Berperang Hanya karena Allah

 





Di antara orang-orang yang pertama kali menerima dakwah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Padahal usianya saat baru sepuluh tahun. Selain memiliki sifat berani, Ali bin Abi Thalib pun dikenal sebagai pemuda yang berakhlak mulia. Bahkan dalam suasana berperang pun Ali bin Abi Thalib selalu menjaga akhlaknya. 


Dalam satu pertempuran yang seru antara pasukan Muslim dan kafir Quraisy, Ali bin Abi Thalib mendapat lawan yang setimpal, dari sisi usia maupun kemampuan bermain pedang. 


Keduanya telah hampir setengah jam bertarung. Namun, duel antara keduanya belum menunjukkan mana yang lebih unggul, atau siapa yang bakal kalah. 


Ali bin Abi Thalib yang menggunakan pedang Dzulfikar terus berusaha mendesak lawannya. Begitupun dengan pemuda Quraisy. Tak mau kalah, pedangnya diayunkan ke kanan ke kiri berusaha menekan Ali.


Namun, Ali merasa menemukan kesempatan baik, saat pedang lawannya terselip di ujung pedang Dzulfikar. Pedang Dzulfikar memang berbeda dengan pedang pada umumnya. Ujungnya tidak runcing, melainkan terbelah dua beberapa senti. 


Ali bin Abi Thalib tidak ingin membuang kesempatan, pedang Dzulfikar dia hentakkan dengan sekuat-kuatnya sehingga pedang lawan terlepas dari tangannya. Sedetik si pemuda Quraisy kaget pedangnya terlepas, dan tanpa sadar matanya menatap pedangnya yang terlempar ke atas. 


Di detik itu pula Ali bin Abi Thalib memiliki kesempatan baik untuk menendang dengan kuat dada lawannya dengan kaki kanannya.


Si pemuda Quraisy pun terjengkang ke belakang. Tanpa membuang waktu Ali bin Abi Thalib langsung menghampiri lawannya yang terlentang di tanah. Ali pun menginjak dada musuhnya dengan kaki kanannya seraya tersenyum. 


Dengan kedua tangannya Ali bin Abi Thalib mengangkat tinggi-tinggi pedang Dzulfikar yang akan diarahkan untuk memenggal kepala si pemuda Quraisy. 


Namun, “Cuihhh!” Sesaat sebelum Ali bin Abi Thalib mengayunkan pedang Dzulfikar-nya, si pemuda Quraisy meludahi muka Ali. 


Ali bin Abi Thalib menurunkan pedang Dzulfikar-nya dengan pelan. Untuk beberapa jenak Ali bin Abi Thalib tertegun melihat muka lawannya. Lalu, tanpa berbuat apa-apa, Ali bin Abi Thalib membalikkan badannya dan berjalan meninggal lawannya yang masih terlentang dan sudah pasrah hidupnya akan berakhir saat itu juga. 


Beberapa orang sahabat yang melihat peristiwa itu terheran-heran oleh tindakan Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan lawannya begitu saja. 


Beberapa sahabat yang penasaran itu kemudian mengejar Ali bin Thalib. 


“Wahai, Ali. Apa yang kau lakukan? Mengapa kau tidak jadi mengakhiri hidup si Quraisy itu?” tanya salah seorang sahabat. 


“Aku hampir saja mengayunkan pedangku untuk memenggal kepalanya. Tapi tidak jadi karena dia telah meludahi mukaku!” jawab Ali bin Abi Thalib. 


“Lalu, masalahnya apa kalau dia meludahi mukamu?” Sahabat yang lain bertanya makin penasaran. 


Ali bin Abi Thalib menyempatkan tersenyum sebelum menjawab, “Aku hanya khawatir!”


“Khawatir kenapa?”


“Setelah diludahi, emosiku muncul, aku marah. Makanya aku tidak jadi memenggal kepalanya. Karena aku khawatir, aku membunuhnya karena nafsu, karena marah, bukan karena Allah!” jawab Ali bin Abi Thalib. 


Para sahabat pun saling pandang mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib. Beberapa di antara mereka bahkan menggelengkan kepala, tanda heran sekaligus takjub pada akhlak Ali bin Abi Thalib. 



Hikmah dari kisah di atas adalah:

  1. Kebencian atau kecintaan kita pada seseorang hendaknya didasari karena Allah, bukan karena nafsu. 

  2. Jangan campuri niat ikhlas dalam berjihad (berdakwah) dengan keinginan-keinginan pribadi, walaupun itu hanya berupa perasaan. 


#uripwid

Komentar