Guru Tanpa Seragam

 



Di antara puluhan guru yang telah mendidik dan mengajari saya, sejak SD sampai lulus SMA, ada beberapa orang ‘guru’ yang tidak atau kurang terperhatikan oleh orang tua saya, juga oleh orang tua teman-teman saya.

 

Guru ngaji.

 

Ya. Guru yang telah mengenalkan huruf-huruf hijaiyah hingga saya bisa membaca al-Quran. Bukan ustaz. Bukan, karena mereka hanya anak-anak STM (sekarang SMK), yang lebih sering kami panggil Aa (kakak).

 

Saya tinggal di sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Barat. Sampai tahun 1980an hanya ada satu sekolah kejuruan dengan jurusan khusus, pertanian. Kami sering menyebutnya STM Pertanian. Jarak dari rumah saya ke sekolah ini hanya 1 kilometer.

 

Karena sekolah satu-satunya, siswanya banyak dari luar kecamatan dimana saya tinggal, bahkan banyak juga dari luar kabupaten. Sehingga mereka harus kost. Supaya cukup berjalan kaki, mereka memilih kost di rumah-rumah yang dekat sekolah, termasuk di dekat rumah saya.

 

  Baca juga: PD Karena Terpaksa


Di antara mereka, maksudnya anak-anak STM yang nge-kost itu, ada beberapa yang dengan sukarela mau mengajari anak-anak kampung membaca al-Quran. Inisiatif mereka, tanpa meminta bayaran.

 

Setiap sore, menjelang Magrib sampai Isya, anak-anak kampung akan berangkat ke mushola, atau ‘tajug’ istilah di kampung saya. Belajar huruf hijaiyah, berkelompok sesuai jumlah guru ngaji yang datang.

 

Mereka, guru-guru ngaji itu, tinggal hanya 3 tahun saja. Setelah lulus sekolah mereka pulang ke daerah masing-masing, dan kemudian mereka akan digantikan oleh adik kelasnya (siswa baru), yang sama juga harus nge-kost.

 

Demikian terus setiap tahun. Sehingga kami memiliki banyak guru ngaji, dengan berbagai karakter, dengan berbagai ciri khasnya masing-masing.

 

Di antara guru-guru ngaji yang bergantian itu, ada satu yang masih berkesan bagi saya. Namun, sayang saya sudah tidak ingat namanya. Terkesan, karena dia pandai mendongeng. Setelah selesai mengajar, menunggu waktu Isya, dia sering mendongeng dengan berbagai cerita, baik cerita binatang seperti Si Kancil, maupun cerita tentang kerajaan.


   Baca juga: Kenapa Kita Harus Bekerja?

 

Entah di mana mereka sekarang berada. Kalau mengingat usiaku sekarang, mungkin beberapa di antara mereka ada yang sudah meninggal dunia. Semoga apa yang mereka lakukan dulu, mengajari kami mengenal huruf-huruf hijaiyah, mengajari kami cara berwudu, cara salat, mengajari beberapa bacaan salawat, dibalas Allah SWT dengan pahala yang terus mengalir.

 

Mereka dulu saat mengajar hanya memanfaatkan waktu luang, itu pun tidak diminta. Kadang mereka ketika awal datang (baru masuk sekolah), mereka hanya menemani kakak kelasnya mengajari kami. Sampai kemudian kakak kelasnya itu pulang kampung karena selesai sekolah (lulus). Mereka lalu yang menggantikan mengajari anak-anak kampung. Sampai mereka pun akhirnya lulus, dan digantikan oleh anak-anak STM yang baru.

 

Yang diajarkan oleh mereka hal sederhana. Tidak menggunakan metode pembelajaran, tidak menggunakan fasilitas selain al-Quran yang kami bawa. Tidak memakai seragam, hanya berpeci dan bersarung.

 

Tulisan ini sebagai bentuk terimakasih saya kepada mereka, yang telah mengenalkan huruf hijaiyah, mengajari anak-anak kampung dengan sabar, sampai kami bisa membaca al-Quran dengan lancar.

 

Tentu saja saya tidak menafikan peran guru-guru sekolah formal yang telah mendidik dan mengajari saya. Peran para guru sekolah formal: SD, SMP dan SMA, tentu saja sangat besar, bahkan tak terhingga. Tidak mampu saya menuliskan peran mereka dalam 400 atau 1.000 karakter. Terlalu banyak.

 

Saya hanya mencoba mengingat peran guru ‘yang lain’. Yang tidak disebut guru, hanya disebut Aa. Mereka guru yang tidak berseragam.

 

Selamat hari guru.

Komentar