Tulisan ini mau disebut review atau bukan, terserah. Karena saya
hanya ingin sekaligus mengulas isi 2 buku.
Novel ‘Black Showman dan Pembunuhan di Kota Tak Bernama’ ini
adalah buku ketiga yang saya baca dari karya Keigo Higashino. Novelnya yang pertama
saya baca adalah ‘Keajaiban Toko Kelontong’. Sebuah novel yang mengangkat kisah
yang menarik dan unik.
Sebelum membaca novel ‘Toko Kelontong’ tersebut, terus
terang, saya belum pernah membaca novel karya penulis Jepang. Keunikan cerita
dan cara berkisah dari novel pertama yang saya baca itu telah membuat saya penasaran
dengan sosok si penulis.
Setelah searching, ternyata, spesialis Keigho Higashino adalah
kisah-kisah misteri semacam Agatha Christie atau Sherlock Holmes. Rupanya, novel
Keajaiban Toko Kelongtong, yang pertamakali saya baca itu, merupakan anomali di
antara novel-novel yang dia tulis.
Rasa penasaran dengan karya Keigho Higashino mengantarkan saya
untuk membaca ‘Malice (Pembunuhan Sang Novelis)’. Gramedia menerbitkannya tahun
2020. Ceritanya khas Keigho, sebuah kasus pembunuhan. Saya sudah berniat untuk
mengulasnya, namun entah mengapa selalu tertunda. Selalu ada alasan untuk tidak
segera menulisnya.
Sampai kemudian saya membaca novel ‘Black Showman’ ini. Jadi
ini buku ketiga yang saya baca dari karya Keigho Higashimo. Dan, karena ada keterkaitan
yang menarik dengan novel ‘Malice’, jadi sekalian saja saya ulas atau komentari
kedua novel tersebut.
Kedua novel ini, ‘Malice’ dan ‘Black Showman’, diterbitkan
oleh Gramedia tahun 2020 dan tahun 2021. Jadi tidak terlalu jauh jaraknya.
Keduanya mengangkat kisah yang sama, tentang memecahkan misteri di balik kasus
pembunuhan. Siapa pelakunya dan apa motifnya.
Ada keterkaitan-boleh kalau mau disebut kesamaan-di dalam
kedua novel ini. Selain kisah pembunuhannya, juga kedua korban di dua novel ini
sama-sama berkecimpung di dunia literasi. Korban di ‘Malice’ adalah seorang
penulis Novel (Hidaka Kunihiko), sedangkan di ‘Black Showman’ adalah seorang mantan
guru SMP (Kamiio Eiichi).
Kedua korban, sama, ditemukan oleh orang dekat korban ketika
sedang bertamu (mendatangi rumahnya).
Begitupun dalam mengungkap misteri pembunuhannya.
Masing-masing tokoh polisi di dua novel tersebut harus melakukan hal yang sama,
menelusuri riwayat korban maupun orang-orang yang dicurigai sampai ke masa
lampau, masa saat-saat masih sekolah.
Saya salut pada penerjemah kedua novel tersebut.
Kepiawaiannya memilih diksi, tidak menghilangkan gaya penuturan penulis yang
khas, sehingga membuat saya tidak ingin berhenti membaca sampai mencapai
halaman terakhir.
Lalu, yang membedakan-dan ini uniknya-kedua novel ini
mempunyai plot yang sangat berbeda. Maksud saya begini, dalam setiap kisah
pembunuhan, lazimnya, yang dikejar polisi adalah pelaku pembunuhan, baru
kemudian dicari motifnya.
Nah, perbedaan kedua novel ini adalah, kalau di ‘Malice’,
Keigho bercerita panjang, sampai muter-muter untuk mengetahui motif apa yang
melarbelakangi si pebunuh. Sedangkan di ‘Black Showman’-sebagaimana umumnya
kisah pembunuhan-Keigho memecahkan misteri siapa pelaku pembunuhan.
Kalau saja novel kisah pembunuhan itu ‘harus’ selesai atau
tamat setelah si pelaku diketahui dan/atau tertangkap, maka novel ‘Malice’
tidak akan setebal 304 halaman. Karena di halaman 91 (sepertiga tebal buku)
pelaku pembunuhan sudah diketahui. Tidak ada hal rumit, dengan gampangnya
Detektif Kaga, menemukan si pelaku.
Ini uniknya. Karena sisa halaman berikutnya, sebanyak 213
halaman, isinya tentang mengungkap apa sebenarnya motif si pelaku membunuh
penulis novel tersebut. Cara pengisahannya-dalam mengungkap motif tersebut-pun
unik. Keigho menggunakan 2 POV (Point Of View), yaitu detektif Kaga dan
Nonoguchi Osamu, rekan korban. Kedua tokoh itu masing-masing membuat narasi
tentang keterkaitan pelaku dengan korban, terkait motif yang sedang diselidiki.
Lain halnya dengan novel ‘Black Showman. Di novel dengan
tebal 520 halaman ini, pelaku pembunuhan baru diketahui di halaman 462, atau
hampir di akhir cerita. Artinya lagi, novel ‘Black Showman’ ini dipenuhi cerita
bagaimana polisi, dibantu adik korban seorang pesulap eksentrik, memecahkan
misteri untuk mengetahui siapa si pelaku. Termasuk, motifnya pun baru dipahami
setelah si pelaku diketahui.
Intinya, ada keasyikan yang berbeda saat membaca kedua novel
ini. Ada kerumitan yang berlainan antara mengungkap motif pembunuhan dengan
mencari tahu si pembunuh.
Yang jelas, Anda bakal asyik membaca kedua novel ini. Dan sepertinya menjadi jaminan juga, karya Keigho Higashimo yang lain pun tidak jauh berbeda menantangnya untuk dibaca. Dan sepertinya, saya harus hunting novel Keigho yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar