Komunikasi merupakan kunci penting dalam menjalin hubungan
yang sehat antara orangtua dengan anak. Komunikasi yang terjalin secara
harmonis antara orangtua dan anak juga menjadi salah satu ciri dari keluarga
yang sakinah mawadah wa rohmah.
Beberapa ayat al-Quran mengisahkan komunikasi seorang ayah dengan anak
laki-lakinya. Salah satunya, dan paling fenonenal, adalah komunikasi (dialog)
antara Nabi Ibrahim as dengan putranya Ismail.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup
bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku
bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail)
menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu!
Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Aṣ-Ṣaffat:
102)
Sebelum peristiwa yang dikisahkan dalam ayat di atas, Nabi
Ibrahim as - dalam hubungannya dengan putranya Ismail - mengalami dua momen yang
mengharukan.
Pertama, bertahun-tahun sejak menikahi Hajar, tidak ada
tanda-tanda Hajar akan melahirkan seorang anak. Kekhawatiran melanda Nabi
Ibrahim. Dia terus berdoa kepada Allah swt agar dikaruniai anak. Allah swt pun
kemudian mengabulkan permohonannya. Maka
lahirlah Ismail.
Kedua, belum genap sebulan umur Ismail, Allah swt
memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah lokasi
terpencil, dan meninggalkan mereka berdua di sana. Padahal lokasi itu berupa
gurun pasir, yang tidak ada seorang pun tinggal di sana. Jangan manusia, satu pohonpun tidak ada.
Dapat dibayangkan kesedihan Nabi Ibrahim as. Bertahun-tahun
menanti kehadiran seorang anak, setelah lahir harus berpisah untuk waktu yang tidak
ditentukan.
Dan kemudian, saat Allah swt mempertemukan kembali Nabi
Ibrahim dengan istri dan anaknya, Ismail, belum habis menumpahkan rasa
rindunya, Allah swt kembali menguji Nabi Ibrahim as. Allah swt memerintahkan
Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Ismail.
Walaupun berat di hati, tetapi karena keimanannya Nabi
Ibrahim as melaksanakan perintah Allah swt tersebut. Dan kemudian terjadilah
dialog antara Nabi Ibrahim dengan Ismail, sebagaimana dikisahkan di ayat di
atas.
Walaupun perintah Allah swt, tetapi Nabi Ibrahim merasa
perlu bertanya kepada Ismail, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi
bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?"
Nabi Ibrahim bukan tidak yakin pada perintah Allah sehingga
dia harus meminta pendapat Ismail. Bukan! Hal ini semata untuk menunjukkan urgensinya
dialog antara ayah dengan anak, dalam hal apa pun. Kalau perintah Allah saja harus didiskusikan
terlebih dahulu, apalagi untuk urusan-urusan duniawi.
Dan jawaban Ismail pun menunjukkan kedewasaannya dalam berpikir,
walaupun secara usia masih remaja atau anak-anak. Ismail menjawab pernyataan ayahnya, "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Tentu saja
jawaban seperti itu tidak begitu saja keluar dari mulut
Ismail, tapi itu adalah hasil asuhan
dan didikan orangtuanya. Sehingga dapat memahami bagaimana
mensikapi perintah Allah swt.
Mengajak anak bicara, baik berdialog atau berdiskusi,
sangat penting bagi kecerdasan intelektual, spiritualnya, maupun emosionalnya.
Sehingga ketiga kecerdasan tersebut dapat tumbuh dan berkembang bersama secara
seimbang.
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar