Memahami Makna Jihad



Anda pasti kaget membaca judul di atas. Dan, kalau Anda kaget, berarti tujuan saya menulis ini memang tepat hehe ….

 

Ya. Saya memang ingin meluruskan pemahaman kita terhadap kata ‘jihad’ ini. Karena, akhir-akhir ini kata ‘jihad’ seolah-olah adalah sebuah kata yang tabu untuk dituliskan atau diucapkan. Apalagi sampai dibicarakan. Padahal, kata ‘jihad’ ini merupakan satu dari beberapa istilah dalam Islam yang terdapat di dalam kita suci, al-Qur’an.

 

Bahkan, konon pemerintah sampai ada rencana menghapus kata ‘jihad’ ini dalam kurikulum pelajaran agama. Entahlah, benar tidaknya.

 

Mendengar atau membaca kata ‘jihad’ seolah-olah yang tergambar dalam pikiran kita adalah perang atau peperangan. Khususnya peperangan antara kaum Muslimin dengan kaum Non-Muslim. Padahal, ‘jihad’ dalam arti perang, itu hanya bagian kecil dalam makna ‘jihad’ sebenarnya.

 

Coba saja kita lihat makna ‘jihad’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI ‘jihad’ adalah:

1.      Usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan,

2.      Usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga,

3.      Perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam dengan syarat tertentu.

 

Ternyata KBBI pun menunjukkan bahwa ‘perang’ hanya satu dari tiga pengertian dari ‘jihad’. Bukan pengertian seutuhnya dari ‘jihad’.

 

Sementara Wikipedia memberi penjelasan tentang ‘jihad’ sebagai berikut;
“Jihad (bahasa Arab: جهاد) menurut syariat Islam adalah berjuang/usaha/ikhtiyar dengan sungguh-sungguh. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga din/agama tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Qur’an. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi dengan damai dan saling mengasihi. Namun dalam berjihad, Islam melarang pemaksaan dan kekerasan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak ikut berperang, seperti wanita, anak-anak, hingga manula.”

 

Sehingga terlalu berlebihan, kalau kata ‘jihad’ diartikan hanya sebagai perang, perang suci, atau perang agama.

 

Untuk lebih memahami makna yang terkandung di dalamnya, mari kita udar kata ‘jihad’ ini.

 

Kata ‘jihad’ berasal dari kata ‘jahada’ atau ‘jahdun’ atau ‘juhdun’ yang mempunyai arti sungguh-sungguh. Dari ‘jahada/jahdun/juhdun’ ini, muncul tiga istilah yang masing-masing mewakili ketiga potensi yang dimiliki manusia.

 

Ketiga istilah tersebut adalah,

1. Al-Ijtihaad (akal)

2. Al-Mujaahadah (hati)

3. Al-Jihaad (fisik)

 

Al-Ijtihaad

Adalah sebuah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama (Mujtahid) untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syariat mengenai kasus tertentu yang sebelumnya tidak tertera dalam Al-Qur'an dan Sunah.

 

Ada upaya yang sungguh-sungguh dari seorang Mujtahid (orang yang berijtihad) dengan mengerahkan segenap kekuatan ilmu yang dimilikinya.

 

Al-Mujaahadah

Adalah upaya sungguh-sungguh (bertekad) untuk membersihkan hati dari segala hawa nafsu (tazkiyyatun nafs), sehingga hati menjadi hidup (qolbun salim).

 

Al-Jihaad

Adalah sebuah upaya dengan bersungguh-sungguh, secara fisik (perbuatan) untuk melaksanakan dan menegakkan syariat Islam. Yaitu dengan berdakwah, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahyi munkar).

 

Sekarang kita bahas macam-macam jihad. Dalam pelaksanaannya, ‘jihad’ yang bermakna melaksanakan syariat secara sungguh-sungguh itu terbagi menjadi berbagai cara, yaitu:

Jihad bil Qolbu (jihad dengan hati),

Jihad bil Lisan (jihad dengan perkataan),

Jihad bil Maal (jihad dengan harta),

Jihad bil Siyasah (jihad dengan/melalui politik), dan

Jihad bil Jismi (jihad dengan fisik).

 

Berikut penjelasannya.

 

Pertama, Jihad bil Qolbu (jihad dengan hati). Bentuknya bisa berupa Mengingkari atau menolak di dalam hati kemungkaran/kejahatan yang terjadi di depan kita. Ini merupakan sikap terlemah yang dimiliki seorang Muslim. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis.

Man ra’a minkum munkaran fal yugayyirhu biyadihi, fa in lam yastati‘ fa bilisanihi, fa in lam yastati‘ fa biqalbihi, wa dzalika adh‘aful iman” (Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka cegahlah dan hentikanlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka cegahlah dan hentikanlah dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka cegahlah dan hentikanlah dengan hatinya; dan hal ini merupakan buah iman yang paling rendah).

