Literasi Indonesia, Menyedihkan

 Renungan di Hari Literasi Internasional




Tanggal 8 September, ditetapkan sebagai Hari Literasi Internasional atau International Literacy Day (ILD) oleh UNESCO. Ini sebagai bentuk penegasan bahwa literasi adalah hal penting, yang tidak boleh diabaikan oleh masyarakat, karena menyangkut masalah martabat dan hak asasi manusia.

 

Karena UNESCO menegaskan pentingnya literasi bagi sebuah masyarakat, maka sudah selayaknya kita menilai tingkat literasi masyarakat kita, orang Indonesia.

 

Namun sebelumnya perlu dijelaskan makna dari literasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi memiliki tiga makna, yaitu

-          Kemampuan menulis dan membaca,

-          Pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, misal komputer,

-          Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

 

Kalau ketiga pengertian dari literasi di atas digabungkan, mungkin akan seperti ini, ‘literasi adalah kemampuan dalam mengolah informasi untuk kecakapan hidup, dengan memiliki pengetahuan atau keterampilan tertentu dan di awali dengan kemapuan menulis dan membaca’.

 

Yang menarik dari pengertian di atas adalah, kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang dalam berliterasi adalah menulis dan membaca.

 

Lalu, bagaimana tingkat literasi masyarakat Indonesia?

 

“Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62,” ujar Staf ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro pada Rapat Kordinasi Nasional Bidang Perpustakaan tahun 2021. Penelitian yang dimaksud oleh Staf Ahli Mendagri itu adalah survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Pernyataan beliau ini dimuat di situs perpustakaan-kemendragi.

 

Sebuah prestasi yang buruk berada di urutan ke-62 dari 70 negara. Bahkan mungkin sebuah kondisi yang menyedihkan. Salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia berada di tingkat 8 dari bawah adalah rendahnya budaya membaca.

 

Ini diperkuat oleh hasil Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dilakukan Perpusnas pada 2020 yang diungkapkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando, sebagaimana diberitakan Kompas Online tanggal 8 September 2021.

 

Kajian ini bertujuan mengukur frekuensi membaca, durasi membaca, dan jumlah buku yang dibaca. Dari responden sebanyak 10.200 dari 34 provinsi, diketahui minat baca Indonesia masuk dalam poin 55,74 atau sedang.

 

Sungguh sangat ironis. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tetapi minat bacanya hanya di level sedang. Padahal membaca adalah aktivitas yang sangat penting bagi seorang Muslim. Bahkan kalimat pertama dari rangkaian wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw adalah ‘bacalah’ (iqra).

 

Banyak faktor yang menyebabkan minat baca rendah ini. Salah satunya adalah tingkat ketersediaan buku yang sangat rendah.

 

Menurut Kepala Perpusnas M Syarif Bando, total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca. Padahal standar UNESCO minimal 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahun.

 

Tiga buku baru untuk setiap orang standarnya, ini hanya satu buku, itu pun untuk 90 orang. Sangat menyedihkan.

 

Hal lain yang menyebabkan minat baca rendah adalah harga buku yang masih mahal, mindset masyarakat bahwa membaca buku itu hanya untuk kalangan tertentu, dan ketersediaan waktu membaca yang sedikit (sibuk).

 

Kenyataan ini (minat baca yang rendah) lebih menyedihkan lagi kalau dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia mengakses media sosial.

 

We Are Social bekerja sama dengan Hootsuite merilis laporan "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" yang diterbitkan pada 11 Februari 2021. Laporan ini berisi hasil riset mengenai pola pemakaian media sosial di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Sebagaimana diwartakan tekno.kompas.com tanggal 23 Februari 2021.

 

Menurut laporan tersebut, rata-rata masyarakat Indonesia mengakses internet per hari rata-rata yaitu 8 jam 52 menit. Sementara untuk mengakses media social menghabiskan tiga jam 14 menit sehari. Sehingga Indonesia tercatat dalam daftar 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Posisi Indonesia berada di peringkat sembilan dari 47 negara yang dianalisis.

 

Dari penelitian diketahui sebanyak 168,5 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial, dengan penetrasi 99 persen. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8 persen dari total populasi pada Januari 2021. Angka ini juga meningkat 10 juta, atau sekitar 6,3 persen dibandingkan tahun lalu. Data lainnya bisa dilihat di foto.

 

Jadi alasan harga buku mahal dan tidak ada waktu untuk membaca terbantahkan dengan data di atas. Ironis jadinya, 170 juta orang aktif ber-media sosial, artinya punya dana untuk membeli handphone. Kemudian, lamanya mengakses media sosial tiga jam lebih sehari, berarti ada waktu untuk membaca, karena membaca cukup setengah jam sehari.

 

 

Ini realita kebiasaan membaca. belum lagi kalau kita teliti kebiasaan menulis masyarakat Indonesia. Tentu lebih menyedihkan lagi.

 

Menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah dan masyarakat, untuk meningkatkan tingkat literasi Indonesia. Pemerintah harus berusaha memperbanyak ketersediaan buku dengan harga yang terjangkau, sementara masyarakat harus meningkatkan kepeduliannya akan pentingnya membaca.

 

~~~

 

Keterangan foto:  Presentase rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktunya untuk mengakses media sosial, sumber We Are Social

Komentar