. Mereka pun terus menghibur Aisyah. Rasulullah SAW kemudian masuk
menemui mereka. Setelah mengucapkan salam lantas Rasulullah SAW pun duduk di
samping Aisyah, padahal selama satu bulan Rasulullah SAW tidak pernah duduk di
samping Aisyah.
Setelah mengucapkan tasyahud, Rasulullah
SAW bersabda, “Ammaa Ba’du, wahai Aisyah, sesungguhnya telah sampai
kepadaku berita begini dan begini, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena
tidak melakukannya, semoga Allah Ta’ala menjauhkanmu dari tuduhan itu. Tetapi,
bila kamu melakukan dosa tersebut, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah
kepada-Nya. Karena, seorang hamba yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka
Allah akan menerima taubatnya.”
Mendengar Rasulullah SAW mengatakan
itu, tangis Aisyah semakin menjadi, bertambah deras, air mata semakin banyak
yang tumpah. Aisyah pun berkata kepada ayahnya, “Ya … ayahanda, tolonglah
anakmu ini, jawablah apa yang sudah dikatakan Rasulullah SAW itu.”
“Aku tidak tahu, demi Allah, aku
tidak akan berbicara kepada Rasulullah SAW.” Abu Bakar hanya berkata singkat.
Aisyah kemudian berpaling pada
ibunya. “Ya ibunda, jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW,” pinta
Aisyah pada ibunya.
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang
harus aku katakan kepada Rasulullah SAW.” jawab ibunya.
Mengetahui kedua orang tuanya tidak
dapat menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, Aisyah kemudian berkata ditujukan
kepada Rasulullah SAW dan kepada orang tuanya dengan mengutip ayat 18 surat
Yusuf, “Aku adalah seorang gadis yang masih kecil usianya, aku tidak banyak hafal
ayat Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal
ini hingga engkau merasa mantap dan percaya terhadap hal itu. Dan bila aku
bicara kepada kalian, ‘Sesungguhnya aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah
Ta’ala Maha Mengetahui bila aku jauh dari perbuatan tersebut, maka kalian juga
tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika aku mengaku kepada kalian dengan
suatu perkara, sedang Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari
perbuatan tersebut, kalian pasti akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak
ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan
oleh Abu Yusuf (maksudnya Nabi Ayub): “Sabar itu adalah baik dan Allah adalah
tempat meminta pertolongan terhadap apa yang kalian tuduhkan”.”
Aisyah kemudian berbaring di atas
ranjangnya, berpaling dari Rasulullah SAW. Aisyah yakin Allah akan segera
memberinya pertolongan karena menyadari bahwa dia memang tidak melakukan apa
yang orang-orang tuduhkan. Seperti yang diucapkan Rasulullah SAW, Aisyah yakin
Allah akan menjauhkannya karena memang dia jauh dari perbuatan tersebut.
Setelah memberikan jawaban kepada Rasulullah SAW, hati Aisyah menjadi tenang.
<Bersambung>
Komentar
Posting Komentar