The Admiral

 


Perang. Kolosal. Dua kata itu yang saya tangkap dari beberapa review terhadap film ini, sehingga saya memutuskan nonton film Korea ini. Padahal, sungguh, saya ga terlalu suka film Korea.

 

Film dengan biaya produksi fantastis ini diangkat dari kisah nyata dan lebih dikenal dengan nama “Battle of Myeongnyang”, karena pertempuran terjadi di Selat Myeongnyang. Berseting pada tahun 1597 saat dinasti Joseon berkuasa. Waktu itu Korea harus menghadapi serangan kekaisaran Jepang yang sangat kuat, baik darat maupun lautan.

 

Film yang konon menjadi film terlaris Korea sepanjang masa ini berkisah tentang Laksamana Perang (Admiral) Yi Sun-Shin, seorang Laksamana yang sudah beberapa kali berhasil mengalahkan angkatan laut kekaisaran Jepang.

 

Di film ini Jepang berniat membalas kekalahan sebelumnya dengan mengerahkan 330 kapal perang. Berita pengerahan armada perang Jepang ini sudah membuat takut angkatan laut Korea. Karena situasi darurat, Laksamana Yi Sun-Shin diperintahkan Raja untuk memimpin angkatan laut Korea. Padahal saat itu dia sedang menjalani tahanan dan divonis hukuman mati, karena dianggap melakukan makar.

 

Sebagai prajurit yang loyal kepada negara, Laksamana Yi Sun-Shin menerima tugas itu. dia pun menyiapkan strategi dengan membuat kapal perang khusus yang disebut Kapal Kura-Kura. Sayang, menjelang pertempuran terjadi, kapal perang itu dibakar anak buahnya yang berkhianat.

 

Terbakarnya Kapal Kura-Kura semakin merontokkan nyali pasukan Korea, yang sebelumnya sudah jatuh. Mereka pun melakukan berbagai cara, membujuk Laksamana Yi Sun-Shin untuk tidak melawan angkatan laut Jepang. Bahkan sampai ada yang hendak membunuhnya, namun Sang Laksamana tetap teguh pada pendiriannya. Dengan intrik yang lumayan menguras emosi, Laksamana terus meyakinkan pasukannya untuk terus maju.

 

“Jika satu orang berjuang, dia bisa mengalahkan ribuan orang.” Kalimat itu Laksamana Yi Sun-Shin ucapkan dengan lantang di hadapan pasukannya yang pesimis.

 

Film menunjukkan momen yang syarat drama, saat Laksamana Yi Sun-Shin membangkitkan semangat pasukannya. Termasuk meyakinkan sang anak, Lee Hwe, saat bertanya, "Ayah, mengapa ayah memutuskan berperang kembali padahal Raja menginginkanmu mati?" Dia hanya menjawab singkat, "Kesetiaan."

 

Persiapan pertempuran menghadapi angkatan laut Jepang, Laksamana Yi Sun-Shin mempelajari karakter arus air di Selat Myeongnyang. Kapan air mengalir tenang, kapan terjadi pusaran, dan berapa lama pusaran air terjadi.

 

Film memasuki momen yang semakin menegangkan, saat hari H Jepang menyerang Korea dengan 330 kapal perang yang terlihat kokoh, besar dan garang dengan warna hitam legamnya. Pasukan laut Jepang dipimpin oleh “Raja Bajak Laut” Jendral Kurushima, yang juga mempunyai motivasi lain yaitu balas dendam karena saudaranya mati di tangan Laksamana Yi Sun-Shin.

 

Melihat adengan ratusan kapal perang ‘berbaris’ di selat Myeongnyang. Saya sangat teringat dengan adengan ribuan kapal perang Yunani saat menyerbu kota Troya di film Troy. Dramatis, dan kontras dengan pasukan Korea yang hanya mengerahkan 12 kapal perang termasuk kapal utama yang dipimpin langsung Laksamana Yi Sun-Shin.

 

Adegan menegangkan saat kesebelas kapal perang Korea mundur dari arena pertempuran, dan hanya menyisakan kapal utama. Di sini lah kecerdikan Laksamana Yi Sun-Shin ditunjukkan, bagimana dia dengan memanfaatkan arus air dan pusaran air, sanggup mengalahkan armada Jepang.

 

Film semakin seru saat pertempuran digambarkan secara detail. Bagaimana dentuman meriam, peluru-pelurunya terbang dan menerobos dinding kapal, hujan anak panah, kibasan pedang saat pertempuran jarak dekat, hingga air pasang yang menggila, memberikan aroma pertempuran yang memukau dalam film ini.

 

Film yang berdurasi 2 jam lebih ini sangat heroik. Menggambarkan tak-tik strategi, nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme, juga 'mengenalkan kembali' sosok seorang Laksamana yang pada zamannya hingga sekarang masih dihormati dan disegani diseluruh penjuru negeri.

 

Rasa takut, mata-mata, intrik dalam tubuh kemiliteran, pengkhianatan, hubungan keluarga, hingga perang mental yang bergejolak dalam diri Sang Laksamana sendiri, menjadi sajian utama yang berhasil disandingkan dengan serasi tanpa mengurangi feel “naval battle” dari film ini.

 

Apakah ada twist di film ini?

Film semacam ini tentu tidak menawarkan twist ending, karena semua tahu akhir dari kisah. Korea memenangkan pertempuran.

 

Namun, jangan salah. Film ini memberikan twist yang lain, yaitu bagaimana kekalahan yang dialami 330 kapal armada Jepang oleh satu kapal saja. Dan saya kira Anda, sebagaimana saya, tidak akan bisa memperkirakan cara kekalahan armada Jepang tersebut.

 

Ga percaya? Tonton saja. Dan saya yakin, Anda tidak akan puas menonton film ini hanya sekali.

 

TSM, 30/07/21

Komentar