Mungkin ada yang langsung baper membaca judul tulisan ini,
karena saya memakai kata ‘dahulu’ di dalam kurung. Entah mengapa, sejak
perhelatan pilpres 2019 yang lalu seolah bangsa kita terpolarisasi menjadi dua
golongan. Ada yang pro-Presiden Jokowi sebagai pemenang pemili 2019 dan ada
yang anti presiden Jokowi. Saya tidak menyebut golongan yang satu sebagai yang
pro-Prabowo (rival Jokowi di Pilpres 2019), karena toh sekarang Prabowo ada di
kubu presiden Jokowi.
Istilah cebong dan kampret pun, yang ramai saat pilpres itu,
sampai sekarang masih menjadi sebutan untuk masing-masing kedua golongan
tersebut. Segala hal yang menyangkut pemerintahan (spesial tentang presiden
Jokowi) selalu menjadi sesuatu yang sensitif. Apa pun itu kalau ‘terlihat’
negatif terhadap pemerintah, maka disebut golongan yang satu. Begitupun
sebaliknya, kalau ‘baik-baik’ terhadap pemerintah, dicap dari golongan yang
satunya lagi.
Oleh karenanya, sebelum jauh menulis, saya sudah memberi
warning, bakal ada yang menganggap saya dari golongan yang anti pemerintah,
karena penggunaan kata dulu, yang ‘mungkin’ ditafsirkan kalau sekarang negara
kita tidak gagah, berani dan mandiri. Lalu, apakah tuduhan itu benar? Untuk
tahu jawabannya, sebaiknya dilanjut saja membacanya.
Kata dahulu dalam judul di atas menandakan waktu yang lampau
atau zaman sebelum sekarang. Sehingga konteksnya tulisan ini mengulas tentang
sejarah bangsa Indonesia. Karena membaca sejarah itu penting. Bahkah al-Qur’an
pun isinya dua pertiga disajikan dalam bentuk kisah (sejarah). Menurut
informasi yang lain jumlahnya lebih dari 1.600 ayat dari keseluruhan ayat
al-Qur’an.
Sejarah adalah sesuatu yang penting dipelajari untuk menjadi
pelajaran, acuan atau sekedar bahan renungan. Julian Barnes, penulis Inggris
dalam The Sense of an Ending, menulis “Sejarah adalah kepastian yang dihasilkan
pada titik pertemuan antara ketidaksempurnaan ingatan dan kekurangan
dokumentasi.”
Jadi tulisan ini tentang sejarah, satu episode di mana saat
itu negara kita, melalui tokoh-tokohnya, menunjukkan kegagahan, keberanian dan
kemandirian di hadapan negara-negara lain, bahkan di hadapan negara super
power. Serta berharap kegagahan, keberanian dan kemandirian tersebut dapat
terulang. Sekarang dan nanti.
Episode tersebut terjadi pasca Perang Dunia II usai. Saat
itu muncul dua kutub kekuatan besar di dunia, yaitu blok Barat yang dimotori
Amerika Serikat (AS) dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Perbedaan ideologi dan kepentingan antara kedua blok
seringkali menyebabkan perselisihan dan konflik, sehingga merebaklah perang
dingin antara keduanya. Nah, di tengah suhu yang memanas itu, setiap negara
yang ada di waktu itu seakan harus memilih untuk masuk ke dalam salah satu
kubu, blok Barat atau blok Timur. Tak terkecuali Indonesia. Negara yang baru berdiri
ini seakan langsung diberi pilihan untuk masuk blok AS atau blok Uni Soviet.
Uniknya, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah
satu blok yang ada. Sinyal itu untuk pertama kali dengan gagah disampaikan oleh
Sutan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri RI, melalui
pidatonya yang berani di ajang Inter Asian Relations Conference yang
dilaksanakan di New Delhi tanggal 23 Maret – 2 April 1947.
Dalam pidatonya, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk
bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia. Hal
ini, menurut Syahrir, hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara
damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada
di dunia. Pernyataan Syahrir ini mengawali sikap politik luar negeri Indonesia
yang kemudian dikenal dengan Politik Bebas dan Aktif.
Setahun kemudian, politik luar negeri Indonesia baru
mendapatkan bentuknya secara resmi. Tepatnya, ketika Wakil Presiden Mohammad
Hatta memberi keterangan di hadapan BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada 2 September 1948.
Dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung di antara Dua Karang”, Hatta
menegaskan bahwa Indonesia menolak untuk masuk ke dalam salah satu blok dalam
perang dingin.
Terlihat jelas dalam cuplikan pidato Hatta: “Tetapi mestikah
kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita,
harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian
yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah
berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan
menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus
menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya”.
Sejak itu, Indonesia menganut politik luar negeri
bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk
dalam salah satu blok negara-negara adidaya, menentang pembangunan pangkalan
militer asing di wilayah Indonesia, menolak terlibat dalam pakta pertahanan
negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam
setiap upaya meredakan ketegangan dan menciptakan perdamaian dunia.
Lihat! Betapa gagah dan beraninya Sutan Syahrir dan Mohammad
Hatta menyatakan kemandirian sikap bangsa Indonesia di hadapan dua kekuatan
yang sedang bersitegang.
Lalu, kalau itu dahulu, bagaimana dengan sekarang?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan tulisan yang lain. Saat ini saya hanya
ingin menulis sejarah. Sejarah tentang kegagahan, keberanian dan kemandirian
sebuah negara bernama Indonesia.
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
<Referensi: Swantara edisi 20/2017>
Komentar
Posting Komentar