Sumur


 

“Lan, habis makan kamu isi bak mandi, kosong tuh.” Ayah Alan keluar dari kamar mandi sambil menghanduki rambutnya.

 

“Lah, kok Alan sih. Ada kak Siti kan?” Alan yang baru habis setengah piring protes.

 

“Kamu kan anak laki, masa perempuan nimba,”timpal ayah Alan.

 

Enggak punya alasan lain, Alan hanya mengangguk.

 

Nimba air untuk mengisi bak mandi memang pekerjaan ayahnya, Alan kadang-kadang saja disuruh kalau kebetulan ayahnya belum pulang kerja, atau sedang mengerjakan sesuatu yang tidak bisa ditinggal. Pekerjaan yang cukup melelahkan bagi Alan. Untuk mengisi penuh bak mandi perlu belasan kali menarik ember dari dalam sumur. Apalagi sumurnya lumayan dalam.

 

Selesai makan Alan langsung ke sumur. Baru setengah bak mandi terisi, saat narik ember yang kesekian kali tiba-tiba permen loly di sakunya jatuh.

 

Alan mendengus kesal seraya melaihat ke dalam sumur. Permen yang dibelinya di warung Bu Mul tak sempat dinikmati. Alan melanjutkan menimba, saat mau menuangkan air di ember ke bak mandi terlihat ada sesuatu di dalam ember. Sesuatu yang berwarna cerah, kontras dengan air yang jernih.

 

Alan pun memasukkan tangan ke dalam ember meraih sesuatu tersebut. Ternyata sebuah batu. Batu yang berwarna merah kekuningan. Alan bingung, dari mana batu itu, dia lalu memasukkan batu ke saku celana dan melanjutkan menimba.

 

Malamnya Alan bercerita ke Siti.

 

“Kak, ada yang aneh tadi waktu Alan nimba.”

 

“Apa?” Siti menjawab pendek tanpa mengalihkan wajahnya dari buku.

 

“Ini!” Alan mengangkat batu berwarna merah kekuningan.

 

“Apa itu?” Siti meletakkan buku dan mendekatkan wajahnya ke batu.

 

“Ini dari dalam sumur.”

”Bagaimana kamu mengambilnya?”

”Tidak. Dia ada sendiri di dalam ember.”

 

“Maksudmu?” Siti penasaran.

 

Alan kemudian menceritakan kejadiannya saat batu itu tertarik ke atas.

 

“Jadi. Batu itu ada di dalam ember setelah permenmu jatuh?” Siti makin penasaran.

 

Dibalas anggukan oleh Alan. Siti mengernyitkan dahi sambil menatap tajam batu yang kini dipegangnya.

 

“Bagaimana kalau besok kita coba lagi.” Siti mengemukakan ide.

 

“Coba apa?” Alan belum mengerti.

 

“Coba kita jatuhkan permen lagi ke dalam sumur.”

 

Besoknya mereka berdua menjalankan rencananya, setelah ayah mereka berangkat kerja.

 

“Kemarin tarikan ke berapa waktu kamu permenmu jatuh?” tanya Siti.

 

“Kalau ga salah ke delapan,” jawab Alan.

 

“Oke, kalau begitu sekarang timbalah seperti biasa. Nanti, setelah beberapa kali kita jatuhkan permennya,” perintah Siti.

 

Alan kemudian menimba air dan mengisikannya ke bak mandi. Seperti biasa. Setiap ember sampai di atas, dia selalu memperhatikan isinya. Kosong, tidak ada batu. Setelah ember kelima ditarik, Siti berbisik, “Sekarang jatuhkan permennya!”

 

Alan pun menjatuhkan permennya. Dan dia tidak segera menarik ember berikutnya. Jantungnya berdebar, perasaannya meresah.

 

“Tarik embernya, Alan!” bisik Siti namun dengan nada berteriak.

 

Saat ember sudah sampai di atas. Keduanya saling tatap sebelum melihat ke dalam ember. Dan, mulut mereka terbuka serta mata terbelalak saat melihat ke dalam ember. Ada batu berwarna merah kekuningan. Keduanya kembali saling tatap, sebelum Siti mengambil batu tersebut.

 

“Apakah di dalam sumur ada makhluknya?” tanya Alan.

 

“Entahlah, tapi tidak mungkin batu itu ada di dalam ember kalau tidak ada yang memasukkannya.”

 

“Lalu, kenapa baru meletakkan batu setelah kita menjatuhkan permen?” Alan makin bingung.

 

“Sekarang timba lagi,” perintah Siti.

 

Alan kembali menarik ember, kosong. Tidak ada batu di dalamnya. Begitupun ember-ember berikutnya. Ini semakin membuktikan bahwa batu itu ada setelah permen jatuh.

 

“Kita coba lagi.”

 

“Tapi aku ga punya lagi permen,” jawab Alan.

 

Siti berlari ke dapur, sejenak kemudian muncul dengan apel di tangan. “Kita coba jatuhkan apel.” tanpa menunggu respon dari Alan, Siti menjatuhkan apel ke dalam sumur.

