Karena penyesalan tak akan mengubah takdir
Saat sarapan Jonan berkata kepada Hendrik anaknya, “Kamu ke
kampus naik motor saja ya! Ayah harus masuk kantor pagi-pagi sekali.”
Hendrik hanya mengangguk, meneruskan sarapannya yang belum
habis.
***
Dengan tergesa Jonan memasuki kantor, langsung bertanya pada
Jeny si Sekretaris, “Bos-bos sudah pada datang?”
“Belumlah, sepagi ini?”
“Syukurlah,” batin Jonan.
Kedatangan pimpinan perusahaan dari kantor pusat membuat
Jonan terbawa sibuk. Pak Hary, pimpinan Cabang, atasan Jonan menyuruhnya
mempersiapkan bahan untuk presentase. Bos dari kantor pusat ingin mengevaluasi
kinerja kantor cabang selama semester terakhir.
Karuan saja, pekerjaan dadakan itu membuat Jonan harus over
time beberapa malam terakhir, walaupun pekerjaannya dilakukan di rumah. Tiga
hari tiga malam, akhirnya Jonan berhasil membuat bahan presentasi.
Beruntung pekerjaannya selesai tadi malam tidak terlalu
larut, sehingga Jonan bisa tidur cukup lama.
“Oh ya, Pak Hary menyuruh Anda langsung mempersiapkan ruang
rapat dengan bahan presentasinya sekalian. Beliau minta jam 8.30 sudah siap.”
Jeny setengah berteriak karena Jonan hampir berbelok ke lorong menuju ruang
kerjanya.
“Oke,” jawab Jonan tanpa membalikkan badan.
***
Setelah menyusun meja dan kursi ruangan rapat, Jonan segera
memasang infokus dan membuka laptop untuk mempersiapkan bahan presentasi. Saat
itulah, Jonan menyadari ada masalah.
“Lho … lho … di mana ya?”
Tas kerjanya di balikkan, isinya semua menghambur,
berjatuhan, tetapi benda kecil yang sedang dicarinya tidak ada. Untuk beberapa
saat Jonan termenung. Tangan kanannya menggaruk-garuk dahinya yang berkerut,
mengingat-ingat sesuatu.
“Sialan, pasti masih nempel di PC di rumah,” lirihnya. Jonan
teringat flashdisc yang dicarinya, yang berisi materi presentasi, masih
tertancap di PC di rumahnya.
Jonan melirik arloji yang menunjukkan waktu pukul 7.55 dan
berkata, “Masih ada waktu dua puluh menit untuk mengambilnya di rumah.”
***
Flashdisc itu bagai nyawanya saat ini. Gagal presentasi,
bukan hanya teguran yang dia dapat, bahkan mungkin pemecatan akan diterimanya.
Memikirkan itu, Jonan memacu mobil dengan kecepatan cukup
tinggi. Di perempatan yang menuju jalan utama, Jonan membelokkan mobil ke
kanan, melewati jalan yang melewati kampus anaknya memang cukup memutar dan
lebih jauh daripada melewati jalan utama. Namun, dengan suasana jalan yang sepi
dibanding kondisi jalan utama, akan membuatnya lebih cepat sampai di rumah dan
kembali ke kantor.
***
Terburu-buru Jonan masuk rumah, bahkan dia tidak merasa
perlu harus membuka sepatu. Langsung menghampiri PC dan betul saja, benda kecil
seukuran jempol tangan itu tertancap di sana.
Sebagaimana saat tadi menuju rumah, balik ke kantor Jonan
juga memacu mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Jam di dashboar menunjukkan
pukul 8.10 dan itu membuatnya tambah panik.
Melewati pertigaan dekat kampus Hendrik, Jonan menerobos
lampu merah setelah melihat ke sekililing dan ke kaca spion dan memastikan
tidak ada yang memperhatikan. Pentingnya dia harus segera sampai di kantor,
membuatnya merasa dibolehkan melanggar lalu lintas.
Tanpa mengurangi kecepatan saat menerobos lampu merah, dan
saat itu pula entah dari mana, tiba-tiba ada sekuter di depannya. Tak sempat
menginjak pedal rem, tak ayal mobilnya menabrak sekuter itu sampai pengemudinya
terlempar sejauh empat meter.
Jonan tidak bermaksud berhenti. Bayangan kemarahan bosnya
dan ketakutan dipecat, membuatnya tak acuh dengan kondisi si pengemudi sekuter.
