![]() |
| 8 Tips Membaca / Sumber: dokpri uripwid |
Kebodohan
sering kali memakan korban. Sayangnya, kondisi kita hari ini menunjukkan bahwa
kita sedang berada di posisi yang cukup rentan menjadi korban itu. Berbagai
riset dan pemberitaan kerap menyebutkan bahwa tingkat literasi di Indonesia
masih rendah. Ironisnya, di saat yang sama, kita sangat aktif – bahkan cerewet –
di media sosial.
Masalahnya,
kecerewetan ini sering tidak ditopang oleh literasi yang memadai. Banyak
pendapat lahir bukan dari bacaan yang kuat, melainkan dari keyakinan pribadi
yang dicampur logika setengah matang. Akibatnya, diskusi berubah menjadi
kebisingan, bukan pertukaran gagasan.
Namun, mari
kita lihat dari sudut pandang yang lebih optimistis. Fenomena ini juga bisa
dimaknai bahwa masyarakat kita sebenarnya mampu membaca dan gemar
berkomunikasi. Tantangannya tinggal satu: bagaimana cara meningkatkan kualitas
literasi agar apa yang kita baca benar-benar dipahami, diingat, dan berdampak.
Salah satu
keluhan paling klasik adalah ini: sudah membaca buku, tapi isinya cepat sekali
menguap. Ketika ditanya apa isi bukunya, yang keluar hanya jawaban singkat,
“Bagus, kok.” Titik.
Marian
Wolf, seorang ahli neurosains kognitif, menjelaskan bahwa otak manusia
sejatinya tidak dirancang khusus untuk membaca. Otak kita lebih alami untuk
berbicara dan mendengar. Karena itu, membaca bukan bakat bawaan, melainkan
keterampilan yang perlu dilatih.
Tulisan ini
akan membahas panduan membaca buku secara lebih efektif, berdasarkan riset,
pengalaman para pembaca aktif, dan refleksi dari praktik membaca itu sendiri.
Sebelum
masuk ke tips, mari jawab satu pertanyaan penting: “Mengapa kita masih perlu
membaca buku, padahal sudah ada podcast, video, dan film dokumenter?”
Jawabannya
terletak pada ‘kedalaman’. Media audio-visual umumnya bersifat passive
learning. Kita menerima informasi tanpa perlu banyak mengolah. Sementara
membaca, jika dilakukan dengan benar, adalah active learning. Otak dipaksa
bekerja: menghubungkan ide, membangun imajinasi, dan menyusun makna.
Sebuah
studi dari Emory University menunjukkan bahwa membaca, khususnya bacaan
naratif, dapat meningkatkan konektivitas di area otak bernama somatosensory
cortex, yaitu bagian yang berkaitan dengan sensasi dan gerak. Ketika kita
membaca kalimat “ia melompat melewati pagar”, otak memprosesnya seolah-olah
kitalah yang melakukan gerakan itu. Fenomena ini dikenal sebagai grounded
cognition.
Inilah
kekuatan membaca yang jarang kita dapatkan ketika hanya menonton layar.
Berikut
delapan tips agar membaca buku tidak sekadar selesai, tetapi juga bermakna.
1.
Jadwalkan Waktu Terbaik
Waktu
terbaik untuk membaca umumnya ada di pagi dan malam hari. Pagi hari, pikiran
masih jernih dan energi mental belum terkuras. Sayangnya, banyak dari kita
langsung membuka media sosial setelah bangun tidur. Akibatnya, energi mental
habis sebelum hari benar-benar dimulai.
Malam hari,
terutama sebelum tidur, juga ideal untuk membaca. Selain membantu tubuh lebih
rileks, membaca buku fisik sebelum tidur terbukti dapat meningkatkan kualitas
tidur karena tidak terpapar cahaya biru dari layar gawai.
2. Pilih
Buku dengan Tujuan
Membaca
banyak buku memang baik, tetapi akan jauh lebih bermakna jika kita tahu
*mengapa* kita membaca buku tersebut. Novel, cerpen, dan komik umumnya
berfungsi sebagai hiburan atau sarana refleksi emosional. Buku pengembangan
diri, bisnis, atau filsafat tentu punya tujuan yang berbeda.
