Suatu hari Rasulullah SAW sedang duduk melingkar bersama
beberapa sahabatnya di masjid. Tiba-tiba masuk seorang Arab Baduwi. Semula
Rasulullah dan para sahabat hanya melihat sekilas. Namun, semua terperanjat
saat mengetahui orang Arab Baduwi tadi berjalan ke pojok masjid dan buang air
kecil.
Tentu saja beberapa sahabat berteriak menegurnya. Umar
bahkan merah mukanya dan hendak berdiri untuk memarahi si Arab Baduwi, tetapi
Rasulullah mencegahnya.
“Jangan! Biarkan dia menyelesaikan urusannya. Ambillah air
seember, tumpahkan ke tempat dia tadi buang air,” kata Rasulullah pelan.
Di hari yang lain, juga saat bersama beberapa sahabat, Rasulullah
didatangi seorang pemuda yang ingin masuk Islam.
“Ya, Rasulullah. Saya ingin masuk Islam, tapi bolehkah saya
memohon satu hal?”
Rasulullah tersenyum, menampakkan muka yang bersahabat,
“Alhamdulillah …, tentu saja boleh. Ya, anak muda. Apa permintaanmu.”
Si Pemuda tidak menjawab, seperti ada keraguan untuk
mengungkapkan keinginannya.
“Katakan saja!” pinta Rasulullah.
“Ya, Rasulullah. Saya mau masuk Islam, tapi … mohon
dibolehkan saya berbuat zina,” jawab si Pemuda seraya menunduk.
Tersentak Rasulullah mendengarnya, begitupun para sahabat. Mereka
bahkan menunjukkan roman muka kaget, kesal , dan marah. Namun, Rasulullah tetap
tersenyum.
Rasulullah memegang pundak si Pemuda lalu berkata, “Baiklah.
Apakah engkau masih memiliki ibu?”
“Masih, ya Rasulullah.”
“Apakah engkau memiliki adik, kakak, atau keponakan
perempuan?”
“Punya, ya Rasulullah.” Si Pemuda menjawab dengan mimik muka
bingung, mengapa Rasulullah menanyakan itu semua.
“Begini …, bagaimana sekiranya ada orang yang berzina dengan
ibumu. Apakah engkau senang?” Rasulullah menatap wajah di pemuda.
Si Pemuda sejenak terdiam, lalu menjawab, “Tentu saja tidak,
ya Rasulullah.”
“Lalu, kalau kakak, adik, atau keponakanmu yang perempuan
itu ada yang menzinahi. Apakah engkau akan senang?”
Si Pemuda menatap wajah Rasulullah, menunjukkan rona tidak
senang. “Tentu saja tidak, ya Rasulullah,” katanya dengan nada tinggi.
Rasulullah tersenyum. “Begitupun orang-orang yang dekat
dengan wanita yang engkau zinahi. Mereka tentu tidak akan senang.”
Si Pemuda kaget mendengarnya. Beberapa jenak dia termenung.
Kemudian berkata, “Ya Rasulullah. Saya akan masuk Islam dan saya berjanji tidak
akan berzinah.”
Dua fragmen dari kisah hidup Rasulullah di atas mengajarkan
kita untuk tidak terburu-buru menyalahkan orang lain yang melakukan kesalahan,
atau melakukan sesuatu yang menurut kita tidak seharusnya dilakukan. Apalagi
kalau sampai memarahinya, membuatnya malu, atau memvonisnya sebagai orang yang bersalah.
Si Arab Baduwi mungkin sedang dalam perjalanan dan kebelet
ingin BAK. Melihat masjid dikiranya toilet umum, maka tanpa merasa bersalah dia
masuk dan menunaikan hajatnya.
Rasulullah sangat bijak dan tahu kalau si Arab Baduwi belum
paham. Beliau mencegah para sahabat memarahi si Arab Baduwi, karena mungkin
saja si Arab akan kaget atau takut lalu dia berlari dan air seninya bercipratan
kemana-mana. Rasulullah meminta para sahabat untuk menunggu sampai si Arab Baduwi
menyelesaikan hajatnya, baru kemudian menegurnya.
Begitupun ketika mendengar permintaan seorang pemuda yang
minta dibolehkan berzinah. Rasulullah tidak marah, tidak tersinggung, karena
beliau tahu kalau si Pemuda belum paham. Kemudian Rasulullah menasihatinya
dengan lemah lembut, sampai si Pemuda memahami jeleknya perbuatan zinah.
Jangan mudah menyalahkan. Beritahu saja. Itu hikmah dari dua
kisah di atas. Karena tidak setiap orang punya pemahaman atau pengetahuan yang
sama dengan kita. Kalau sudah diberitahu tetapi tetap melakukan, itu lain
persoalan.
Kedua kasus di atas contoh bersikap untuk perbuatan yang
betul-betul sebuah kesalahan. Buang air kecil di masjid dan berzinah secara
syariat adalah perbuatan dosa. Namun, Rasulullah memberi contoh kepada kita,
bagaimana seharusnya bersikap.
Apalagi untuk suatu perbuatan yang masih dalam lingkup
ibadah. Sudah seharusnya kita bersikap lebih bijak. Tidak gampang menyalahkan,
tidak mudah mem-bid’ah-kan. Bisa jadi ada orang yang melakukan amaliyah
tertentu, yang berbeda dengan kita, dikarenakan dia belum tahu atau punya
referensi yang berbeda, yang justru kita yang belum mengetahuinya.
Ada satu kaidah sederhana supaya kita bisa bersikap bijak,
saat melihat seseorang melakukan satu amaliyah yang berbeda dengan kita.
Ilmui apa yang kita amalkan, dan ilmui apa yang orang lain
amalkan.
Ilmui maksudnya pelajari, cari tahu dari rujukan yang benar.
Untuk amaliyah yang kita kerjakan, tentu wajib kita mempelajarinya. Karena
sangat berdosa apabila kita melakukan sesuatu tanpa disertai ilmunya.
Begitupun saat melihat orang lain melakukan amaliyah yang
berbeda. Ilmui, cari tahu rujukan yang orang itu pakai. Karena barangkali kita
memang belum mengetahuinya. Daripada memvonisnya melakukan perbuatan bid’ah,
alangkah baiknya kalau justru memunculkan kepenasaran kita untuk mencari tahu
dasar hukumnya.
Perbedaan-perbedaan dalam ibadah atau khilafiyah selayaknya
justru memunculkan forum-forum diskusi yang mempertemukan pihak yang berbeda
tersebut. Forum diskusi yang dingin yang didasari semangat ukhuwah Islamiyah.
Tidak seperti yang terjadi sekarang, saat satu pihak
membahas ‘kesalahan’ pihak lain, dilakukan di forum yang tidak dihadiri oleh
pihak lain itu. Untuk kemudian dibalas (dijawab) oleh pihak yang disalahkan di
forum yang serupa, forum yang homogen, tanpa kehadiran pihak yang lain.
Alangkah baiknya untuk membahas masalah khilafiyah tidak
menggunakan aplikasi youtube, yang bersifat searah. Tetapi gunakanlah aplikasi zoom,
dengan mengundang pihak yang berbeda dengan kita.
Itu kalau memang mau membahas hal yang khilafiyah.
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar