![]() |
“Kamu tahu? Retak di jembatan itu sudah lama ada. Dan,
sampai sekarang apa yang kau khawatirkan itu tidak pernah terjadi.” Pak Lurah
menyodorkan kembali catatan yang diserahkan Andi. Catatan yang dibacanya
sekilas tanpa antusias. Andi menghela nafas, menerima kembali catatan yang dia
buat semalaman. Untuk kesekian kalinya Pak Lurah menolak usulan Andi soal
perbaikan jembatan. Seingat Andi ini kali keempat.
“Tapi ini tidak bisa dibiarkan Pak, kalau jembatan itu
runtuh, selain akan memakan korban, juga akses satu-satunya kampung ini akan
putus.” Andi tetap berargumen sebelum meninggalkan rumah Pak Lurah. Kali ini
kakinya dia langkahkan menuju rumah Haji Ridwan, sesepuh kampung Cibiru.
“Begini Pak Haji,” Andi mengawali penjelasannya setelah
dipersilahkan masuk. “Menurut yang saya pelajari, keretakan pada tiang jembatan
ini lama-lama akan memanjang dan merembet, keretakannya akan semakin meluas,
dan kalau dibiarkan tiang-tiang yang retak ini tidak akan mampu menahan beban
sebagaimana biasa.”
Andi tak lupa memperlihatkan catatan perhitungan dia tentang
kemungkinan kerusakan jembatan. Haji Ridwan manggut-manggut mendengar
penjelasan Andi sekaligus membaca catatan yang Andi sodorkan. Sebagai mahasiswa
ITB jurusan Planologi, tanggung jawab morilnya terpanggil saat liburan kali
ini. Waktu dia ingin memancing di bawah jembatan, Andi kaget melihat retakan
yang ada di kedua tiang jembatan.
“Jembatan itu sudah dibangun sebelum kau lahir nak. Dan
selama ini tetap kokoh. Apa kau serius dengan perhitunganmu ini?” Haji Ridwan tak
yakin dengan penjelasan Andi.
“Saya kan bersandar pada teori yang saya pelajari, Pak Haji.
Tentu saya yakin. Walaupun, sebagaimana disampaikan Pak Lurah, retak yang ada
di tiang itu sudah lama ada. Betul, retak di luarnya mungkin tidak terlihat
bertambah, tetap seperti itu. Tapi saya yakin di dalam beton tiangnya, retak
itu bertambah, merembet. Apalagi beban yang diterima jembatan semakin lama
semakin berat,” tegas Andi. Meyakinkan kembali Haji Ridwan.
“Baiklah, Insya Allah Pak Haji akan bawa masalah ini ke
pertemuan rutin para ketua RW dengan Pak Lurah, lusa.” Jawaban Pak Haji sedikit
mengobati kekecewaan Andi terhadap sikap Pak Lurah, dan memunculkan optimis
bahwa usulan untuk memperbaiki jembatan akan disetujui, sehingga bayangan buruk
yang selama ini menghantui kepalanya akan sirna.
Kampung Cibiru nyaris terisolir. Keberadaan dua sungai besar
yang mengapit, melingkar mengelilinginya, memisahkan kampung Cibiru dengan
kampung-kampung yang lainnya. Hanya ada 2 akses jalan bagi 1000an warga kampung
Cibiru untuk keperluan sekolah, bekerja, ke pasar, ke kota, dan keperluan
lainnya. Satu jembatan kecil di sebelah kiri kampung, yang hanya bisa dilewati pejalan
kaki. Satunya akses utama, jembatan besar yang bisa dilewati 2 mobil. Boleh
dikatakan, jembatan ini satu-satunya yang menghubungkan kampung Cibiru dengan
kampung yang lainnya. Dan, jembatan ini yang sedang mengalami keretakan.
“Dalam kondisi seperti sekarang ini sangat sulit kalau kita
mengajukan dana untuk pembangunan ke pemkab, sementara kalau mengandalkan kas
kita, tidak akan cukup.” Pak Lurah membuka diskusi tentang perbaikan jembatan,
setelah diawali paparan oleh Haji Ridwan.
“Tapi kalau dibiarkan, kita khawatir terjadi apa-apa yang
tidak kita harapkan,” Haji Ridwan
mengungkapkan kembali kekhawatirannya, dan beberapa ketua RW yang duduk di
belakangnya turut mengamini.
“Terus, menurut bapak-bapak sekarang harus bagaimana?” Pak
Lurah melempar masalah ke forum.
Beberapa ketua RW setuju dengan Haji Ridwan, bahwa jembatan
harus segera diperbaiki. Walaupun, mereka tidak tahu darimana biayanya.
Sebagian lagi menyatakan, sebaiknya perbaikan jembatan ditunda dulu, dengan
alasan belum ada dananya. Hampir satu jam tidak juga bisa diambil satu
keputusan.
“Begini saja Pak Lurah,” Agak keras Haji Ridwan sambil
berdiri, suasana riuh silang pendapat pun reda. Ingin tahu apa yang akan
disampaikannya. “Karena ini menyangkut hajat semua warga kampung Cibiru,
sebaiknya kita mengajak mereka untuk memberikan pendapatnya.”
Usul Haji Ridwan ini kemudian disetujui. Bukan karena mereka
sudah deadlock, satu jam lebih tidak dicapai kesepakatan. Tetapi, karena
memang keputusan memperbaiki jembatan ini harus melibatkan semua warga.
Karena tidak mungkin mengumpulkan semua warga dalam satu
ruangan, maka diputuskan hanya kepala keluarga, yang jumlahnya sekitar 200
orang, yang berhak memberikan suaranya. Pengambilan keputusan akan dilaksanakan
lima hari ke depan di aula kelurahan. Setiap ketua RW ditugaskan untuk
mensosialisasikannya kepada warganya masing-masing, dengan opsi pilihan: setuju
perbaikan jembatan atau tidak setuju.
