Sumpah Tujuh Gunung

 


Dendam adalah tema yang lazim dalam cerita horor, baik berupa film atau novel. Dari puluhan novel horor karya Abdullah Harahap yang pernah saya baca, hampir semuanya berlatar belakang ‘dendam’. Begitupun dengan tema buku yang saya review ini.

 

Sumpah Tujuh Gunung adalah sumpah yang diucapkan Kamala di detik terakhir hidupnya akan berakhir. Kemarahan, kebencian, dan keinginan membalas perlakuan orang-orang yang telah membuatnya dan suaminya menderita, memaksa dia mengucapkan sumpah itu. Sumpah yang mengbangkitkan para Guriang yang telah tertidur ratusan tahun.

 

Novel yang diterbitkan oleh penerbit LovRinz ini tebalnya hanya 165 halaman. Namun, sejak halaman pertama telah mengundang ketegangan dan nuansa magis.

 

Oya, saya membeli novel ini diawali saat membaca komentar juri 30HM Serial yang beberapa bulan lalu diadakan di sebuah grup menulis di FB. Serial Mantra Karma beberapa kali menjadi juara harian, bahkan finally menjadi juara. Kisah yang unik memang Mantra Karma itu.

 

Ketertarikan pada Mantra Karma membuat saya membuka profil penulisnya, Dia Nana, dan di salah satu postingannya ada promo novel Sumpah Tujuh Gunung. Penasaran. Lalu saya inbox-lah dia, cas cis cus ngobrol di WA, deal for order. Dari obrolan itu pun jadi tahu, ternyata sama-sama pernah tinggal di kaki gunung Tangkuban Perahu. Dia Nada tinggal di sisi selatan, Lembang, saya di sisi utara, Subang.

 

Back to review. Walaupun tema dendam hal yang biasa di kisah horor, namun jalan cerita Sumpah Tujuh Gunung sangat menarik. Apalagi mengambil isu tentang penari jaipong, kecemburuan, keserakahan yang sentralnya di keluarga Juragan Hadiningrat. Deskripsi suasananya jadi sangat terasa kampung banget.

 

Plusnya lagi, cerita ini membawa legenda yang bagi orang Sunda wajibul kudu nyaho, Legenda Sangkuriang. Ngaku urang Sunda, teu apal dongeng Sangkuriang? Tong ngomong Sunda, maneh. Cerita ini ditulis ada keterakitan dengan legenda tersebut, dengan jalinan cerita yang unik.

 

Beberapa bagian cerita di novel ini membuat saya kaget. Mengetahui profil penulisnya yang muda dan perempuan, tetapi ternyata cukup berani menuliskan adegan yang cukup sadis. Mungkin sudah masuk kategori ‘Gore’. Bahkan ada yang saat saya baca, jadi terbayang adengan sadis Michael Myers di film Halloween.

 

Tetapi yang penting bagi saya saat menemukan novel ini adalah senang, karena ada penulis yang meneruskan langkah Abdullah Harahap, Sang Master of Horror Indonesia, penulis horor pavoritku. Karena sampai saat ini saya belum menemukan lagi penulis horor sekelas dia. Semoga Dia Nana terus menulis kisah horor setelah Sumpah Tujuh Gunung ini.

 

Hal menarik lainnya dari novel ini adalah bertebarannya kata-kata baru dan unik, yang baru saya ketahui. Sehingga saya perlu menjeda saat baca novel ini hanya untuk sekadar menulis kata-kata tersebut di notes. Kata-kata tersebut di antaranya; Menggeligis, menjegil, membuntang, nyenyat, tergerup, terperanyak, mencebis, berjengit, merenyut, membuntang, menggarit, merinai, mencelang, menjengkit, cergas, dan beberapa kata lagi yang tak sempat saya tulis.

 

Btw, walaupun belum menyamai kehoroan Abdullah Harahap, cerita pertama yang ditulis Dia Nana ini cukup menjanjikan kalau dia mampu menyamainya. Atau mungkin melampauinya.


Komentar