![]() |
sumber: kompas |
Minggu, 22 Januari 2023, Tahun Baru Imlek
Sorak-sorai penonton yang semula bergemuruh tiba-tiba berubah
menjadi teriakan-teriakan histeris. Lalu hening, sesaat setelah Barongsai
berwarna merah jatuh.
Rupanya titian dari kayu yang dinaiki Barongsai berwarna
merah itu patah. Tak ayal, pemain yang di depan, yang memegang kepala Barongsai
jatuh tersungkur. Jatuh dari ketinggian hampir dua meter membuat pemain
Barongsai itu tidak bergerak begitu menyentuh lantai dari semen. Semua jadi
panik.
“Yovan! Yovan, kah, itu …?” Seorang perempuan berumur 50
tahunan berlari menerobos penonton yang mengerumuni Barongsai Merah yang terkapar,
tidak bergerak. Perempuan itu langsung melepas kepala Barongsai dan memeluk
pemain yang ada di dalamnya. “Oh, tidaaakkk …. Yovaaan, bangun, Nak!”
“Maaf Bu Lusi, Nak Yovan harus segera dibawa ke rumah
sakit.” Seorang lelaki berpakaian seragam berwarna emas dengan tepi-tepinya
berwarna kuning, berusaha melepaskan tangan Si Ibu tadi dari tubuh pemain
Barongsai yang pingsan.
“Nak … bangunlah, Nak! Ini Ibu, Nak …!” Bukannya melepaskan
tangannya malah semakin erat memeluk pemain Barongsay, yang ternyata putranya. Namun,
setelah dua orang yang berusaha melepaskan tangannya, baru Si Ibu menyerah.
***
Menjelang Maghrib Andi dan Imam tiba di rumah Yovan.
Beberapa orang masih berkerumun di teras rumah. Tidak satu pun yang dikenal
Andi di antara mereka. Tapi mereka segera mempersilahkan keduanya memasuki
rumah.
Di dalam rumah Andi disambut Yoko, adik Yovan. Andi pun
memeluk Yoko. Begitupun Imam. Mereka berdua hampir bersamaan berkata, “Sabar,
ya, Dik Yoko!”
Yoko kemudian menggiring mereka berdua memasuki sebuah
ruangan. Begitu memasuki ruangan, Andi dan Imam tidak mampu lagi menahan
airmata mereka, yang berusaha ditahan sejak memeluk Yoko tadi, saat melihat
sosok sahabatnya terbaring di tengah-tengah ruangan.
Yovan, sahabatnya itu, tidak mampu mempertahankan hidupnya
sejak terjatuh tadi siang. Saat terjatuh, kepalanya membentur lantai semen yang
pecah. Ujung pecahan semen lantai yang runcing menusuk kepala bagian belakang.
Walaupun menusuk tidak begitu dalam, tapi telah menyebabkan pendarahan di
otaknya. Menjelang pukul dua siang, nyawanya pun tidak mampu diselamatkan.
“Maafkan Yovan, ya Nak Andi.” Begitu melihat Andi dan Imam
masuk, ibu Yovan yang duduk di samping tubuh Yovan berdiri dan memeluk mereka
berdua.
Andi dan Imam tak sanggup berkata sepatah kata pun. Mereka
hanya menganggukkan kepala. Mereka lalu mendekati tubuh dan kemudian memegang
tangan Yovan. Dengan cara itu mereka menunjukkan sedang berdoa untuk Yovan,
sahabat mereka. Karena tentu saja Andi dan Imam tidak bisa berdoa dengan cara
Islam di ruangan tersebut.
***
Jumat, 30 Desember 2022
“Kamu serius, Van?” tanya Andi seraya menatap tajam mata
Yovan.
“Aku sudah mempertimbangkannya. Apa pun yang terjadi, aku
sudah keukeuh dengan keputusanku ini,” jawab Yovan. Dia pun membalas
tatapan mata Andi. Seolah memperkuat pernyataannya bahwa keputusannya itu tidak
bisa diubah lagi.
