MAUT

Sehari setelah peristiwa tabrak maut di Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu, teman saya menulis dalam status facebook-nya seperti ini, “naik angkot diperkosa, jalan kaki diseruduk mobil, ngesot ditendang satpam, duh… repotnya tinggal di negeri ini.”


Mungkin sekarang perlu ditambah, “…naik bis takut rem nya blong, naik pesawat takut pilotnya sambil nyabu….”

Ringan status itu, seperti status-status lain yang bertebaran di FB, tapi cukup menyentak, khususnya bagi saya.

Bagaimana tidak?

Pernyataan itu mengisyaratkan ke-pesimis-an dapat hidup aman di negeri tercinta ini. Seolah semua wilayah tempat aktivitas warga negeri ini tidak aman, alias rawan bahaya.

Tidak perlu menunjukkan telunjuk kita kepada siapa yang bersalah dalam berbagai kecelekaan di atas. Apakah itu Menhub, Pengusaha angkutan, sopir bis/angkot, pejalan kaki/penumpang, atau siapa. Karena kalau kalau saling menyalahkan, seperti kebiasaan kita dalam mensikapi suatu musibah, ga akan ada hentinya, berputar-putar, mengabiskan durasi waktu talk show sebuah stasiun TV swasta, tanpa ada solusi atau kesimpulan ketika acara itu berakhir.

Lalu?

Ya.. menurut saya sih, yang terpenting adalah:
  • 1.    Meyakini bahwa maut atau kematian adalah ‘hak semua manusia’. Hehehe.. maksudnya semua kita yang namanya manusia pasti akan mati. Ga ada yang bisa nolak yang satu ini. Bahkan, konon ketika kita masih dalam bentuk ruh, ketika dalam rahim ibu kita, Allah sudah menentukan kapan, dimana dan dengan cara apa kita mati kelak.

  • 2.    Hati-hati. Ya, hati-hati, mau gimana lagi. Toh tadi disebutkan, bahwa kematian kita sudah pasti. Cuma masih misteri alias tidak tahu kapan itu. Sehingga hati-hati adalah sikap yang paling tepat (menurut saya lho!). hati-hati sebelum naik angkot, terutama bagi para gadis dan ibu-ibu muda (nenek-nenek boleh saja mungkin, hehehe…), kalau kosong yang jangan naik, baru naik kalu ada penumpang minimal 5 orang, dll, dll.


Setujukah anda?? 

Komentar