“Ghirah atau cemburu itu ada dua, pertama masalah wanita dan kedua perkara agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabi dan al-Quran kitab sucimu dipersenda, dihinakan orang, kamu berdiam diri sahaja, bermakna ghirah telah luput dari dirimu. Sadarlah bahwa, ghirah dan cemburu karena syaraf dan agama adalah pakaian yang tidak boleh ditanggal. Kalau akan ditanggal juga, gantinya hanya satu, yaitu kain kapan tiga lapis. Sebab kehilangan cemburu samalah dengan mati.”
AKP Andre menutup buku setelah membaca kalimat tersebut. Ini
kali ketiga dia membaca kalimat yang ada di halaman 23 itu. Kepalanya
digerakkan ke belakang, hingga tengkuknya menyentuh sandaran kursi. Kedua matanya
menatap langit-langit. Tatapan kosong, karena yang sedang bekerja pikirannya.
Tiga kali pula dia merenungi rangkaian kalimat yang
dibacanya tersebut. Ada peperangan di dalam jiwanya. Perang antara dua kutub
yang sebenarnya berasal dari idealisme yang sama.
Pergolakan bathin ini dimulai saat empat hari yang lalu dia
mengalami kejadian yang luar biasa. Sebuah peristiwa yang baru pertama kali
dialami selama lima tahun bertugas sebagai polisi.
Sore itu, empat hari yang lalu, AKP Andre sedang berada di
ruang kerjanya di Kepolisian Sektor di sebuah Kecamatan di Kabupaten Bantaeng.
Sebagai Kapolsek yang baru sebulan ditugaskan di sana, dia memang sering
berlama-lama di kantor. Selain mempelajari kasus-kasus yang pernah terjadi
sebelum dia bertugas, juga untuk mengenal lebih dekat rekan-rekan atau tepatnya
anak buahnya.
Arlojinya menunjukkan jam 16.35 saat terdengar keributan di
arah loby. Andre berdiri dari duduknya bertepatan dengan rekannya Tony masuk
dengan tergesa. Tanpa mukadimah Tony berkata, “Pak, bisa keluar sebentar?”
Andre hanya mengangguk dan beranjak mengikuti Tony. Sampai
di loby, Andre tertegun. Di meja, di sebelah monitor komputer, tergeletak
sebilah golok. Golok bergagang hitam yang berlumuran darah. Di dekatnya duduk
seorang pemuda yang hanya mengenakan kaos oblong. Di beberapa bagian kaos
berwarna krem itu pun terlihat cipratan darah.
Untuk beberapa saat Andre dan pemuda itu saling tatap.
“Ada apa ini?” Andre bertanya kepada Tony yang berdiri di
sebelah pemuda tadi.
“Pemuda ini.” Toni memegang pundak pemuda dengan tangan
kirinya, “Bernama Asmin Labbiri. Dia datang untuk melapor, bahwa dia telah
melakukan pembunuhan dengan menggunakan golok ini.”
Andre tertegun mendengarnya. Baru kali ini ada orang datang,
melaporkan diri untuk perbuatan jahatnya sendiri. Dia menatap mata si pemuda,
yang juga menatapnya dengan sorot yang tajam. Ada ketegaran dalam tatapannya.
Ada kebanggaan dari rona wajahnya.
“Baik, coba Anda ceritakan kejadiannya secara terperinci.
Dan, Anne, kau sekalian ketik apa yang dia katakan.”
Tony kemudian mengajak si Pemuda, Asmin Labbiri, ke ruang
dalam. Diikuti Andre dan Anne, satu-satunya Polwan yang bertugas di Polsek itu.
Asmin Labbiri pun kemudian bercerita.
Dia baru sepekan kembali pulang setelah merantau hampir dua
tahun di Jakarta. Pekerjaannya sebagai buruh kasar di Tanjung Priok menyebabkan
dia tidak pernah pulang sejak tiba di Jakarta. Kali ini pun pulang karena
permintaan ibunya, yang menelepon sambil menangis. Asmin menangkap ada sesuatu
yang tidak baik yang menimpa keluarganya. Ibunya tidak menjelaskan saat Asmin
bertanya.
Betul saja. Tiba di rumah, Asmin menangkap suasana sendu di
dalam rumahnya. Ibunya memeluknya dengan erat dengan isak tangis yang menurut
Asmin berlebihan kalau hanya untuk melepas rindu. Sementara ayahnya beranjak
dari duduknya dan menghampirinya. Senyum ayahnya lepas, seolah telah lama
menanti kedatangan Asmin.
Dia tidak melihat adiknya, Mira. Tangis ibunya semakin
nyaring, saat Asmin menanyakannya. Dan, tentu saja menumbuhkan prasangka di
dalam hatinya. Ayahnya yang kemudian bercerita, karena ibunya tak berhenti
menangis.
Darah Asmin bergolak, jantung berdegup keras, tangan
mengepal keras, keringat membasahi punggungnya, saat ayahnya selesai bercerita.
