Saat Obsesi Mengalahkan Emosi
Sudah tiga hari terakhir ini, media cetak dan online
mewartakan kasus pembunuhan berantai. Bermula tiga hari yang lalu, ditemukan
dua sosok tidak bernyawa di dua lokasi yang berjauhan. Namun, yang menarik,
ciri kedua mayat itu mirip; laki-laki, usia sekitar 30 tahun, dibunuh dengan
dengan cara diracun, dan dibunuh bukan di lokasi tempat mayat itu ditemukan.
Semula, polisi dan masyarakat mengira kemiripan ciri dari
kedua mayat itu hanya kebetulan belaka. Ternyata, esoknya ditemukan kembali
mayat dengan ciri yang sama. Kemudian kemarin, tiga hari setelah ditemukan
mayat pertama, ditemukan kembali dua mayat lagi, masih sama, dengan ciri-ciri
yang mirip mayat sebelumnya.
Sejak itulah, polisi dan masyarakat menyimpulkan, kelima
mayat itu dibunuh oleh orang yang sama. Kehebohan pun terjadi, bahwa sekarang
sedang berkeliaran pembunuh berantai. Seorang psikopat.
*
Siang itu Andi hendak kembali ke kantor setelah istirahat
makan siang, ketika tiba-tiba dia melihat Toni di seberang jalan. Andi merasa tidak
mungkin salah, yang dia lihat pasti Toni teman SMA dulu. Walaupun sudah
berpisah 10 tahu lebih sejak lulus SMA, Andi masih mengenal ciri-ciri Toni.
“Toni! Hey Toni,” panggil Andi seraya menghampiri Toni. “Kamu
Toni, kan? SMA empat Bandung!”
Toni sedikit kaget.
“Andi? Kau kah, Andi?” tanya Toni gugup.
“Iya! Masa kau lupa sama teman sekelas.”
“Bukan begitu, ga ngira ketemu kamu di sini.”
“Aku memang kerja di sini. Sudah tiga tahun aku tinggal di
sini. Aku juga kaget saat melihatmu. Kamu kok ada di sini?” tanya Andi tak
kalah kaget.
“Aku sedang ada riset. Aku baru seminggu di sini,” jelas
Toni.
“Riset? Riset apa, emang kamu kerja di mana?” Andi makin
penasaran.
“Bagaimana kalau kita ketemu lagi nanti? Sekarang aku lagi
buru-buru.”
“Oke, aku juga harus sudah masuk kantor. Bagaimana kalau jam
enam nanti?” pinta Andi.
“Oke, di mana?”
“Di rumahku saja,” jawab Andi sambil menyerahkan kartu nama.
“Oke. Sampai nanti.”
*
Pukul enam lewat, Toni memenuhi janjinya.
“Kamu tinggal sendiri?” tanya Toni setelah dipersilahkan
duduk.
“Ya. Istri dan anakku masih di Bandung. Nantilah, kalau
sudah punya rumah, aku boyong ke sini.”
“Jadi di sini kamu nge-kost?”
“Ya … begitulah. Kamu sendiri, riset apa yang mengharuskanmu
datang ke kota kecil ini?”
Toni tidak segera menjawab. Dia sedikit gugup. Terlihat saat
mengambil gelas dan minum. Seolah itu untuk menutup kegugupannya.
“Aku kerja di media online,” jawab Toni setelah meletakkan
gelas. Toni kemudian menyebutkan nama sebuah media online.
“Hobimu nulis di majalah dinding rupanya kau teruskan, ya?”
“Ya, aku bertugas di bagian investigasi. Rubrik kriminal.
Sudah hampir empat tahun aku jadi reporter kasus-kasus kriminal.”
“Wow, menarik kayaknya.”
“Awalnya iya. Setahun dua tahun aku menikmatinya. Beberapa
kasus aku terlibat menyelidikinya bersama polisi. Tapi lama kelamaan bosan
juga.”
“Lalu?” tanya Andi penasaran dengan ceritanya.
“Aku tadinya mau mengundurkan diri. Tapi bosku menantangku
untuk menjadi penulis,” lanjut Toni.
“Penulis? Apa bedanya?” tanya Andi lagi.
“Maksudnya menulis fiksi. Bosku menantangku untuk menulis
cerita bersambung di mediaku. Kalau ceritaku nanti banyak yang ‘read’,
ratingnya tinggi, aku akan mendapat bonus tambahan yang lebih besar dari
sekedar meliput kasus.”
“Oh ya? Lalu, kau sudah mulai nulis ceritanya?”
“Sudah! Sudah jalan dua belas chapter. Sampai saat ini yang ‘read’
lumayan. Tapi aku belum puas. Aku harus menulis cerita yang betul-betul mirip
dengan kenyataan.”
“Ooh … jadi itu alasan kamu sedang riset. Ngomong-ngomong
kamu nulis cerita tentang apa?” Andi semakin tertarik dan penasaran.
“Pembunuhan!” jawab Toni singkat.
“Pembunuhan?”
“Ya. Tapi tidak seperti pembunuhan yang aku temui dalam
kasus-kasus selama ini. Pembunuhan dalam ceritaku ini penuh misteri.
Sampai-sampai polisi tidak bisa mengungkap kasusnya, walaupun korban sudah
jatuh sembilan orang.”
“Sembilan?” Andi kaget, “Berarti itu pembunuhan berantai?”
“Ya. Pembunuhan berantai sangat jarang terjadi. Bahkan
selama aku meliput kasus pembunuhan, perasaan belum pernah terjadi.” Toni
terlihat bersemangat menjelaskannya. “Pembaca harus menikmati cerita yang
berbeda. Yang lain daripada yang lain.”
“Lalu, riset apa yang kamu kerjakan, sampai harus jauh ke sini?”
Andi memotong penjelasan Toni.
Toni terbatuk-batuk, terlihat gugup lagi. Tak menyangka
kupotong dengan pertanyaan itu. Andi pun merasa aneh dengan perubahan sikapnya
yang mendadak itu. Tapi keanehannya terganggu saat telepon berdering.
Andi pun bangkit, setelah memberi kode pada Toni untuk minta
izin untuk menerima telepon. Andi menghampiri gagang telepon di atas kulkas.
Rupanya dari kantor, mengkonfirmasi beberapa pekerjaan tadi siang.
Andi kembali menghampiri Toni. Dia sedang menutup tas
tangannya saat Andi duduk kembali. Dia pun sudah tidak terlihat gugup lagi.
“Pertanyaanku belum dijawab ya? Jadi, riset apa?” Tanya Andi
Kembali.
“Yaa … riset yang bisa mendukung jalan ceritaku,” Toni
mengambil gelas dan meminumnya. Andi pun turut mengambil gelasnya dan minum.
Lalu lanjutnya, setelah meletakkan gelas, “Supaya aku
sebagai penulis bisa lebih menjiwai.”
“Maksudmu?” Andi belum mengerti maksud dari riset yang dia
jelaskan.
Toni tidak menjawab, dia malah minum lagi. Andi pun jadi
terbawa, meminum lagi minumannya. Namun, setelah tegukan ketiga dia merasa
pusing. Pandangannya kabur. Toni terlihat senyum, lebih tepat menyeringai, saat
semakin kabur bayangan wajahnya di mata Andi. Sampai kemudian Andi ambruk,
terjatuh pingsan.
***
Komentar
Posting Komentar