From Zero to Hero: Wahsy bin Harb

 



“Ikuti aku menjadi pengikut Rasulullah, maka engkau akan merdeka.” Bilal berbisik seraya menutup mulut dengan tangannya, setelah menoleh ke kanan ke kiri.

 

“Merdeka bagaimana, engkau tetap saja seorang budak,” jawab Wahsy bin Harb dengan mimik melecehkan.

 

“Ajaran yang dibawa Rasulullah menganggap semua manusia sama. Sederajat. Hanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Satu yang akan menaikkan kemuliaan seorang manusia,” jelas Bilal bin Rabah.

 

“Merdeka yang inginkan bukan merdeka seperti itu.”

 

Bilal terdiam. Dia memahami yang diinginkan Wahsy. Kemerdekaan yang diinginkannya adalah lepasnya dia dari status sebagai seorang budak. Status terendah yang diakui masyarakat Quraisy. Lebih hina dari burung elang peliharaan tuan mereka.

 

Bilal memahami karena berasal dari tempat yang sama, Habasyah. Dan datang ke Makkah sebagai seorang budak yang diperjualbelikan.

 

“Baiklah, aku tidak akan memaksa engkau. Semoga engkau mendapatkan kemerdekaan yang diinginkan.” Bilal menepuk pundak Wahsy dan pergi meninggalkannya.

 

“Ya. Engkau pun harus hati-hati. Cepat lambat Umayyah akan tahu, engkau mengikuti ajaran lelaki itu.” Wahsy memperingati Bilal, dibalas dengan anggukan.

 

Beberapa hari kemudian Wahsy bin Harb merasa pilihannya untuk tidak ikut ajaran baru benar. Dia melihat sendiri bagaimana Umayyah bin Khalaf menyiksa Bilal dengan siksaan terberat yang pernah dilihatnya. Dan bukan hanya Bilal, Ammar pun mengalami hal yang sama. Disiksa siang malam oleh tuannya karena ketahuan menjadi pengikut Rasulullah Saw.

 

Tak urung, Wahsy pun dicurigai tuannya, Jubair bin Muth’im, dan hampir mengalami hal yang sama. Tetapi dia dapat meyakinkan tuannya, bahwa dia tidak mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah Saw.

 

Keinginan Wahsy untuk merdeka semakin menggebu. Apalagi setelah melihat apa yang dialami Bilal dan Ammar. Baginya, hanya dengan status merdeka dia bisa melakukan apa yang diinginkannya.

 

Sampai kemudian harapan untuk meraih kemerdekaan itu tiba. Jubair bin Muth’im yang ingin membalas dendam atas kematian pamanya saat Perang Badar, memintanya untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Imbalannya, dia akan dibebaskan sebagai budak. Tentu saja tugas itu disambut gembira.

 

Ternyata bukan hanya tuannya yang menginginkan kematian Hamzah. Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pun menginginkan hal yang sama. Sejak usai perang Badar, Hindun telah menanam dendam kepada Hamzah bin Abdul Muthalib. Dendam atas kematian ayah dan pamannya yang dibunuh Hamzah saat perang tanding sebelum perang Badar berkecamuk. Dendam yang dipeliharanya bertahun-tahun.

 

“Kau yakin dia mampu membunuh Hamzah?” Hindun mempertanyakan saat Jubair bin Muth’im mengemukaan niatnya akan menyuruh Wahsy.

 

“Kau harus melihat kemampuannya melempar tombak,” jawab Jubair.

 

Jubair lalu mengundang Hindun ke pesta di rumahnya. Lalu, dia menyuruh Wahsy memperlihatkan ketangkasannya melempar tombak.

 

Seorang penari perempuan yang kepalanya dipasang gelang besi disuruh berputar-putar mengiringi alunan musik. Sementara Wahsy disuruh melempar tombaknya ke gelang besi tersebut.

 

Wahsy menatap tajam gelang besi di atas kepala Si Penari yang berputar-putar. Tombak digenggam erat, tangannya sudah terangkat setinggi bahu. Dan … di saat yang tepat menurut perhitungan Wahsy, tombak itu dilemparkan dengan kecepatan tinggi. Tanpa mengenai kepala Si Penari, tombak itu menerobos lingkaran gelang besi. Semua yang melihat atraksi itu terpana.

 

“Tidak ada yang melebih dia dalam urusan melempar tombak.” Jubair bin Muth’im membanggakan budak miliknya.

 

Seusai pesta, Hindun memanggil Wahsy. Diberinya janji akan diberi seluruh perhiasan yang menempel di tubuh Hidun saat itu, gelang-gelang emas, kalung Mutiara, anting serta liontin dari batu mulia.

 

Dan hari itu tiba. Quraisy memberangkatkan tiga ribu pasukan ke bukit Uhud. Misi mereka hanya satu. Membalas dendam atas kekalahan memalukan mereka di Badar.

 

“Sasaranmu adalah Hamzah. Tugasmu hanya satu. Membunuh dia. Begitu dia terbunuh, kau bebas. Bukan budak lagi.” Jubair mempertegas instruksinya kepada Wahsy.

 

Saat peperangan berlangsung, dengan mengendap Wahsy mencari Hamzah bin Abdul Muthalib. Sosok yang dicarinya sedang bertempur dengan gagah perkasa. Bagaikan singa yang mengamuk, sabetan pedangnya memakan banyak korban. Tak ada satu pun sabetan pedangnya yang tidak diiringi teriakan pasukan Quraisy yang meregang nyawa.

