Takwa Itu Bicara Kepantasan

 



Salah satu pengibaratan takwa di dalam al-Qur’an adalah pakaian. Ini ada di surat Al-A’raaf ayat 26.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

 

Menurut Wikipedia, pertamakali pakaian yang digunakan terbuat dari kulit binatang dan kulit pepohonan, dengan tujuan sebagai perlindungan dari cuaca dingin, suhu panas dan hujan terutama saat manusia berimigrasi atau berpindah ke iklim yang baru.

 

Perkembangan teknologi membuat pakaian dikenakan bukan hanya untuk perlindungan tetapi juga untuk hiasan, untuk memperindah diri. Hal ini pun disebutkan di ayat di atas. Bahkan dunia mode menjadikan faktor estetika mengalahkan fungsi utama pakaian sebagai pelindung tubuh.

Dan khusus untuk kaum Muslimin, pakaiannya juga bertujuan untuk menutup aurat.

 

Jadi ada tiga fungsi pakaia; yaitu untuk perlindungan, untuk perhiasan dan untuk menutup aurat. Tentu bagi seorang Muslim prioritas utama adalah menutup aurat.

 

Namun, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan saat kita berpakaian, selain ketiga fungsi di atas. Dan ini sangat penting, yaitu kepantasan.

 

Maksudnya?

 

Selain ketiga fungsi yang disebutkan tadi, saat kita menggunakan pakaian, harus dilihat juga kepantasannya. Pantas tidak pakaian itu dikenakan?

 

Misalnya, pantaskah kalau kita menghadiri pemakaman dengan mengenakan pakaian warna cerah?

Pantaskah ke pesta pernikahan hanya memakai T-shirt dan celana jeans belel?

Dan sebagainya.

 

Takwa yang diibaratkan pakaian pun begitu. Takwa akan melindungi pemakainya dari bahaya sengatan api neraka. Takwa akan memperindah hidupnya dengan akhlak mulia. Dan, takwa akan menutupi segala aibnya. Namun, kepantasan tetap harus diperhatikan.

 

Apa maksud kepantasan dalam takwa?

 

Orang yang bertakwa tidak akan melakukan sesuatu hanya dari sisi syariat saja.

Misalnya saat melakukan salat. Betul, secara syariat (fiqh) kalau salat menggunakan sarung kumal dan kaos oblong tetap sah. Tapi, apakah itu pantas?

 

Betul berzikir itu hal mulia, tapi saat Anda misalkan menjadi relawan dan berkunjung ke lokasi bencana, terus Anda berzikir mengucapkan hamdalah; alhamdulillah …, alhamdulillah …, alhamdulillah …. Apa itu pantas?

 

Atau Anda setiap jum’at selalu berinfak sepuluh ribu ke kotak amal di masjid, padahal pendapatan Anda lima puluh juta sebulan. Apa itu pantas?

 

Atau Anda dikenal sebagai ustad di lingkungan Anda, tetapi Anda masih suka nongkrong di café sampai larut malam. Apakah itu pantas?

 

Dan sebagainya.

 

Jadi. Sebagaimana pakaian, jangal asal pakai.

Takwa pun akan menghindarkan kita dari asal berbuat.

Takwa akan melahirkan sikap kehati-hatian. Sebagaimana jawaban Ubay bin Ka’ab saat ditanya Umar bin Khaththab.

 

Suatu hari Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, “Wahai Ubay, apa makna takwa?"

 

Ubay yang ditanya justru balik bertanya, "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri? Saat berjalan di situ, apa yang engkau lakukan? Apakah berbalik karena tidak berani berjalan di situ?"

 

Setelah berpikir sejenak, Umar menjawab, “Tentu aku akan terus berjalan untuk mencapai tujuan, tetapi dengan berhati-hati supaya tidak terkena duri.”

 

"Itulah hakikat takwa," kata Ubay bin Ka’ab.

 

Wallahu’alam.

 

TSM, 11/05/21


Komentar