Sebelum
memilih buku, tanyakan pada diri sendiri: ‘apa yang sedang saya butuhkan?’ Jika
ingin memperbaiki kemampuan komunikasi, buku seperti *How to Win Friends and
Influence People* relevan. Jika sedang bergulat dengan kecemasan, buku-buku
Stoikisme bisa menjadi teman berpikir.
Namun, jika
tujuan hidup pun masih terasa kabur, tidak masalah membaca apa pun yang membuat
kita jatuh cinta pada aktivitas membaca itu sendiri.
3. Jadilah
“Pencopet” yang Andal
Membaca
buku nonfiksi tidak harus selalu linear dari halaman pertama hingga terakhir.
Manfaatkan daftar isi. Pilih bab yang paling relevan dengan kebutuhan Anda saat
ini.
Mortimer J.
Adler dalam How to Read a Book menyebut teknik ini sebagai inspectional
reading: membaca untuk menangkap gagasan utama, bukan setiap kata.
Dan jangan
merasa bersalah jika tidak menamatkan buku. Jika di tengah jalan Anda merasa
intinya sudah didapat atau bukunya tidak memberi nilai tambah, berpindah ke
buku lain adalah pilihan yang masuk akal. Waktu kita terbatas, sementara buku
di dunia ini nyaris tak terbatas.
4. Jangan
Baca Sekali
Buku yang
baik layak dibaca ulang. Ada pepatah lama dari Heraclitus: “Tak seorang pun
melangkah di sungai yang sama dua kali.” Karena, airnya mengalir. Air yang diinjak
bukan air yang pernah diinjak.
Membaca
ulang buku yang sama di fase hidup berbeda akan melahirkan pemahaman baru.
Kata-katanya sama, tetapi perspektif kitalah yang berkembang. Membaca buku
Atomic Habit di usia 15 tahun akan berbeda Ketika membaca lagi di usia 30
tahun.
5. Jangan
Takut Membuat Buku “Kotor”
Buku bukan
benda suci. Menandai, menggarisbawahi, atau menulis catatan di pinggir halaman
justru tanda bahwa kita berdialog dengan isi buku.
Mortimer J.
Adler bahkan menyebut menandai buku sebagai bentuk penghormatan tertinggi
kepada penulis. Bill Gates dikenal selalu membaca sambil membawa pulpen. Tentu
dengan satu catatan: pastikan bukunya milik sendiri, bukan pinjaman.
6. Tulis
Ulang dengan Bahasa Sendiri
Highlight
memang membantu, tetapi menulis ulang jauh lebih efektif. Riset menunjukkan
bahwa aktivitas menandai teks cenderung pasif. Sebaliknya, parafrase memaksa
otak benar-benar memahami makna.
Ambil satu
ide penting, lalu tuliskan kembali dengan bahasa dan konteks hidup Anda
sendiri. Proses inilah yang membuat pengetahuan bertahan lebih lama.
7. Membaca
dengan Pelan
Membaca
bukan lomba kecepatan. Yang terpenting bukan seberapa cepat buku selesai,
melainkan seberapa dalam ia mengendap.
Di tengah
dunia yang serba cepat, membaca pelan adalah bentuk perlawanan yang sehat. Jika
sebuah kalimat membuat Anda berhenti dan merenung, di situlah proses belajar
sebenarnya terjadi.
8.
Sampaikan pada Dunia
Pengetahuan
yang hanya berhenti di kepala rawan menjadi illusion of competence, merasa
pintar padahal belum mempraktikkan apa pun.
Dalam
piramida belajar, membaca hanya memberi daya ingat sekitar 10%. Mengajarkan
orang lain bisa meningkatkan pemahaman hingga 90%. Cobalah membagikan apa yang
Anda baca: lewat obrolan, tulisan singkat, atau sekadar menjawab pertanyaan
orang lain.
Pada
akhirnya, membaca bukan soal menghafal seluruh isi buku. Itu hampir mustahil.
Membaca adalah tentang merawat cara berpikir.
Ibarat
membersihkan saringan kotor: airnya mungkin tidak tertampung, tetapi
saringannya menjadi bersih. Kita mungkin lupa detail isi buku, tetapi cara
pandang kita menjadi lebih jernih.
Dan bukankah itu tujuan membaca yang paling hakiki?

Komentar
Posting Komentar