Ini tulisan kedua tentang Fiksi Sejarah. Masih dengan judul yang sama dengan tulisan sebelumnya. Bedanya hanya ditambahi tanda tanya. Kenapa?
Novel yang saya review ini adalah karya Tere Liye. Novel lama sih, tapi saya baru membacanya beberapa waktu yang lalu, judulnya ‘Tentang Kamu’. Sungguh bukan novel sejarah, karena plot waktunya saat ini. Walaupun ada alur mundur, mundurnya ke tahun 60an dan 70an.
Lalu, apa hubungannya dengan Fiksi Sejarah?
Sementara ini hubungannya baik-baik saja. Hehe ….
Lanjut saja dulu.
Novel yang tebalnya 600 halaman lebih ini diterbitkan
perdana tahun 2016. Mengisahkan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Sri
Ningsih, sejak kecil sampai meninggal dengan mewariskan sebuah surat wasiat dan
harta trilyunan dalam bentuk saham di sebuah perusahaan internasional.
Surat wasiat ini yang membuka kisah. Di mana surat wasiat
ini telah membuat bingung sebuah firma hukum bonafid di London, Thompson &
Co, karena dituntut harus merealisasikan wasiat tersebut. Sementara surat
wasiatnya sendiri keberadaannya entah di mana.
Firma hukum itu kemudian memerintahkan seorang stafnya yang
orang Indonesia, Zaman Zulkarnaen, untuk menemukan surat wasiat tersebut. Kisah
bergulir dengan perjalanan menelusuri jejak hidup Sri Ningsih. Menapaktilasi
tempat-tempat yang Sri Ningsih pernah hidup di sana. Ciri khas Tere Liye, dia
mengisahkan kisah hidup Sri Ningsih melalui cerita dari orang-orang yang pernah
dekat dengan Sri Ningsih, yang berhasil ditemui Zaman.
Memang ada beberapa momen sejarah yang dijadikan latar di beberapa
fragmen dalam novel ini. Salah satunya peristiwa tahun 1965, saat pondok
pesantren tempat Sri Ningsih tinggal diserbu PKI. Sebelum peristiwa itu, Tere
Liye mengisahkan bagaimana Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), underbouw PKI, merekrut
teman dekat Sri Ningsih, Sulastri. Saya sebut momen sejarah, karena di tahun
1965 betul terjadi ‘pemberontakan’ PKI.
Pasca peristiwa itu, Sri Ningsih hijrah ke Jakarta. Memulai
kehidupan baru. Kehidupan yang mengawali Sri Ningsih berbisnis sampai dia
memiliki saham di sebuah perusahaan Internasional. Sahamnya Cuma 1%, tetapi
nilainya seharga 19 Trilyun Rupiah.
Tahun 1967 Sri Ningsih memulai hidup di Jakarta. Menjadi
guru TK nyambi jadi kasir di sebuah toko. Tahun 1970 Sri memulai usaha sendiri,
jualan nasi goreng. Karena tidak punya lahan dan tidak punya modal untuk sewa
tempat, Sri merancang sebuah tempat yang dapat menampung semua peralatan
memasak yang bisa dipindah-pindah dengan mudah. Ia membawa rancangan itu ke
tukang kayu, jadilah gerobak dorong.
Dengan gerobak dorong itu, Sri bisa berjualan di Monas.
Gerobak dorong ini menjadi perhatian para pengunjung Monas, sehingga nasi
goreng Sri habis dalam waktu 1 jam saja.
Karena prospek, Sri kemudian membuat 2 gerobak lagi, untuk
berjualan Bakso dan Minuman. Bulan-bulan berikutnya Sri membuat lagi gerobak
dorong dan disewakan ke orang lain. Sampai kemudian dia memiliki 20 gerobak
dorong. Dan gerobak dorong rancangan Sri ini ditiru oleh pedagang-pedagang
lain. Sehingga semakin banyak saja orang berjualan menggunakan gerobak dorong
di Jakarta.
Apa yang menarik dari kisah gerobak dorong tersebut?
Tere Liye membuat sejarah, atau mungkin lebih tepat
mengarang sejarah.
Maksudnya?
Ya, kisah gerobak dorong yang ada di halaman 300 di novel
tersebut, seolah-olah menyebutkan bahwa ‘penemu’ gerobak dorong adalah Sri
Ningsih. Betulkah Sri Ningsih? Entahlah, toh kita pun tidak tahu siapa orang
yang pertama kali berjualan menggunakan gerobak dorong. Saya jadi penasaran
lalu searching di gugel. Tidak ada info yang ditemukan, yang ada malah sejarah
gerobak dorong untuk mengangkut barang yang suka dipakai tukang bangunan.
