Beberapa hari ini sedang ramai
berita tentang kontroversi terbitnya Peraturan Menteri Dikbudristek
(Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Ada pasal krusial yang menjadi
alasan beberapa lembaga mengkritisi Permendikbudristek ini, yaitu Pasal 5 Ayat
2 yang mengulas berbagai pengertian tentang kekerasan seksual yang terjadi dikarenakan
tanpa persetujuan (consent) korban.
Polemik terjadi karena adanya
kata dalam pasal tersebut yang bisa ditafsirkan berbeda. Polemik tersebut sampai
saat ini masih terjadi di media. Baik media elektronik maupun media online,
begitupun di media sosial. Tetapi biarlah polemik itu terjadi. Tulisan ini
tidak sedang ikut berpolemik. Namun, sedang berusaha mengambil pelajaran dari
kasus ini.
Pelajaran untuk kita yang
terbiasa menulis. Baik sebagai penulis (buku, novel, atau artikel), maupun
menulis sehari-hari di media sosial (FB, twiter, IG, dll). Pelajaran untuk
berhati-hati dalam menulis. Terutama dalam memilih kata, atau lebih dikenal
dengan istilah diksi.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diksi adalah ‘pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam
penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu
(seperti yang diharapkan)’.
Polemik yang terjadi dengan
terbitnya Permendikbudristek di atas disebabkan digunakannya diksi atau pilihan
kata ‘tanpa persetujuan’ dan ‘tidak disetujui’ yang terdapat di Pasal 5 ayat 2.
Untuk lebih jelasnya saya akan
kutip sebagian dari isi Pasal 5 ayat 2, yaitu huruf l dan m.
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
Pihak yang mengkritisi beralasan
adanya kata ‘tanpa persetujuan’ justru berpotensi memunculkan modus baru dalam
aktivitas seks bebas. Mereka khawatir diksi ‘tanpa persetujuan’ dijadikan dalih
bagi sivitas akademika untuk melakukan hubungan seks bebas, asalkan didasari
suka sama suka.
Menurut mereka, ‘kalau
perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam ayat 2 tersebut dilarang karena tanpa
persetujuan’, maka akan muncul pemahaman, ‘kalau dengan persetujuan menjadi
tidak dilarang atau dibolehkan’. Dan ini yang bahaya.
Sebagaimana yang dikhawatirkan Ikhsan
Abdullah, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW). Beliau menyampaikan
kekhawatirannya kepada Republika (7/11/2021), “Artinya, melegalkan atau
melegitimasi atau membolehkan seksual atau hubungan seks manakala terjadi
kesepakatan, consent, atau tidak terjadi adanya kekerasan,” (https://www.republika.id/posts/21976/mui-soroti-permendikbudristek-no-30)
Pihak Kemendikbudristek tentu
sudah melakukan kajian yang mendalam terkait pilihan kata yang akan digunakan
dalam Permendikbudristek nomor 30 ini, sebelum ditanda tangan Menteri Nadiem
Makarim. Termasuk penggunaan diksi ‘tanpa persetujuan’.
Inilah pelajaran yang mesti kita
petik. Bahwa sebuah kata, yang kita tulis, selalu berpotensi disalah pahami
oleh yang membaca. Apalagi sebuah kalimat, yang merupakan kumpulan dari kata.
Sehingga kita harus ekstra hati-hati saat menulis. Harus hati-hati dalam
menggunakan diksi.
Kita mungkin sering membaca
perdebatan yang terjadi di grup-grup Whatsapp atau di FB yang diawali
kesalahanpahaman dalam membaca sebuah pesan/tulisan yang ditulis oleh seorang
anggota grup.
Dan, karena perdebatan tersebut
terjadi melalui tulisan kadangkala kemudian menimbulkan salam paham berikutnya
terhadap tulisan-tulisan dalam perdebatan tersebut. Sehingga perdebatan pun
semakin melebar.
Pelajaran berikutnya adalah,
lakukan swasunting (self-editing) terhadap tulisan kita, atau membaca ulang
sebelum tulisan itu dikirim. Apalagi kalau tulisan itu berupa artikel, esai
atau opini.
Swasunting ini penting. Selain
mencegah terjadi kesalahan ketik (typo) juga untuk menjaga kekonsistenan
antara apa yang kita pikirkan dengan apa yang kita tulis. Sehingga tidak
terjadi kesalahpahaman terhadap tulisan kita, dan mencegah terjadinya
perdebatan atau polemik.
Berhati-hati dalam memilih kata dan melakukan swasunting adalah dua hal mutlak yang harus dilakukan, sebelum kita menayangkan tulisan kepada publik.
Komentar
Posting Komentar