Mendengar keteguhan Yovan, serasa ada air dingin mengguyur
kepala Andi, lalu air itu mengalir turun, membasahi dan menyejukkan seluruh badannya.
Yovan, seorang keturunan Tionghoa, bukan teman yang baru bagi
Andi. Sejak kelas tiga SMP dan berlanjut di kelas satu SMA dan sekarang kelas dua
SMA, mereka selalu sekelas. Bahkan di kelas satu mereka sempat duduk sebangku.
Keluarga Yovan termasuk penganut Konghucu yang taat. Sama
dengan keluarga Andi yang Muslim. Namun, di antara keduanya, Yovan dan Andi,
sudah terjalin rasa saling menghargai. Terutama dalam masalah agama
masing-masing.
Saat Idul Fitri, Andi sering mengundang Yovan ke rumahnya
untuk makan ketupat. Begitupun keluarga Yovan, mereka suka juga mengajak Andi
untuk datang saat mereka merayakan imlek. Terutama saat peragaan Barongsai. Dan
itu yang paling disukai Andi.
Yovan, di lingkungannya, dikenal pemain Barongsai yang
lincah. Dia dan partnernya mampu memainkan Barongsai seolah betul-betul singa
yang bernyawa. Gerakannya halus, sekilas tak terlihat dimainkan oleh dua orang
manusia. Setiap Yovan yang memainkan Barongsai, pasti aplaus dari penonton
bergemuruh. Decak kagum keluar dari mulut-mulut penonton.
Walaupun ada rasa senang, tetapi tetap saja Andi merasa
terkejut mendengar Yovan ingin masuk Islam. Hidayah, sebagaimana dipahami Andi,
memang hak Allah untuk diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Namun,
kalau Yovan yang mendapatkannya, Andi tak mengira sedikit pun.
Ketaatan Yovan dan keluarganya terhadap ajaran Konghucu,
plus ayah Yovan termasuk pemuka agama Konghucu, menjadi alasan Andi sangat
tidak percaya dengan keputusan Yovan tersebut.
Dalam pergaulan sehari-hari pun Andi tidak pernah
mengajarkan tentang ajaran Islam. Apalagi mengajak Yovan pindah agama. Entah
bagaimana muasalnya sampai Yovan berkeinginan untuk menjadi Muslim.
“Bagaimana, Ndi. Kau mau mengantarku, kan?” Pertanyaan Yovan
membuyarkan lamunan Andi. Yang dimaksud olehnya mengantar adalah mengantar dia
menemui Ustad Halim, guru agama Islam di sekolah mereka.
Andi tidak segera menjawab. Tetapi beberapa saat kemudian
Andi balik bertanya, “Van, keputusanmu ini sudah disampaikan belum ke
orangtuamu?”
Yovan menggeleng kemudian berkata, “Aku berniat nanti saja memberitahu
mereka kalau aku sudah menjadi Muslim. Rasanya … kalau bilang sekarang mereka
akan menolak dan melarangku.”
“Tidak begitu, Van. Menurutku sebaiknya kamu bicara
baik-baik, sampaikan keinginanmu itu kepada orangtuamu. Aku, sebagai Muslim, tentu
sangat senang kalau kamu berniat menjadi Muslim. Tetapi bagaimanapun,
menghormati orangtua adalah ajaran yang baik. Saya yakin agamamu juga
mengajarkan untuk berbuat baik pada orangtua,” jelas Andi.
“Kalau menurutmu orangtuamu akan menolak kalau kamu bilang,
aku kira nanti pun, setelah kamu jadi Muslim, mereka tetap akan menolaknya.
Kalau kamu bilang sekarang, siapa tahu orangtuamu mengerti alasanmu, dan mereka
mengizinkanmu,” sambung Andi.