Tere Liye membuat (mengarang?) sejarah bahwa Sri Ningsih lah
yang menemukan gerobak dorong yang sekarang bertebaran dipakai jualan bakso,
mpek-mpek, mie ayam, batagor, baso tahu, nasi goreng, sop buah, bajigur, dan
lain-lain.
Cerita masih berlanjut. Tahun 1972 Sri berhenti menjadi
juragan gerobak dorong. Menjual semua gerobaknya dan memulai bisnis baru.
Membuka rental (penyewaan) mobil. Insting bisnis Sri yang tajam menangkap
fenomena banyak turis yang datang ke ibukota, dan mereka tentu tidak mau
menggunakan kendaraan umum berupa oplet.
Sekali lagi Tere Liye membuat (mengarang?) sejarah. Dia
mengisahkan dalam novel ini, Sri lah yang pertama kali membuka usaha rental
mobil di Jakarta, karena Jakarta adalah ibukota, maka secara tidak langsung
Tere Liye menyatakan, Sri Ningsing adalah orang pertama yang membuka rental
mobil di Indonesia.
Betulkah itu?
Entahlah!
Lagi-lagi saya searching di google tidak ada data siapa
perintis rental mobil di Indonesia. Yang ada sejarah rental di dunia, yaitu ada
sejak tahun 1906.
Kisah belum selesai. Tere Liye memasukkan lagi peristiwa
sejarah, yaitu peristiwa Malari, 15 Januari 1974. Peristiwa demo mahasiswa yang
menyebabkan kerusuhan sosial itu telah ‘menghancurkan’ bisnis rental Sri.
Hancur sehancur-hancurnya. Sri kembali ke awal datang ke Jakarta, tidak punya
apa-apa.
Itu baru setengah cerita dari novel ini, tetapi lanjutannya
tidak ada korelasinya dengan apa yang ingin saya tulis sebenarnya di artikel
ini.
Menjawab pertanyaan apa hubungannya review novel ini dengan
Fiksi Sejarah, ini yang menarik. ‘Dengan seenaknya’ Tere Liye membuat
(mengarang?) sejarah dengan memanfaatkan beberapa momen yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini gerobak dorong untuk jualan dan usaha
rental mobil.
Ini alasan mengapa saya menambahkan tanda tanya di judul
tulisan ini. Betulkah itu sejarah yang sebenarnya? Betulkah Sri Ningsih orang pertama yang
berjualan dengan gerobak dorong dan orang pertama yang merintis usaha rental
mobil?
Novel ini ditulis tahun 2016 dan sekarang masih dicetak
ulang. Tetapi sampai sekarang tidak pernah ada yang menggugat Tere Liye tentang
siapa yang memulai berjualan menggunakan gerobak dorong dan yang memulai usaha
rental mobil. Tidak ada seorang pun yang menyalahkan Tere Liye.
Jadi, kembali, fiksi hanyalah fiksi, bagaimanapun juga.
Momen-momen sejarah yang ‘tidak resmi’ (ini istilah saya saja) dipersilahkan
untuk dimanfaatkan untuk membuat alur cerita. Banyak momen sejarah ‘tidak
resmi’ seperti; siapa yang memulai usaha wartel (warung telekomunikasi), siapa
yang pertama membuka usaha menjahit pakaian (taylor), siapa yang memulai usaha
laundry, siapa yang pertama membuat becak, dan sebagainya. Itu semua bebas
dipergunakan untuk kekayaan cerita yang kita tulis.
Fiksi bagaimanapun hanyalah fiksi. Penulis adalah tuhan bagi
cerita yang ditulisnya. Bebas. Tak perlu takut ada pakem yang melarang ini itu,
selain aturan-aturan kepenulisan. Kecuali untuk Genre Fiksi Sejarah. Mengapa?
Menulis Fiksi Sejarah agak berbeda, terutama menyangkut
momen sejarah ‘resmi’. Kita tidak bisa bebas menulis, walaupun berdalih
kreativitas atau supaya cerita menjadi menarik. Contohnya, ingin kisah yang
unik, kita menulis cerita dengan background hari proklamasi kemerdekaan tanggal
17 Agustus 1945. Kita mengarang cerita, bahwa menjelang pembacaan teks
proklamasi kaki Moh. Hatta terkilir, sehingga hanya Soekarno yang membacakan.
Atau mengarang kisah, bahwa sebenarnya bukan WR. Supratman yang mencipta lagu
Indonesia Raya, dia hanya melengkapi lirik yang dibuat temannya.
Jadi, menulis Fiksi Sejarah memang berbeda dengan menulis
fiksi dengan genre lainnya.
Komentar
Posting Komentar