Sejarah dalam Fiksi


 

Sejarah adalah fakta masa lalu yang terrekam dalam bentuk prasasti, tulisan, gambar, atau tuturan cerita dari mulut ke mulut.

 

‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya’. Karena memang fakta masa lalu tersebut kadangkala mengandung nilai atau norma dari leluhur mereka, yang perlu dipertahankan untuk menjaga kewibawaan sebuah bangsa.

 

Namun, kadangkala sejarah juga ditanggapi salah. Dianggap semua kejadian masa lalu itu, tanpa pertimbangan logis, dijadikan acuan untuk bertindak di masa kini. Padahal itu bisa saja hanya mitos, yang diwariskan secara turun temurun.

 

Contohnya adalah mitos yang beredar di sebagian orang Sunda yang menganggap tidak baik kalau menikah dengan orang Jawa. Mitos ini tentu diwariskan dari leluhur secara turun temurun sebagaimana ‘pamali-pamali’ lainnya.

 

Saya mengetahui mitos ini setelah membaca Pentalogi Kisah Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi (LKH). Saya menikmati novel Gajah Mada ini, dan sejak membaca novel ini pula saya baru tahu ada genre Fiksi Sejarah dalam pembagian cerita fiksi.

 

Tentu sebelumnya saya mendapat gambaran profil Gajah Mada dalam pelajaran sejarah di sekolah. Bagaimana dia, seorang Mahapatih kerajaan Majapahit, yang sukses mempersatukan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan sumpah Palapanya. Kekaguman saya terhadap sosok Gajah Mada ini semakin kuat selama menikmati kisahnya yang ditulis LKH, tetapi sampai buku ketiga.

 

Nah, di buku keempat yang berjudul ‘Gajah Mada, Sanga Turangga Paksowani’ saya agak tertegun. Terutama memasuki pertengahan buku. Kesan saya terhadap Gajah Mada mulai negatif. Terutama karena dia memaksakan Kerajaan Sunda Galuh untuk tunduk menjadi ‘bawahan’ Majapahit, untuk menyempurnakan sumpah Palapanya. Walaupun orang-orang terkemuka di kerajaan Majapahit menasihatinya dan memberitahukannya, bahwa leluhur penguasa Majapahit dengan leluhur penguasa Sunda Galuh masih ada ikatan darah, Gajah Mada ‘keukeuh’ dengan tekadnya.

 

Sampai kemudian kisah berlanjut ke peristiwa ‘pembantaian’ di Bubat, dan saat saya menamatkan buku keempat tersebut, tamat juga kesan kagum saya terhadap Gajah Mada. Bagaimana bisa seorang Mahapatih yang penuh wibawa bisa dikadalin bawahannya.

 

Peristiwa pembantaian di Bubat yang kemudian dikenal dengan Perang Bubat ini, yang terjadi di tahun 1357, kemudian menumbuhkan dendam di dalam hati orang Sunda, yang kemudian menjadi mitos yang diturunkan ke anak cucu mereka.

 

Penasaran dengan peristiwa Perang Bubat saya pun menjelajah di google dan menemukan di beberapa website diskusi yang cuku ramai, karena tentu ada pro-kontra siapa yang bersalah menjadi pencetus Perang Bubat.

 

Kepenasaran itu juga yang mengantarkan saya kemudian menemukan dua novel yang menjadikan Perang Bubat sebagai latar belakangnya. Novel pertama berjudul ‘Perang Bubat, Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka’ karya Aan Merdeka Permana, dan novel kedua berjudul ‘Niskala, Gajah Mada Musuhku’ karangan Hermawan Aksan. Tentu kedua novel ini pun masuk kategori Fiksi Sejarah.

 

Sebenarnya banyak novel yang mengisahkan Perang Bubat ini. Sayangnya saya baru membaca dua novel yang saya sebutkan tersebut, selain novel Gajah Mada yang saya ceritakan di awal. Idealnya, untuk mencari perbandingan kisah Perang Bubat, saya harus membaca juga novel karya Hermawan Aksan yang lain, yaitu novel ‘Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit’ dan novel ‘Dyah Pitaloka, Korban Politik Ambisi Politik Gajah Mada’, dan novel-novel lainnya tentang Perang Bubat.

 

Walaupun saya yakin, dengan membaca beberapa novel sejarah untuk mencari fakta sejarah yang benar, itu sesuatu yang sulit. Karena bagaimanapun penulis adalah seorang manusia yang punya emosi dan sentimen, sehingga akan sangat subyektif saat menulis.

 

Terbukti dari tiga novel tentang Perang Bubat yang telah saya baca. Terlihat sekali latar belakang penulis mempengaruhi cara dia menuliskan alur sejarah. Hal ini pula yang mempengaruhi kekaguman saya kepada Langit Kresna Hariadi sebagai penulis Fiksi Sejarah. Mengapa? Karena LKH yang orang Jawa, di buku keempat Gajah Mada ini menggambarkan putri Dyah Pitaloka jauh dari kesan seorang putri terhormat. Setidaknya dua kali beliau menggambarkan bagaimana mudahnya seorang putri Raja yang terjaga etikanya, mendatangi langsung seorang lelaki asing yang dicintainya, bahkan dituliskan Dyah Pitaloka sampai rela menyerahkan kehormatannya hanya karena protes mau dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk. Terus terang saya cukup tersinggung dengan penggambaran Dyah Pitaloka tersebut.

