Ketika mendengar kabar terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan dan kemudian mengikuti perkembangan beritanya di media, saya-yang tidak ada di TKP-dapat membayangkan kengerian yang dirasakan penonton yang terjebak, maupun ketegangan para polisi yang berusaha mengendalikan situasi.
Walaupun ada beberapa video yang menggambarkan situasi di
Kanjuruhan saat itu, tetap saja kengerian bentrokan antara polisi dan massa
belum jelas tergambarkan. Namun, entah mengapa, saat saya nonton film Athena
ini, bayangan saya langsung pada suasana chaos yang terjadi di Kanjuruhan. Di
dalam kepala saya tergambarkan situasi di Kanjuruhan saat itu, dengan melihat
adegan kerusuhan di film ini.
Film Athena memang menceritakan bentrokan yang terjadi di
Prancis, antara polisi dengan rakyat. Kerusuhan pecah setelah bocah 13 tahun
bernama Idris tewas, dan diduga dibunuh oleh pihak kepolisian. Kematian bocah
tak berdosa dari kelompok imigran tersebut menggerakan massa yang marah untuk
memulai kerusuhan melawan pihak kepolisian.
Athena adalah tempat tinggal kaum minoritas dari berbagai
ras dan agama. Dipimpin oleh kakak korban, Karim, yang menginginkan nama
pembunuh adiknya diungkap, serta para pemuda dari lingkungan tersebut memulai
pemberontakan yang menyudutkan pihak kepolisian dan warga setempat. Situasi pun
dengan cepat berubah menjadi skenario polisi melawan massa anarkis.
Konflik yang sangat menegangkan itu ditambah dengan konflik
antara Karim dengan kakaknya, Abdel, yang berprofesi sebagai polisi dan
berusaha meredakan anarkisme di tempat tinggalnya.
Kita jadi diberi sudut pandang yang berbeda dari dua
bersaudara itu, dengan posisi dan motivasi yang berbeda ketika kerusuhan pecah.
Ada yang menginginkan balas dendam, namun ada yang yakin bahwa tragedi bisa berakhir
dengan lebih kondusif. Plot yang disajikan serta kronologis, sangat mudah untuk
diikuti dari awal hingga akhir. Karena hanya fokus satu peristiwa kerusuhan
yang berlokasi di lokasi yang sekitar situ saja.
Alunan musik dan pengambilan gambar dengan menggunakan
Teknik yang disebut One Long Shot, sangat menaikkan adrenalin. Itu yang saya
rasakan selama film berlangsung.
Ya, sepanjang film menyuguhkan ketegangan yang memikat.
Mathias Bouchard sebagai pengarah sinematografi patut diberi apresiasi tinggi,
karena sinematografi film ini didominasi dengan banyak one long shot. Dimulai
dari adegan pembuka yang kurang lebih selama 10 menit, saat pengumuman kematian
bocah 13 tahun di markas kepolisian oleh Abdel, dan kemudian berubah menjadi
awal ketika Karim melempar botol molotov. Kita seakan tersedot dalam semesta
“Athena” melalui prolognya yang memikat dan immersive.
Setelah adegan prolog, kelanjutan film juga didominasi
dengan banyak adegan dengan durasi one take yang panjang dari berbagai
perspektif. Terkadang kita melihat dari perspektif Karim yang menggerakan massa
anarkis. Adapula saat kita melihat Abdel yang berusaha menyadarkan adiknya
untuk menghentikan kerusuhan.
Konsep visual one long shot dari perspektif beberapa
karakter kunci berhasil memberikan pengalaman sinematik yang menggugah.
Intensitas ketegangan turbulens dan momen tenangnya pun cukup seimbang. Ada
saatnya kita berada di tengah baku tembak yang riuh. Ada saatnya adegan berubah
menjadi sedikit tenang, meski tetap di selimuti dengan suspense
Terus terang saya berani memberi nilai 100 untuk sutradara
dan pengaransemen musik film ini. Film Athena memiliki konsep naskah yang
sederhana, namun eksekusi produksi yang sangat brilian. Terutama karena teknik
one long shot yang mendominasi. Membuat film yang sebetulnya memiliki naskah
sederhana ini jadi terlihat lebih berkualitas. Penampilan akting dari para
aktor utama pun sangat baik. Setiap karakter utama mampu menampilkan emosi,
amarah, dan kesedihan yang menimbulkan semburat melankolis.
Scene yang paling menyentuh adalah saat Abdel, melihat
langsung adiknya, Karim, yang tewas ditembak polisi dan tubuhnya terbakar oleh
bom Molotov yang dipegangnya, yang belum sempat dilemparkan. Anda bisa
membayangkan dan merasakan bercampurnya kesedihan, kemarahan, kekalutan dari
Abdel. Sekali lagi saya angkat jempol untuk Sang Sutradara, Romain Gavras.
Athena menyajikan naskah dan pengalaman sinematik terbaru.
Terutama bagi penggemar film bertema isu sosial dan eksplorasi anarkisme dengan
kemasan yang lebih artistik. Athena berhasil memberikan gambaran umum tragedi
dalam anarkisme sekaligus sentimental dan haru dalam peristiwa yang dikuasai
oleh kekerasan tak berhati.
Twist di akhir film pun sangat mengagetkan. Adegan satu
menit di akhir film, menjelaskan siapa sebenarnya yang membunuh Idris. Dan
mereka bukan polisi. Mereka adalah kelompok yang ingin mengadu domba polisi
dengan rakyat. Dan, saya pun jadi bertanya-tanya, ‘Apakah di Kanjuruhan juga
ada pihak yang berniat demikian?’
Komentar
Posting Komentar