Khalifah Umar bin Khaththab tertegun saat seorang laki-laki dari suku Muzainah menghadapnya, melaporkan kasus pencurian.
Laki-laki itu melapor bahwa unta
miliknya telah dipotong dan dimakan oleh dua orang budak milik Hathib bin Abi
Balta’ah ra.
“Saya menuntut keadilan, ya,
Amirul Mu’minin.” Laki-laki itu mengakhiri laporannya.
Khalifah Umar pun segera
memanggil Hathib bin Abi Balta’ah serta kedua budak yang menjadi tertuduh.
Beliau meminta konfirmasi dari ketiganya.
Kedua budak mengakui
perbuatannya. Mereka melakukan itu karena tidak kuat menahan lapar. Hathib pun
sebagai majikan, mengakui bahwa memang dia belum memberi upah kepada kedua
budak tersebut, sehingga mereka kelaparan.
Khalifah Umar bertanya kepada
pemilik unta, “Berapa harga untamu?”
“Aku dulu membelinya seharga 400
dirham, ya Amirul Mu’minin,” jawab pemilik unta.
Khalifah kemudian menyuruh
hathib bin Abi Balta’ah membayar 800 dirham kepada pemilik unta. 400 dirham
untuk mengganti unta, 400 dirham lagi sebagai hukuman karena telah
menelantarkan dua orang budaknya. Hathib pun menyanggupinya.
Si pemilik unta puas. Begitulah
hukum ditegakkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau menggunakan hukum
sebagai alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Beliau tidak
menegakkan hukum dengan sikap arogan.
Beliau tentu tahu hukuman bagi
seorang pencuri adalah hukum potong tangan. Namun, beliau lebih mempertimbangkan
faktor penyebab seseorang melanggar hukum. Beliau tidak serta merta memvonis si
pelaku lalu menghukumnya.
Sangat ironis dengan peristiwa
yang terjadi di sebuah negeri, 1400 tahun kemudian. Peristiwa dituntutnya seorang
istri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), setahun di penjara.
Apa pasal?
Konon, tuntutan itu atas laporan
suaminya sendiri yang merasa menjadi korban KDRT, karena telah dimarahi dengan
kata-kata kasar gara-gara pulang dalam keadaan mabuk.
Dalam sidang dengan agenda
penuntutan, JPU membacakan tuntutan satu tahun penjara untuk si istri. Menurut JPU,
si istri telah melanggar UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), Pasal 45 ayat 1 Junto pasal 5 huruf b. Si istri
didakwa telah melakukan KDRT verbal.
Seorang istri menegur suami
adalah kejadian lumrah, apalagi ini menegur suaminya yang mabuk-mabukan dan
menelantarkan keluarga. Apa yang menjadi alasan di si istri harusnya menjadi
pertimbangan JPU.
Tetapi bagi JPU hukum tetap hukum.
Karena si istri telah melanggar UU, maka dia ‘harus’ dihukum. Tidak peduli apa
yang melatar-belakangi dia melakukan perbuatan itu.
Ah ….
Jadi rindu kehadiran seorang
pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khaththab.
Komentar
Posting Komentar