 

Begitupun yang terjadi dengan novel Niskala-nya Hermawan Aksan, sangat terbaca sentimen pribadinya. Hermawan Aksan yang orang Sunda, setidaknya terbaca dari namanya yang dominan berhuruf vocal ‘A’, menuliskan kebenciannya yang sangat terhadap sosok Gajah Mada. Bahkan sampai perlu terus terang dengan membuat judul ‘Gajah Mada Musuhku’. Walaupun novel ini berlatar kejadian tujuh tahun setelah peristiwa Perang Bubat.

 

Niskala Wastu Kencana, putra Mahkota Raja Sunda Galuh dan adik Dyah Pitaloka, yang menjadi pewaris tunggal Kerajaan Sunda Galuh memanfaatkan ritual pengembaraannya sebagai seorang calon Raja Sunda Galuh untuk melampiaskan dendamnya kepada Gajah Mada. Walaupun akhirnya Niskala tidak sampai hati membunuh Gajah Mada saat bertemu di akhir kisah.

 

Selain sentiment penulis, sumber yang ditemukan penulis pun sangat mempengaruhi penulisan Fiksi Sejarah. Contohnya tentang latar belakang Gajah Mada. Dari kelima novel seri Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi saya tidak menemukan kisah bahwa Gajah Mada berasal dari tanah Sunda, apalagi pernah tinggal dan ‘bekerja’ di Istana Kerajaan Sunda Galuh. Tetapi di novel Perang Bubat karya Aan Merdeka Permana, disebutkan bahwa Gajah Mada lahir di tanah Banten dan kemudian mengabdi di Kerajaan Sunda Galuh. Namun karena menurutnya di Sunda Galuh ‘karir’ dia mentok, maka dia kemudian pindah dan mengabdi di kerajaan Majapahit, sampai kemudian mencapai puncak karirnya menjadi Mahapatih. Begitupun tentang siapa yang melukis wajah Dyah Pitaloka, kedua novel ini menyebutkan orang yang berbeda.

 

Jadi, fiksi tetaplah sebuah fiksi. Bagaimanapun fiksi adalah kisah yang berdasarkan imajinasi, rekaan, atau khayalan penulisnya. Setidaknya itu definisi fiksi menurut Wikipedia dan KBBI. Sementara sejarah adalah fakta masa lalu. Walaupun demikian, sejarah ibarat kain kanvas yang bisa digunakan sebagai latar oleh siapa pun untuk mengisahkan sebuah cerita.

 

Sehingga Fiksi Sejarah sebagai sebuah genre dalam fiksi lebih bersifat menghibur sebagaimana genre-genre lainnya. Namun, kelebihannya ada muatan edukasi di dalamnya. Setidaknya mengenalkan sejarah kepada pembaca, untuk kemudian pembaca tergerak untuk menambah literatur resmi kalau ingin memperdalam sejarah tersebut. Sehingga tetap menulis Fiksi Sejarah tidak sebebas menulis genre-genre fiksi yang lain.

 

Wikipedia sendiri menjelaskan Fiksi Sejarah sebagai berikut.

Fiksi sejarah, seperti halnya genre kesusastraan barat kontemporer, telah ada dalam karya-karya awal abad ke-19 buatan Sir Walter Scott dan tokoh-tokoh sezamannya dalam kesusastraan nasional lainnya seperti Honoré de Balzac dari Prancis, James Fenimore Cooper dari Amerika, dan kemudian Leo Tolstoy dari Rusia. Namun, perpaduan "sejarah" dan "fiksi" dalam karya-karya kesusastraan individual telah memiliki tradisi panjang dalam kebanyakan budaya; tradisi barat (yang paling awal adalah kesusastraan Yunani dan Romawi Kuno) maupun timur, dalam bentuk tradisi lisan dan tertulis (seperti mitologi dan cerita rakyat), menghasilkan epik, novel, drama dan karya fiksi lainnya yang mengisahkan sejarah untuk audien kontemporer.

 

Tentang mitos yang terjadi pasca Perang Bubat itu. Mitos yang dipercaya apabila orang Sunda menikah dengan orang Jawa, maka kehidupan rumah tangganya akan tidak bahagia dan sering diterpa masalah, memang terbukti hanya mitos semata. Terbukti karena kakek-nenek saya yang orang Sunda tidak percaya dengan mitos tersebut, sehingga mau menikahkan putrinya (ibu saya) dengan seorang Jawa tulen (ayah saya). Dan, seingat saya kehidupan rumah tangga orang tua saya happy-happy saja tuh.

Komentar

  1. Hmmm. Saluuuut. Aku paling nol kalau urusan sejarah, ilmu pengetahuan. Apa lagi ristek.

    BalasHapus

Posting Komentar