Yovan menundukkan kepalanya. Seolah sedang menghitung jumlah
semut yang berbaris di lantai kamar Andi. Beberapa jenak kemudian kepalanya
tegak dan menatap Andi sambil berkata, “Baiklah, Ndi. Tapi aku harap kamu
menemaniku berbicara kepada orangtuaku.”
“Jangan, Van. Bukannya aku tidak mau menemanimu. Aku tidak
ingin orangtuamu menyangka aku yang mempengaruhi kamu untuk masuk Islam. Aku
ingin hubunganku dengan orangtuamu tetap baik,” tolak Andi.
***
Rabu, 4 Januari 2023
Sebelum guru pelajaran pertama masuk, Yovan mendekati bangku
Andi. Namun, tanpa Yovan bicara pun, dari gestur yang diperlihatkan Yovan, Andi
sudah mengerti bahwa keinginan Yovan untuk masuk Islam tidak disetujui oleh
orangtuanya.
“Bagaimana menurutmu, Ndi?” tanya Yovan setelah mereka
berbincang tentang sikap orangtua Yovan.
“Memeluk agama adalah hak semua warga negara. Itu bahkan
disebutkan di UUD’45. Jadi, kalau keinginanmu sudah kuat, laksanakan saja,
tanpa perlu persetujuan orangtua. Walaupun begitu hubunganmu dengan orangtua
harus tetap baik,” jawab Andi.
“Jadi kapan kamu mau mengantarku ke Ustadz Halim?”
“Kalau menurutku jangan di masjid sekolah kamu berikrar
masuk Islam. Lebih baik di masjid Muhammadiyah saja. Di sana akan lebih banyak
saksi dan lebih formal daripada di masjid sekolah. Salah seorang pengurusnya
kebetulan aku ada yang kenal.” Andi memberi alternatif.
***
Kamis, 12 Januari 2023
Pagi-pagi sekali Yovan sudah tiba di tempat Andi biasa
menunggu Angkutan Kota ke sekolah. Rona wajahnya ceria. Senyumannya pun semakin
melebar saat melihat sahabatnya Andi tiba.
“Wah … kelihatannya ada kabar yang menggembirakan, nih?”
tanya Andi begitu tiba di hadapan Yovan.
“Betul sekali, Ndi. Ibuku akhirnya menyerah, membolehkan aku
pindah agama,” jelas Yovan.
“Ayahmu?”
“Kalau ayah, sih, tetap tidak ingin aku pindah agama. Tapi,
tidak bisa apa-apa lagi setelah ibu membolehkan.”
“Alhamdulillah ….”
“Tapi ….”
“Tapi bagaimana?” Senyum Andi langsung terhenti.
“Ibuku …, ibuku meminta syarat, Ndi.”
“Syarat apa?”
“Aku harus merayakan Imlek dulu. Baru setelah Imlek aku
dibolehkan masuk Islam.”
Andi hanya mengangguk seraya kembali tersenyum.
“Ibuku ingin melihat aku memainkan Barongsai untuk terakhir
kalinya,” lanjut Yovan.
“No problem.” Kali ini Andi menanggapi, “Tinggal 10 hari
lagi, kan?”
Yovan mengangguk.
***
Senin, 23 Januari 2023
Jam dinding sudah menujukkan pukul tujuh lewat, tapi Andi
belum keluar kamar. Sejak pulang dari rumah Yovan, pukul setengah sembilan
malam, Andi terus mengurung diri.
“Nak, kamu ga sekolah?” Ibunya Andi bertanya setelah membuka
pintu kamar.
Andi hanya menggeleng. Matanya sembab, airmatanya terkuras
sejak tadi malam. Kehilangan sahabatnya secara mendadak, siapa pun akan sangat bersedih.
“Nak, ibu mengerti kamu sangat bersedih. Ibu tahu betul,
Yovan adalah sahabat terbaik kamu. Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah
mendoakannya.” Ibunya Andi mendekat dan duduk di sebelah Andi berbaring.