Terlihat darah di sekitar tubuh si pengemudi sekuter yang masih terbaring, saat
Jonan melewatinya. Kondisi jalan yang sepi membuatnya agak tenang, walaupun
debar jantungnya tetap tidak bisa memungkiri rasa bersalahnya.
***
“Luar biasa! Saya senang dengan capaian yang diraih kantor
ini selama enam bulan terakhir. Selamat … selamat!” Bos dari kantor pusat
menyalami Pak Hary dengan muka memancarkan kepuasan.
“Terima kasih, Pak! Semua ini atas support dari kantor pusat
juga,” balas Pak Hary merendah.
“Oh ya, siapa tadi yang presentasi? Jonan ya nama Anda?”
tanya Bos kantor pusat pada Jonan.
“Be betul, Pak!”
“Materi presentasinya luar biasa, mudah dipahami tetapi
menjelaskan banyak informasi. Tapi sayang, Anda kelihatannya gugup, tidak
tenang. Muka Anda pun kelihatan pucat.”
Jonan hanya mengangguk. Bagaimana tidak gugup dan bagaimana
mau bersikap tenang, kalau setengah jam yang lalu dia telah melakukan tabrak
lari. Masih terbayang dalam kepalanya, bagaimana Si Pengemudi sekuter
tergeletak dan berdarah.
***
Sukses presentasi dan pujian dari Pak Hary tak mengurangi
rasa gugup dan merasa bersalahnya. Jonan duduk termenung di ruang kerjanya
sendirian.
“Tidak, dia tidak apa-apa, itu bukan tabrakan yang keras,”
lirih Jonan menghibur diri. “Lukanya tidak parah, pasti ada yang segera
menolongnya atau membawanya ke rumah sakit.”
Kedua tangannya menyangga kepalanya yang tertunduk. Beberapa
kali kepalanya juga digelengkan, seolah ingin mengenyahkan bayangan Si
Pengemudi sekuter.
***
Sepuluh menit mengurung diri di ruangannya, tiba-tiba Jonan
dikagetkan suara intercom di sebelah kirinya, yang kemudian dengan malas diangkatnya.
Terdengan suara jenny di seberang sana, “Pak Jonan, ada
tamu.”
‘Tamu? Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun,’
pikirnya.
“Tamu siapa, Jen?”
“Polisi, Pak!”
Deg. Jawaban Jeny seolah palu godam yang menghantam dadanya.
Jantungnya berdebar.
‘Polisi? Mungkinkah ada yang melihat peristiwa tadi dan
melaporkan ke polisi?’ Keringat dingin mulai membasahi tubuh Jonan.
“Pak? Halo? Bagaimana, Pak. Apa saya suruh tamunya ke
ruangan Bapak?” tanya Jeny setelah sekian lama Jonan terdiam.
“Ga usah, ga usah, biar saya saja yang menemui. Suruh
menunggu saja di ruang tamu.”
“Baik, Pak!”
***
Saat Jonan masuk, dua orang polisi yang telah menunggunya,
berdiri.
“Maaf, Pak. Say … saya bisa menjelaskan ….” Jonan berusaha
menjelaskan tapi terpotong.
“Maaf, Pak. Ini benar dengan Bapak Jonan Suhartono?” tanya
polisi yang berbadan agak gemuk.
“Betul … betul saya, Pak. Tap … tapi … saya akan menjelaskan
….” Kalimatnya terpotong lagi.
“Maaf, Pak Jonan. Kami hanya ingin mengabarkan berita duka.”
“Berita duka? Berita apa?” Ketakutan Jonan berganti rasa
khawatir.
“Dengan berat hati saya ingin mengabarkan bahwa putra Bapak
mengalami kecelakaan.”
“Hendrik? Di mana kecelakaannya. Di mana sekarang anakku?”
“Dimohon tenang, Pak. Putra Bapak mengalami kecelakaan di
jalan dekat kampusnya. Rupanya putra Bapak menjadi korban tabrak lari. Sekarang
putra Bapak di rumah sakit.”
“Tabrak lari?” pelan Jonan berkata hampir berbisik.
Tiba-tiba terbayang tubuh Si Pengemudi sekuter yang ditabraknya, lalu semua
gelap. Jonan tak sadarkan diri.
Komentar
Posting Komentar