Esoknya, Pak Entang, ketua RW 05 menelepon Pak Komar,
juragan buah dan pemilik toko bahan bangunan terbesar di Cibiru. Memberi tahu
akan ada pengambilan suara terkait rencana perbaikan jembatan.
“Berarti kalau nanti jadi diperbaiki, jembatan untuk
sementara tidak bisa digunakan dong?” tanya Pak Komar.
“Betul Pak. Menurut perhitungan mahasiswa ITB yang anaknya
Pak Hendi itu sih, perbaikan jembatan memerlukan waktu lebih dari satu bulan,”
jelas Pak Entang.
“Waduh ciloko dong, omsetku bisa turun, usahaku bisa mati
ini.”
“Makanya saya nelpon bapak. Kalau memang diperlukan saya dan
kawan-kawan ketua RW bisa mengkondisikan,” pelan Pak Entang bicara namun dengan
penegasan saat bilang ‘mengkondisikan’.
“Kau atur lah! Aku siapkan uangnya.”
Senyum menghias wajah Pak Entang, sederet angka sudah
terbayang dalam kepalanya. Tak mau berlama-lama, dia langsung menelepon
beberapa ketua RW. Dari 11 RW, ada 7 ketua RW yang menurutnya ‘bisa
dikondisikan’.
Menjelang hari H, isu pengambilan suara menjadi agenda
pembicaraan warga kampung Cibiru. Saat sarapan, di warung kopi, di pos ronda,
saat kumpul di tukang sayur, di arisan ibu-ibu, di kantor kelurahan, di mana
pun. Tentu dengan silang pendapat antara harus memperbaiki jembatan atau tidak.
Seperti obrolan Ohle dan Komar di pangkalan ojek.
“Kamu nanti mau milih setuju atau tidak, Mar,” tanya Ohle
pada Komar.
“Entahlah. Bagiku kedua pilihan itu sama saja.”
“Sama saja bagaimana?”
“Lha, aku cuma tukang ojek, enggak ngerti ilmu bangunan.
Diperbaiki sukur, tidak diperbaiki juga tidak apa-apa.” Komar membuka topi dan
menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya, tapi kamu tetap harus punya pilihan,” tegas Ohle.
“Nanti aku diskusikan sama istri dulu.”
“Emangnya istrimu tahu tentang bangunan?”
Komar hanya menggeleng sambil tersenyum.
Ohle merengut melihat jawaban Komar dengan gelengan
kepalanya.
Sementara itu, Pak Entang dan tim yang dibentuknya terus
bekerja. Setiap malam dievaluasi. Jangan sampai keputusan yang diinginkannya
gagal.
“Pokoknya, kita harus berusaha agar hasil akhir pemilihan
nanti, pilihan tidak setuju harus lebih banyak.” Pak Entang mengarahkan timnya.
“Tenang Pak! Separuh lebih warga saya sudah menyatkan tidak
setuju,” ujar Pak Edi, Ketua RW 07.
“Bagus tuh, RW yang lain harus dikondisikan juga,” kata Pak
Entang.
“Ya, kita, para ketua RW harus mau keliling ke rumah-rumah
warga. Bilang saja, kalau nanti keputusan diperbaiki yang menang, biaya
perbaikannya akan dibebankan ke warga dengan iuran. Mereka pasti menolak kalau
diduruh iuran,” saran Pak Edi.
Para ketua RW dan beberapa orang yang hadir menganggukkan
kepala.
Andi hanya mengurut dada, tak habis pikir. Mengapa urusan
memperbaiki jembatan harus diserahkan ke warga yang notabene tidak tahu apa-apa
tentang konstruksi. Kalaupun ada, hanya beberapa orang saja. Bukan merasa
paling bisa, tapi kenapa harus melakukan pemungutan suara? Apakah atas nama
demokrasi semua hal ‘hanya’ bisa diselesaikan dengan pemungutan suara? Padahal,
menurutnya, cukup dipanggil beberapa warga yang paham tentang konstruksi lalu
dimusyawarahkan, dan diambil keputusan terbaik.
Andi makin bertanya-tanya, apakah dapat dikatakan sebuah
demokrasi, ketika sebuah keputusan harus dipilih oleh orang-orang yang notabene
tidak memahami konsekuensi dari pilihannya.
Sayang Andi tidak bisa menyaksikan proses pemungutan suara.
Dua hari menjelang hari H, liburannya berakhir. Andi harus segera kembali ke
Bandung.
Tiga hari kemudian, Andi mendapat kabar dari ibunya, bahwa
hasil pemungutan suara lebih banyak yang tidak setuju untuk memperbaiki
jembatan. Mendengarnya Andi hanya menghela nafas. Sedih.
Pertimbangan-pertimbangan non-teknis dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh
warga Cibiru. Atau bahkan tanpa pertimbangan saat mereka menentukan pilihan.
Mereka memilih hanya atas dasar arahan.
Dua pekan kemudian, saat sarapan di kedai bubur kacang
langganannya, Andi membaca Koran yang ada tergeletak di meja. Gelas yang
dipegangnya hampir terlepas, saat membaca berita di halaman pertama, dengan
tulisan cukup besar.
“Jembatan Kampung Cibiru Runtuh. Korban meninggal 25 orang,
3 buah Mobil dan 9 Sepeda Motor”.
Andi tidak melanjutkan membaca. Tidak sanggup. Nafsu makan
pun hilang. Tersisa satu pertanyaan dalam hatinya.
“Kalau sudah begini, betulkah suara rakyat itu suara Tuhan?”
***
Komentar
Posting Komentar