Tangis ibunya reda seiring cerita ayahnya usai. Ayahnya
menambahkan, mereka sudah berusaha melapor ke polisi, tetapi tidak ada respon.
Begitupun saat melapor ke tetua kampung.
Asmin berusaha menemui adiknya, tetapi adiknya tidak mau
membuka pintu kamarnya. Dia hanya berteriak, “Malu …. Malu …,” yang tentu saja
teriakan itu terasa oleh Asmin bagai sembilu yang menyayat hatinya. Perih.
Hari ketiga Asmin menemui sahabatnya, Hariri. Hariri
bercerita bahwa bukan hanya Mira yang menjadi korban Alex, ada dua gadis lain
yang senasib dengan adiknya. Dari Hariri pula Asmin tahu bahwa kelakuan Alex
semakin brutal dan tidak disukai orang kampung.
Alex, anak seorang pengusaha besar, memang diketahui Asmin
menaruh hati kepada adiknya. Tapi dia tidak menyangka Alex akan berbuat nista
kepada adiknya setelah mengelabui adiknya melalui minuman mengandung obat
tidur.
Asmin mengambil keputusan. Melalui Hariri, temannya, Asmin
berhasil membujuk Alex untuk bertemu di sebuah tempat. Tempat yang kemudian
menjadi saksi saat keduanya bertemu. Saat Asmin tidak bicara kepada Alex, saat
Alex terbelalak mendapat sambutan dari sambitan golok yang dipegang Asmin.
Hanya Golok yang berbicara di antara keduanya. Bicara atas nama marah, malu,
dan sedih. Entah berapa kali Asmin menebaskan goloknya ke tubuh Alex. Dia baru
berhenti saat dilihatnya Alex sudah tidak bergerak.
Asmin kemudian berlari ke rumah, menemui orang tuanya.
Ibunya tertegun melihat golok berlumur darah di tangan Asmin. Ayahnya
mengangguk dengan seulas senyum yang nyaris tak terlihat.
“Saya langsung kemari, Pak.” Asmin Labbiri mengakhiri cerita
seraya membetulkan posisi duduknya.
AKP Andre tak bisa berkata-kata, begitupun Tony. Kedua
tangan Anne bahkan tak bergerak, kaku, beberapa centi di atas keyboard.
Ketiganya terdiam, terkesima dengan cerita Asmin.
“Ini masuk pasal 340, Pak!” Anne memecah kebekuan.
“Silahkan. Pasal berapa pun, berapa lama kurungannya, saya
sudah siap menerimanya,” balas Asmin dengan tatapan tajam ke arah Andre. Yang
ditatap hanya terdiam.
“Hayo … mikirin kasus Asmin itu lagi ya?” tiba-tiba istri
Andre datang dan duduk di sampingnya.
“Iya, Dek. Secara hukum ini sebenarnya bukan perkara yang
pelik. Sudah jelas kok pasalnya, pembunuhan berencana. Tetapi itu lho, yang Mas
selalu pikirkan. Motivasi dia, dan ketegaran dia menerima hukumannya.”
Istrinya hanya mengangguk, mengiyakan dan memahami kegalauan
suaminya. Satu sisi suaminya tentu melihat, apa yang dilakukan Asmin adalah
sesuatu yang terhormat. Bahkan diakui oleh adat maupun agama. Namun, di sisi
yang lain, sebagai polisi, suaminya tentu harus menegakkan hukum.
“Apalagi saat Asmin mengatakan sebuah ungkapan dalam bahasa
yang tak kumengerti.” Andre membuyarkan lamunan istrinya.
“Ungkapan apa?”
“Mas menemukan ungkapan itu ada di dalam buku ini.” Andre
menyerahkan buku yang tadi dibacanya, dan membuka halaman yang berisi ungkapan
yang diucapkan Asmin.
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo
siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka.” Istri Andre membacanya
dengan pelan.
“Artinya.” Istrinya melanjutkan, “Hanya karena Siri’ kita
masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada, maka hidup ini menjadi
hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.”
“Coba teruskan bacanya,” perintah Andre.
“Ghirah atau cemburu itu ada dua, pertama masalah wanita dan
kedua perkara agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang, lalu orang itu kamu
pukul, pertanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabi dan al-Quran kitab
sucimu dipersenda, dihinakan orang kamu berdiam diri sahaja, bermakna ghirah
telah luput dari dirimu. Sadarlah bahwa, ghirah dan cemburu karena syaraf dan
agama adalah pakaian yang tidak boleh ditanggal. Kalau akan ditanggal juga,
gantinya hanya satu, yaitu kain kapan tiga lapis. Sebab kehilangan cemburu
samalah dengan mati.” Selesai membaca istri Andre menatapnya dengan sayu,
butiran air pun kemudian mengalir di kedua pipinya.
***
<Terinspirasi dari buku ‘Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam’ karya Buya Hamka.>
Komentar
Posting Komentar