 

Mengingkari atau menolak di dalam hati adalah bentuk selemah-lemahnya iman. Jadi, kalau dalam hati saja kita tidak menolak sebuah kejahatan, entah masih ada iman dalam diri kita?

 

Dan memang, penolakan di dalam hati pun memerlukan pengorbanan, memerlukan kekuatan mental, memerlukan kesungguhan, memerlukan jihad. Apalagi kalau kemungkaran itu dilakukan oleh orang-orang ‘di atas’ kita.

 

Selain menolak kemungkaran, jihad dengan hati pun diperlukan saat melaksanakan ibadah. Contohnya untuk melaksanakan tahajud atau salat malam, kalau tidak ada kesungguhan (jihad) dalam hati, akan sulit kita melakukannya.

 

 

Kedua, Jihad bil Lisan (jihad dengan lisan). Yang termasuk jihad dengan lisan ini adalah: Berkata benar, jujur. Tidak jarang kita berada di dalam situasi di mana kita berat untuk mengataka kebenaran. Ada risiko yang harus kita pertaruhkan. Di situlah kita dituntut untuk berjihad dengan lisan.

 

Jihad dengan lisan pun diperlukan saat ingin menyampaikan atau memberikan nasihat kepada saudara, teman atau bahkan atasan kita. Nasihat dengan lisan ini adalah tahap kedua sesuai hadits di atas dalam mencegah kemungkaran.

 

Jihad dengan/melalui tulisan juga termasuk pada jihad dengan lisan, karena sekarang tidak ada bedanya bahasa tulisan dengan bahasa lisan. Bahkan di kondisi tertentu, tulisan lebih berfek dibandingkan lisan. Terutama di era internet dan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Jihad atau dakwah melalui tulisan lebih efektif dan optimal.

 

 

Ketiga, Jihad bil Maal (jihad dengan harta). Yaitu dengan cara memanfaatkan harta (uang) yang kita miliki untuk hal-hal yang bersifat penegakkan syariat. Banyak cara bisa kita lakukan dengan harta kita. Bisa dengan membantu yang membutuhkan (donasi), membiayai program-program penegakan syariat, seperti membangun masjid, rumah tahfidz, dll.

 

Perlu kesungguhan sikap saat mengeluarkan harta tanpa ada jaminan mendapatkan imbalan. Terutama di era dimana sikap hedonisme masyarakat meninggi. Saat semua dihitung dengan imbalan apa yang akan di dapat. Saat ekonomi sulit seperti sekarang ini.

 

Keempat, Jihad bil Siyasah (Jihad dengan politik). Maksudnya adalah berjihad, menegakkan syariat melalui jalur politik.

Sebagaimana kita ketahui bahkan kita rasakan, aturan (undang-undang) yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) bersama legislatif (DPR) sangat mempengaruhi tata kehidupan masyarakat. Dan ketajaman pasal-pasal dalam aturan (undang-undang) kadangkala lebih tajam daripada mata pedang. Contoh untuk mencegah perjudian atau peredaran minuman keras. cukup beberapa pasal saja, dapat menghentikan sebuah kejahatan.

 

Dan itu diperlukan kesungguhan (jihad) dari orang-orang yang berkecimpung di eksekutif atau di legislatif, saat menggodok sebuah aturan. Selain itu, jihad melalui jalur politik juga dapat meciptakan pemerintahan yang bersih, mengayomi dan ujungnya diridoi Allah Swt.

 

Jihad di jalur politik ini tepat dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di wilayah legislatif, para anggota dewan. Juga yang bekerja di wilayah eksekutif; para ASN, birokrat, atau kepala daerah.

 

Kelima, Jihad dengan fisik. Jihad dengan fisik ini kadangkala dipahami sebagai pengertian dari jihad itu sendiri, yaitu berperang (qital) di jalan Allah Swt. Namun, tentu saja tidak sembarang perang, atau sedikit-sedikit perang. Karena keputusan perang itu adalah keputusan institusi bukan keputusan individu.

 

Misalnya, saat ini Palestina sedang dibombardir oleh Israel, maka tidak serta merta kita mewajibkan diri pergi ke Palestina, terjun langsung ke wilayah komflik untuk membantu berperang.

 

Begitupun, kita sebagai warga negara Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbanyak, merasa harus ikut serta di pihak Palestina untuk berperang. Karena, keputusan perang itu harus diambil oleh Presiden serta atas persetujuan Dewan.

 

Memang, ada sebagian kelompok yang memahami ‘jihad’ hanya sebatas perang fisik atau melakukan aksi secara langsung. Misalnya meledakkan bom atas nama jihad. Dan, ini justru yang menjadikan sebagian yang lain menjadi ‘membenci’ kata ‘jihad’.

 

Semoga sedikit penjelasan tentang ‘jihad’ ini membantu meluruskan pihak yang terlalu sempit memahami makna ‘jihad’. Sehingga tidak ada lagi yang ‘hobi’ berjihad, atau pun yang ‘phobi’ dengan ‘jihad’.

 

Wallahu’alam. 

Komentar