 

Setelah beberapa saat. “Sekarang tarik embernya, Alan!”

 

Alan menarik ember, semakin mendekat ember ke atas, semakin berkeringat wajah Alan. Berkeringat karena lelah juga berkeringat karena tegang.

 

Setelah ember di atas, mata mereka lebih membelalak daripada sebelumnya. Bagaimana tidak, di dalam ember terlihat ada tiga batu dengan ukuran lebih besar dari batu yang pertama.

 

Malam harinya, mereka membicarakan kembali peristiwa tersebut.

 

“Sepertinya dugaanku benar.” Alan membuka pembicaraan. “Sepertinya makhluk, atau apapun, yang ada di dalam sumur memberi kita batu ini sebagai balasan karena kita memberi dia makanan.”

 

Siti tidak menimpali, dia hanya menatap mata Alan. Rupanya dia mencoba memahami apa yang dikatakan Alan. Dan gestur wajahnya menunjukkan dia sepakat.

 

“Bagaimana kalau kita besok coba dengan makanan yang lebih besar?” usul Siti kemudian. Alan mengangguk tanda setuju.

 

Besoknya, mereka membawa buah semangka yang tinggal sebelah. Mereka penasaran, betulkah dugaan mereka?

 

Setelah Alan menimba beberapa ember, Siti menjatuhka semangka ke dalam sumur. Suara kecipak air sampai terdengar ke atas.

 

Tanpa menunggu perintah Siti, Alan langsung menarik ember.

 

“Berat!” Alan menoleh ke Siti seraya terus menarik ember.

 

Setelah ember sampai di bibir sumur, keduanya segera melihat isi ember. Keduanya hampir berteriak, kaget. Di dalam ember ada delapan batu, dengan warna yang berbeda-beda.

 

Mereka membawa batu-batu itu ke kamar mereka. Total sekarang mereka memiliki 13 batu.

 

“Betul kan dugaanku? Semakin besar makanan yang kita jatuhkan, semakin banyak batu yang makhluk, atau apa lah, berikan,” tegas Alan.

 

Siti mengangguk. “Lalu makhluk apa yang ada di dalam sumur itu?”

 

“Hei, apa itu?” Tiba-tiba ayah mereka masuk dan menunjuk batu-batu berwarna itu.

 

Tentu saja membuat mereka kaget. Untuk beberapa jenak mereka tidak menjawab. Mencoba menenangkan diri sebelum menjawab.

 

“Batu dari sumur, yah!” jawab Siti.

 

“Dari sumur bagaimana?” tanya ayah, bingung dengan jawaban Siti.

 

Siti kemudian menceritakan sejak pertama Alan yang tidak sengaja menjatuhkan permen, sampai kemudian mereka mendapatkan 13 batu. Sekaligus Siti mengungkapan dugaan mereka bahwa ada makhluk di dalam sumur.  

 

Ayah meraih satu batu dan memeriksanya, lalu tersenyum dan berkata, “Sepertinya batu ini ada harganya.” Dia lalu keluar kamar dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa sekop. Kemudian dengan nada tinggi, ”Kalian ikut aku!”

 

“Ayah mau ngapain?” Siti heran ayahnya membawa sekop.

 

Ayah tidak menjawab, dia membawa mereka ke sumur. Dia kemudian memegang tali timba lalu menyuruh Alan dan Siti untuk menurunkannya ke dalam sumur.

 

“Aku akan mengambil batu sebanyak mungkin!” kata ayah seraya memegang tali timba dengan kedua tangan, sementara sekop dijepit di kedua kakinya.

 

Alan dan Siti saling tatap, tapi mereka tidak bisa menolak. Mereka segera memegang tali timba satunya dan mulai mengulur untuk menurunkan ayah ke dalam sumur. Ayah mulai turun dengan pelan. Sampai kemudian terdengar suara air tanda ayah sudah sampai di bawah.

 

Sumur itu cukup dalam sehingga Alan dan Siti tidak bisa melihat ayah mereka di bawah sana. Hanya terdengar suara air berkecipak di balik gelap dasar sumur.

 

Beberapa menit kemudian terlihat tali yang dipegang ayah bergerak-gerak. Alan dan Siti salaing tatap kemudian sama-sama mengangguk. Keduanya menganggap itu tanda dari ayah supaya ditarik ke atas.

 

Alan dan Siti kemudian menarik tali timba. Terasa berat. Lebih berat dari saat menurunkan ayah tadi. Kedua mengerahkan tenaga untuk menarik tali ke atas. Setelah sampai di atas, mereka tidak melihat ayah. Hanya ada ember yang penuh dengan batu-batu berwarna dan berukuran besar.

 

“Mungkin ayah masih di bawah, ember ini kita kosongkan dulu saja, nanti kita turunkan lagi,” kata Siti yang dibalas anggukan oleh Alan.

 

Mereka kemudian meraih ember yang penuh dengan batu dan menumpahkannya di lantai. Keduanya terpaku saat semua batu sudah ditumpahkan, di sela-sela batu itu mereka menemukan sobekan kain dan ceceran darah.


Komentar