Duel, Alternatif Penegakan Hukum?

 


Hanya kebetulan, di saat riuh tersiar berita bunuh diri seorang mahasiswi di pusara ayahnya, saya menyaksikan film The Last Duel. Dan usai nonton, saya jadi merasa ada relasi antara cerita di film itu dengan kasus yang melatarbelakangi si mahasiswi tadi melakukan bunuh diri.

 

Film bergenre action dan sejarah ini dirilis bulan Oktober kemarin. Dengan latar belakang Prancis di tahun 1386, saat Raja Charles VI berkuasa, film ini menceritakan perseteruan antara Jean de Carrouges (diperankan oleh Matt Damon) dengan Jacques Le Gris (diperankan oleh Adam Driver). Padahal keduanya merupakan kesatria (Knight) yang saling bersahabat.

 

Puncak perseteruan mereka berlangsung dengan cara duel ala Eropa era itu. Duel berkuda dengan senjata tombak panjang. Duel yang dilakukan di hadapan raja dan rakyat Prancis itu berakhir dengan terbunuhnya salah seorang dari mereka.

 

Menariknya, kenapa kemudian saya menyebut ada relasi dengan kasus bunuh diri Novia Widyasari. Duel dua kesatria itu dipicu oleh ‘pemerkosaan’ yang dilakukan Le Gris terhadap Marguerite (diperankan oleh Jodie Comer), istri dari Jean de Carrouges. Kasus yang sama yang dialami oleh Novia Widyasari. Itulah mengapa saya menggunakan tanda kutip di kata pemerkosaan.

 

Pemerkosaan yang dialami marguirite ini yang menjadi pokok cerita film The Last Duel, dan menjadi titik unik film ini. Dan uniknya, film berdurasi 2 jam setengan ini dibagi menjadi 3 chapter. Kalau dalam novel mungkin sama dengan POV (Point of View), yaitu

Chapter 1: Kebenaran Menurut Jean de Carrouges

Chapter 2: Kebenaran Menurut Jacques Le Gris

Chapter 3: Kebenaran Menurut Marguerite de Carrouges

 

Ketiga chapter masing-masing menayangkan adegan yang sama, yaitu rangkaian peristiwa sampai Marguirite diperkosa oleh Le Gris. Sehingga ada beberapa adegan film yang diulang-ulang, namun ditayangkan dengan angle (sudut pandang) yang berbeda. Sehingga walaupun diulang, adegannya menjadi terlihat berbeda dan tetap menarik. Ini tentunya dimaksudkan oleh sang Sutrada untuk menjelaskan chapter itu versi siapa, atau siapa yang menjadi POV.

 

Pembagian ini yang membuat saya berpikir film ini ceritanya ada kaitan dengan kasus pemerkosaan terhadap Novia yang dilakukan oleh pacarnya, yang seorang Bripda itu. Karena, ketiga chapter itu mempunyai pandangan yang berbeda terhadap kasus perkosaan yang dialami Marguerite. Sehingga, kasus perkosaan itu kebenarannya harus dibuktikan dengan cara duel.

 

Hanya karena dalam satu kesempatan (sebelum mengalami perkosaan) Marguerite pernah mengatakan kepada temannya, bahwa Le Gris memang lelaki yang tampan, yang membuat wanita-wanita terpesona, pengakuannya sebagai korban perkosaan tidak dipercaya pengadilan. Alih-alih, malah Marguirite dituduh memfitnah Le Gris. Diperkuat oleh sangkalan Le Gris sendiri yang membantah melakukan pemerkosaan.

 

Apa yang dialami Marguirite tersebut dirasakan pula oleh Novia Widyasari (bahkan setelah meninggal). Menjadi korban perkosaan tetapi hampir jadi tertuduh hanya karena apa yang dilakukannya ‘dahulu’. Bahkan Marguirite sampai harus menjawab pertanyaan konyol Sang Hakim, “Apa kau menikmatinya (perkosaan)?”

 

Pernyataan (lama) Marguirite bahwa Le Gris tampan, fakta kehamilan Marguirite, dan penyangkalan Le Gris, membuat Sang Pengadil mengambil sikap ambigu. Dan, karena pengadilan yang digelar tidak bisa memastikan siapa yang bersalah dalam perkara tersebut, maka Raja Charles VI mengambil sikap, kebenaran harus dibuktikan melalui duel antara Jean de Carrouges dengan Jacques Le Gris.

 

Jika Jean de Carrouges kalah dan mati dalam duel tersebut, maka Marguerite de Carrouges akan dibakar hidup-hidup sebagai hukuman karena dianggap telah berbohong dan memfitnah.

 

Sedangkan Novia Widyasari, yang telah 2 kali hamil sehingga harus melakukan 2 kali aborsi, mendapat teror dari orang tua dan keluarga pacarnya, serta pandangan miring dari sebagian masyarakat, atas perilaku sex bebasnya. Yang semuanya itu membuat Novia depresi dan mengambil jalan pintas untuk menghilangkan depresinya dengan mengakhiri hidup melalui sebotol sianida. Sebagaimana diakuinya melalui ‘suicide note’ yang disampaikan kepada ibunya. Pesan yang kemudian viral di media sosial dengan tagar #Save_Novia_Widyasari’’

 

Nasib wanita. Relasi itu yang saya tangkap. Nasib yang membuat kedua wanita, Marguirite dan Novia, harus tertimpa tangga setelah terjatuh. Menjadi korban perkosaan, namun tetap mendapat stigma negatif.

 

Stigma negatif yang sepertinya sekarang ini saat mudah sekali disematkan masyarakat terhadap seseorang, yang dianggap keluar norma, tanpa harus merasa tahu apa latar belakang yang sebenarnya terjadi.

 

Masih banyak, yang ikut-ikutan memberi stigma negatif tersebut, hanya karena itu yang sedang ramai di media sosial. Seolah-olah kalau tidak mengikuti arus ‘trending topic’ akan menjadi orang yang bersalah dan ketinggalan.

 

Sisi lainnya, akhir film yang menjadi pembedakan antara nasib Marguirite dan Novia Widyasari, membuat saya kemudian berpikir dan bertanya-tanya yang lalu saya tulis menjadi judul tulisan ini, “Duel, Alternatif Penegakan Hukum?”.

 

Maksud saya, untuk menyelesaikan kasus yang dialami Novia widyasari, yang berlarut-larut, apakah harus diambil jalan ‘di luar hukum’ untuk menegakkan hukum?

 

Entahlah!

Komentar