Berdasarkan penuturan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yang
pernah saya baca di sebuah media online, sampai pertengahan tahun 2021 tercatat
ada 429 Kepala Daerah yang terjerat korupsi. Ditambah 9 Kepala Daerah lagi,
menurut Kompas online, yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2022.
Tentu saja jumlah yang mencapai hampir 500 Kepala Daerah itu
bukan jumlah yang sedikit. Jumlah yang sangat mengagetkan.
Pertanyaannya, kenapa mereka korupsi, ya?
Alasan sederhana dan sering menjadi joke di warung
kopi adalah, mereka butuh balik modal. Maksudnya, mereka melakukan korupsi
karena ingin mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan selama proses pilkada.
Dan menurut saya alasan itu cukup logis, lho.
Kenapa?
Coba kita hitung biaya yang diperlukan, sejak proses
pencalonan sampai kemudian ditetapkan KPU serta biaya selama kampanye sampai
pelaksanaan pilkada.
"Berdasarkan kajian Litbang Kemendagri biayanya sungguh luar biasa, untuk menjadi bupati atau menjadi wali kota dibutuhkan biaya sebesar Rp 20-30 miliar, dan untuk menjadi calon gubernur itu dibutuhkan biaya sebesar Rp 20-100 miliar." Begitu kata Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, yang saya baca di sebuah media.
Itu biaya yang dapat diperhitungkan, maksudnya biaya-biaya
yang sudah jelas peruntukannya. Seperti untuk biaya kampanye dan alat peraganya,
biaya operasional tim sukses, serta untuk biaya saksi di TPS saat hari-H
pemilihan. Tentu biaya yang tidak dapat dihitung lebih banyak lagi.
Kalau biaya yang tadi disebutkan itu saya istilahkan ongkos
politik atau Cost Politic, maka biaya yang kedua saya akan beri istilah Money
Politic.
Biaya sebesar 20-30 miliar yang disebutkan Wakil Ketua KPK
tadi adalah baru Cost Politic. Belum Money Politc, lho. Dan biaya
Money Politic ini bisa lebih besar dari Cost Politic. Artinya
biaya yang dikeluarkan seorang kepala daerah, Bupati, Walikota atau Gubernur, totalnya
bisa 2-3 kali dari 20-30 miliar.
Lalu, kenapa harus ada Money
Politic?
Untuk menjawabnya, kita telusuri terlebih dahulu, bagaimana
proses seseorang menjadi kepala daerah.
Untuk menjadi kandidat kepala daerah, seseorang dapat
menempuh dua jalur. Jalur independen dan jalur parpol. Jalur independen dilalui
dengan memperoleh dukungan dari masyarakat dengan jumlah tertentu yang
terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang dipersyaratkan UU.
Sedangkan jalur parpol, artinya seseorang yang ingin maju
dalam pilkada harus memiliki dukungan dari parpol atau gabungan parpol sebanyak
minimal 20 persen dari keseluruhan jumlah kursi DPRD.
Katakanlah di sebuah daerah, jumlah kursi DPRD nya ada 45
kursi. Maka untuk maju dalam pilkada, seseorang (serta pasangannya) harus
memiliki dukungan 20% dari 45 kursi atau 9 kursi DPRD.
Akan tidak jadi masalah, jika seseorang yang ingin maju itu
seorang Ketua atau Pemimpin parpol yang memiliki kursi 9 di DPRD. Maka, dia
akan melenggang dengan mudah dalam pencalonan, bahkan dia dapat memilih sendiri
siapa yang akan menjadi pasangannya.
Namun, akan bermasalah, dan tentu berbiaya high cost,
kalau seseorang yang ingin maju itu bukan Ketua atau Pemimpin parpol. Maka, dia
harus membeli ‘perahu’ sebanyak minimal 9 kursi DPRD, sebagai syarat
pencalonan.
Transaksi membeli ‘perahu’ ini atau sering juga disebut
mahar politik adalah Money Politic yang saya maksudkan. Harga mahar ini
akan semakin tinggi, seiring banyaknya yang ingin maju di pilkada.
Lalu, berapa harga satu perahunya?
Itu tergantung. Tergantung posisi parpolnya di DPRD.
Tergantung jumlah kursinya di DPRD, dan sebagainya. Yang jelas, tentu harganya
bukan kaleng-kaleng.
Nah, biaya (modal) yang bermiliar-miliar itu, biaya gabungan
Cost Politic dan Money Politic, tentu tidak akan sanggup diganti
kalau hanya mengandalkan pendapatan resmi (gaji) sebagai kepala daerah, yang
cuma lima tahun.
Memang berapa gaji walikota atau bupati?
Gaji bupati tahun 2021 sesuai dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 59 Tahun 2000 Perubahan PP Nomor 9 Tahun 1980 sebesar Rp 2,1 juta
per bulan, dan untuk wakil bupati adalah Rp 1,8 juta per bulan.
Namun tak hanya gaji pokok. Bupati dan wakil bupati juga
mendapatkan uang tunjangan. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2001
tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu, tunjangan bupati
sebesar Rp 3,78 juta per bulan, dan wakilnya mendapatkan Rp 3,24 juta per
bulan.
Jadi, seorang bupati akan mendapatkan ‘penghasilan’ dari
gaji dan tunjangan sebesar Rp. 5,88 juta per bulan (sesuai 2 PP di atas). Dan
penghasilan sebesar ini tentu saja masih jauuuh kalau untuk menutupi
modal yang sudah dikeluarkan.
Dan, korupsilah cara tercepat dan termudah untuk kejar
setoran, untuk mengganti modal tersebut.
Jadi menurut saya, dengan memakai logika kebalikannya, untuk
mencegah kepala daerah korupsi, harus dibuat sistem atau aturan yang membuat
para kandidat tidak terbebani harus ‘balik modal’.
Salah satunya adalah, aturan syarat minimal kursi parpol
untuk mencalonkan kepala daerah harus diubah. Syarat minimal 20% kursi itu
harus diperkecil menjadi 5% saja. Dengan demikian semua parpol berhak
mengajukan calon untuk kandidat kepala daerah.
Jadi nanti biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala
daerah betul-betul hanya untuk Cost Politic. Dan tidak dipusingkan harus
‘membeli perahu’ sebagai syarat pencalonannya.
Dengan memperkecil modal yang harus dikeluarkan seorang
calon kepala daerah, diharapkan keinginan dia untuk melakukan korupsi menjadi
tidak ada.
Kecuali kalau memang syahwat mencurinya kelewat
tinggi.
Dampak lain dengan memperkecil atau menghilangkan syarat parpol
mengajukan calon kepala daerah adalah, setiap parpol mempunyai hak yang sama
untuk mencalonkan kepala daerah. Sehingga jumlah kandidat akan semakin banyak. Masyarakat
(pemilih) akan mempunyai lebih banyak alternatif untuk dipilih.
Hal ini pun akan meringankan setiap calon kepala daerah saat
menargetkan perolehan suara untuk memenangi pilkada. Semakin banyak calon,
target suara yang dibutuhkan untuk menang akan semakin kecil, dan berarti biaya
kampanye dan biaya tim sukses juga lebih kecil (murah).
Tetapi lagi-lagi kembali ke syahwat si Kepala Daerah. Kalau kata Bang Napi mah, tergantung niat.
Komentar
Posting Komentar