“Justru itu yang Andi sangat sedih, Mah. Andi bukan hanya
sedih telah kehilangan seorang sahabat. Tetapi yang paling Andi sedihkan,
keinginan Yovan untuk masuk Islam tidak kesampaian. Padahal dia ingin sekali
menjadi Muslim.”
“Semua itu sudah diatur Allah Yang Maha Kuasa, Nak.”
***
Kamis, 26 Januari 2023
Karena sedang melaksanakan puasa sunah hari Kamis, setelah
salat Zuhur berjamaah, Andi tidak segera keluar masjid. Dia bermaksud
menanyakan sesuatu kepada Ustad Halim, yang mengimami salat.
“Apa yang kamu tanyakan itu sulit untuk dijawab, Andi.
Bagaimanapun kita tidak bisa menilai seseorang, apakah setelah kematiannya dia
berada di tempat yang terbaik atau sebaliknya. Apalagi Yovan itu agamanya bukan
Islam, kita tidak bisa menilai dengan ajaran Islam.” Ustad Halim menjelaskan
setelah mengajukan pertanyaan.
“Tapi … saya merasa Allah tidak adil. Mengapa tidak menunggu
sehari lagi saja, saat Yovan sudah masuk Islam, kalau memang Yovan mau dicabut
nyawanya?”
“Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Allah itu Maha
Berkehendak, Allah itu Maha Tahu, Andi. Semua yang terjadi, Dia yang mengatur.”
“Bukankah lebih baik, kalau Yovan meninggal dalam keadaan
Muslim?” tanya Andi. Rupanya dia masih merasa penasaran.
Ustad Halim tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Kemudian
dia berdiri dan beranjak menuju rak buku yang ada di samping kanan masjid.
Setelah mengambil sebuah kitab, dia Kembali duduk di depan Andi.
“Kalau boleh diibaratkan. Kematian Yovan ini mengingatkan
Bapak pada kisah seorang pembunuh yang ingin bertobat.”
“Maksud Pak Ustad?”
“Dahulu kala ada seorang pembunuh yang telah menghabisi
nyawa 100 orang, kemudian dia bertobat. Tetapi dia keburu meninggal. Supaya
jelas, kamu baca sendiri kisahnya. Kisahnya ada di kitab ini.” Setelah membuka
sebuah halaman, Ustad Halim menyerahkan kitab yang ternyata kitab terjemahan hadis
Bukari Muslim.
Andi pun menerima kitab itu dari tangan Ustad Halim. Dia
segera membaca di halaman yang sudah terbuka.
Di kitab tersebut tertulis,
‘Dari Sahabat Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sina’an Al
Khudri ra, sesungguhnya Nabi Saw bersabda, “Dahulu pada masa sebelum kalian ada
seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan
orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang
rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh
99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu
tidak diterima taubatnya.’ Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah
100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.
Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang
yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia
bertanya pada ‘alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah
taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya masih diterima. Dan
siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari
tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok
manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan
janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah
tempat yang amat jelek.”
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan
oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun
menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan
malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan
bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun malaikat adzab
berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu
datanglah malaikat lain. Mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini
sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua
tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat
yang baik yang ia tuju).’ Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut
dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju.
Akhirnya ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”
Setelah membacanya, untuk beberapa jenak Andi terdiam. Lalu
dia menyerahkan kembali kitab tersebut kepada Ustad Halim.
“Semoga Yovan kedudukannya seperti pembunuh yang dikisahkan
itu. Semoga dia termasuk orang yang sedang bertaubat, dan ruhnya diambil oleh
malaikat rahmat, walaupun tidak sempat menjadi seorang Muslim.” Sambil Berkata
demikian Ustad Halim menerima kitab dari Andi.
“Aamiin ….” jawab Andi pendek seraya menundukkan kepala. Ada
rasa hangat menjalari tubuhnya.
Komentar
Posting Komentar