 

Ada sedikit kekaguman di hati Wahsy melihat sepak terjang Hamzah. Namun, keinginan kuatnya menjadi orang merdeka telah menggelapkan matanya. Sedikit demi sedikit Wahsy mendekati Hamzah, tombak sudah dipegangnya dengan erat. Hamzah yang tidak menyadari terus bergerak lincah, menangkis dan menyabetkan pedangnya.

 

Setelah sekian jenak memperhatikan gerakan Hamzah, Wahsy sudah menghitung kapan dia harus melemparkan tombaknya. Dan, saat itu tiba. Saat seorang Quraisy menerjang Hamzah, membuatnya harus mengangkat tangan untuk menangkis pedang lawan. Wahsyi tak ingin kehilangan peluang, dengan sepenuh tenaga dilemparkan tombaknya. ‘Tebs’ tombak Wahsy mengenai bagian bawah perut Hamzah, tembus sampai punggung, dan membuat sebagian isi perut Hamzah keluar.

 

Bagaimanapun Hamzah berusaha berdiri tegak, bahkan berusaha berjalan ke arah Wahsy. Tetapi luka di lambungnya yang robek membuat dia roboh. Setelah menunggu beberapa saat dan memastikan Hamzah sudah meninggal, Wahsy menghampiri Hamzah. Dia mencabut tombak dan kembali ke perkemahan Quraisy, melaporkan pekerjaannya.

 

Tidak ada urusan dia dengan peperangan antara pasukan Muslim dan Quraisy tersebut. Misinya datang ke situ hanya untuk melaksanakan tugas demi kemerdekaan yang selama ini diimpikannya. 

 

Setelah perang usai, ada rasa penyesalan di dalam hati Wahsy saat mendengar dari orang-orang, apa yang dilakukan Hindun terhadap mayat Hamzah.

 

“Dia memutilasi Hamzah.”

“Hindun memakan jantung Hamzah.”

“Hindun merobek-robek perut Hamzah.”

 

Tetapi perasaan itu segera hilang setelah dia dinyatakan merdeka dan diberi sekantung perhiasan. Kini Wahsy meraih semua yang diimpikannya. Bukan hanya merdeka, tetapi merdeka dengan banyak harta.

 

Namun hanya beberapa tahun saja Wahsy menikmati kemerdekaannya. Seiring bergulirnya waktu, ajaran Islam semakin tersebar di Jazirah Arab. Dan, itu membuat Wahsy ketakutan. Ketakutan aka nada tuntutan atas kematian Hamzah bin Abdul Muthalib. Hidupnya semakin tidak tenang, karena di Makkah pun pemeluk semakin bertambah.

 

Tatkala Rasulullah Saw membawa rombongan dari Madinah menuju Makkah, saat peristiwa Fathul Makkah, Wahsy ketakutan sekali. Sehingga dia melarikan diri ke Thaif. Tetapi hanya untuk beberapa saat. Penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsy semakin bingung harus tinggal di mana.

 

Dalam keadaan seperti itu, seorang temannya memberi nasihat. “Percuma kau lari kemana pun. Satu-satunya yang akan menyelamatkanmu adalah, kau masuk Islam. Muhammad tidak akan membunuh orang yang mau menerima ajarannya.”

 

Mendengar itu, Wahsy kemudian pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah Saw dan akan menyatakan masuk Islam.

 

Di hadapan Rasulullah Saw Wahsy mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, mengingat Wahsy adalah yang membunuh pamannya, Rasulullah Saw berpaling dan tidak mau menatap Wahsy. Rasulullah menyatakan ketidaksukaannya kepada Wahsy. Dan, ini membuat Wahsy bersedih. Sampai Rasulullah Saw meninggal, beliau tidak mau melihat wajah Wahsy.

 

Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan dipegang Abu Bakar Ash-Shidiq. Di bawah kepemimpinannya, Bani Hanifah dari Nejed menyatkan murtad, keluar dari Islam, di bawah pemimpinnya Musailamah al-Kazab yang mengaku-ngaku nabi.

 

Abu Bakar pun mengirim pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid untuk menumpas pemberontakan tersebut. mendengar ini, Wahsy merasa mendapat peluang untuk menebus dosanya. Dia kemudian bergabung dengan pasukan Khalid dan bertekad membunuh Musailamah dengan tombak yang dulu membunuh Hamzah.

 

Saat peperangan berkecamuk dan pasukan Muslim berhasil mendesak pasukan musuh, Wahsy kemudian berusaha mendekati posisi Musailamah. Setelah mendapat posisi yang ideal untuk melemparkan tombaknya, Wahsy menunggu saat yang tepat.

 

Waktu yang ditunggu Wahsy tiba, tanpa membuang waktu, dilemparkannya tombak dengan sekuat tenaga. Tombak dengan kecepatan tinggi itu tepat mengenai sasaran. Membuat Musailamah, pemimpin pemberontak itu tewas seketika.

 

Melihat sasarannya tewas, Wahsy merasa senang. Akhirnya dia bisa menebus kesalahannya telah membunuh Hamzah.

 

 

Sumber:

1.      Memetik Hikah 101 Sahabat Nabi, Hepi Andi Basoni, Pustaka al-Bustan.

Biografi 104 Sahabat Nabi, Syaikh Mahmud Al-Mishri, Insan Kamil.

Komentar