Tulisan ini merupakan jawaban dari tulisan yang saya tulis di blog ini juga sebelas tahun yang lalu yang berjudul Kenapa Kita harus Bekerja?
Kalau rezeki sudah ditakar dan takkan tertukar.
Kalau setiap orang sudah punya jatah rezekinya.
Kenapa kita harus bekerja?
Kalimat di atas mungkin pernah Anda baca atau dengar.
Sebagian dari kita mungkin banyak juga yang setuju dengan kalimat tersebut,
dalam arti mempertanyakan hal yang sama.
Rezeki dan bekerja, atau ikhtiar, dua kata yang menjadi inti
dari pertanyaan kita. Dua hal yang akan saya jelaskan juga melalui tulisan ini.
Pertama saya akan menukil sebuah hadis yang diriwayatkan
Ibnu Mas’ud. Hadis tentang proses terjadinya janin di dalam rahim seorang ibu.
Di ujung hadis ada kalimat begini, “kemudian diutus kepadanya (janin)
seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk
menetapkan empat perkara: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau
bahagianya.”
Hadis di atas ada di kitab Sahih Bukhari nomor 6594 dan di
Sahih Muslim nomor 2643.
Jelas ya, 4 hal sudah default dalam hidup kita.
Rezeki, hal yang kita bicarakan, termasuk dalam keempat hal
yang ditetapkan itu. ini menjelaskan pula bahwa saat rezeki kita sudah habis
jatahnya, saat itulah hidup kita di dunia ini berakhir. Jatah hidup kita
berakhir.
Masalahnya adalah rezeki itu seperti halnya kematian,
sesuatu yang pasti tetapi misterius. Mati itu pasti, tapi misteri bagi kita;
kapan, di mana, sedang apa, atau sedang bagaimana.
Begitupun rezeki. Rezeki sudah pasti, karena sudah
ditetapkan (hadis di atas), tetapi masih misteri; sebesar apa, sebanyak apa, turun
lewat cara apa, dan kapan turunnya.
Lalu kenapa kita harus berkerja?
Atau, bagaimana hubungannya dengan bekerja atau berikhtiar?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat firman Allah Swt di surat
Adz-Dzariyat ayat ke-56,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku”.
Jadi, Allah Swt menciptakan kita, di dunia ini, hanya
untuk beribadah, tidak untuk yang lain.
Atau dengan kata lain, hidup kita di dunia ini hanya untuk beribadah.
24 jam hidup kita untuk ibadah.
Lalu, apa hubungannya bekerja dengan ibadah?
Tidak ada hubungannya.
Apa?
Iyya. Tidak da hubungan! Karena bekerja itu ya ibadah itu
sendiri.
Maksudnya?
Jadi begini, kalau ibadah itu kita artikan hanya pelaksanaan
rukun Islam; salat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Apakah semua itu sudah
mencakup seluruh hidup?
Tentu tidak, kan?
Coba lihat ibadah salat. Berapa lama waktu yang digunakan untuk
melaksanakan salat? Paling lama 10 menit tiap salat. Dikali 5 kali salat wajib,
total sehari semalam kita menghabiskan waktu 50 menit dari 24 jam waktu hidup
kita. Salat hanya menghabiskan waktu 3,5%.
Puasa apalagi, kalau kita lihat yang wajib saja, puasa bulan
Ramadan, itu cuma sebulan dalam 12 bulan, artinya cuma 8,33% dari hidup kita.
Apalagi ibadah haji, yang hanya diwajibkan kepada yang mampu
saja. Kalau dihitung, akan lebih banyak yang tidak melaksanakan ibadah haji
daripada yang melaksanakan.
Padahal hidup kita seluruhnya harus dalam rangka ibadah
kepada-Nya (QS. Adz-Dzariat: 56).
Dengan demikian ibadah itu tidak cukup ibadah ritual seperti
salat, puasa, zakat atau haji. Aktivitas hidup yang lain pun harus menjadi
ibadah, termasuk bekerja atau berikhtiar. Jadi bekerja adalah ibadah.
Kalau bekerja, dan ikhtiar lain, itu ibadah, berarti sama
dengan kita melaksanakan salat, puasa, atau ibadah haji?
Iya, itu maksudnya.
Ibadah itu harus diawali niat, bertujuan mencari ridho Allah
Swt, dan pelaksanaannya mengikuti contoh Rasulullah Saw.
Jadi, saat Anda keluar rumah di pagi hari menuju tempat
kerja, tempat usaha, sampai kemudian pulang kembali ke rumah, itu semuanya adalah
ibadah. Demikian pula Anda yang berjualan atau berbisnis. Anda berangkat ke
tempat jualan, sampai kembali pulang, itu adalah ibadah. Dan, itu tidak melihat
apakah hasil jualan Anda, untung atau rugi.
Selama Anda mengawali dengan ‘bismillah’ (dengan nama
Allah), diakhiri dengan tawakal, dan selama pelaksanaannya tidak ‘batal’.
Kita melaksanakan salat, diawali dengan takbir, diakhiri
salam, tetapi kalau di tengah pelaksanaan salat itu kita batal, buang angina,
maka salat kita tidak sah, atau ibadah kita batal.
Begitupun dengan saat kita bekerja atau berjualan atau
berbisnis, jangan batal di tengah-tengah kita bekerja atau berbisnis itu. Karena
kalau batal saat bekerja atau berbisnis kita itu, maka tidak bisa disebut sebagai ibadah.
Dalam ibadah salat, yang membatalkannya itu buang angin atau
gerakan di luar gerakan salat yang berlebihan. Sedangkan dalam bekerja,
berjualan, atau berbisnis, yang akan membatalkannya itu adalah perbuatan bathil,
seperti mencuri (korupsi), indisipliner, menipu, berbuat licik, berbuat
zalim, dan sebagainya.
Kalau selama bekerja, berjualan, atau berbisnis kita
melakukan itu semua, maka sama saja dengan kita buang angin saat melaksanakan
salat. Aktivitas kita tidak menjadi ibadah, karena batal.
Kalau setiap hari kita melakukan hal tersebut terus-menerus,
berarti kita terus menerus tidak beribadah. Dan, berarti kita melaksanakan
perintah Allah Swt di surat Adz-Dzariyat di atas. Audzubillaahimin dzalik.
Jadi jawaban pertanyaan ‘kenapa kita mesti bekerja?’ karena
bekerja itu adalah ibadah.
Demikian saja. Wallahu ‘alam.
Komentar
Posting Komentar