<Kisah ini benar-benar terjadi di zaman kekhalifahan Bani
Umayyah, atau beberapa puluh tahun setelah Rasulullah Saw wafat. Beberapa
sahabat Rasulullah Saw ada yang masih hidup.>
Tersebutlah sepasang suami-istri, Farukh dan Suhaila, yang
baru menikah. Mereka, suami-istri itu, dikenal sebagi orang-orang yang
berakhlak mulia, dan dari keluarga yang terhormat. Tak heran, pernikahan mereka
dihadiri oleh para sahabat dan para tabi’in.
Saat itu, dakwah Islam sudah menyebar sampai jauh ke
daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Bahkan, di masa kekhalifahan Bani Umayyah,
dakwah Islam sudah tersebar ke hampir setengan wilayah dunia, dan tidak
berhenti. Khalifah terus mengirim pasukan-pasukan Muslim untuk memerangi siapa
pun yang menghalangi dakwah Islam.
Menjadi tentara dan pergi berjihad merupakan sebuah
kehormatan. Kehormatan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada pilihan saat pergi
berjihad bersama pasukan Muslim, selain kebaikan. Kalau menang saat berrperang,
maka itu merupakan kemuliaan. Dan kalau pun gugur, sebagai syuhada, Allah Swt
sudah menjamin akan masuk surga.
Keinginan untuk pergi berjihad pun timbul di dalam diri
Farukh. Maka dia mengutarakan keinginannya itu kepada Suhaila.
“Suhaila, istriku, sepekan lagi Khalifah akan mengirim
pasukan untuk membantu pasukan Muslim yang berangkat beberapa bulan yang lalu.
Dan aku berniat untuk ikut berjihad bersama pasukan yang akan berangkat itu.”
“Wahai suamiku, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu yang
mulia ini. Namun, apakah harus sekarang? Padahal kita baru menikah tiga bulan.”
Suhaila, sang Istri, meminta pertimbangan.
Farukh untuk beberapa jenak terdiam. Tapi kemudian,
“Sepertinya keinginanku berjihad sudah sangat kuat dan tidak bisa ditunda,
istriku. Insya Allah aku berangkat hanya untuk beberapa bulan. Doakan saja
supaya aku selamat dan kita dapat berkumpul kembali.”
Mendengar jawaban suaminya, Suhaila pun dengan berat hati
mengizinkan Farukh berangkat.
Sehari sebelum pemberangkatan pasukan Muslim, Farukh
menyerahkan sejumlah uang kepada istrinya seraya berkata, “Istriku, ini bekal
selama aku berangkat. Insya Allah cukup untuk beberapa bulan, sampai aku
kembali pulang.”
Setelah berkata demikian, Farukh menyerahkan sebuah kotak
kepada istrinya. “Dan ini adalah harta simpananku, yang telah kutabung semenjak
sebelum kita menikah. Jumlah pastinya aku tidak tahu, tapi diperkirakan tidak
akan kurang dari 30.000 dinar. Kutitipkan harta simpananku ini kepadamu, dan
jangan sekali-kali menggunakan uang di dalam kotak ini, sebelum aku pulang.”
Keesokan harinya, Suhaila mengantar suaminya sampai di depan
pintu rumah. Tidak ada satu kalimat pun keluar dari mulutnya. Tatapan sendu dan
airmata yang membasahi kedua pipinya cukup mewakili isi hati Suhaila.
Memahami gejolak yang terjadi di dalam hati istrinya, Farukh
hanya mengucapkan satu kalimat.
“Astawdi’ukallah al-ladzi laa tadi’u wa daa ‘iuhu.”
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah
menyia-nyiakan titipan)
***
Suhaila pun mengisi hari-harinya dengan penuh kesedihan.
Bagaimanapun, sebagai seorang yang belum lama menikah, kesendirian dirasakannya
sangat menyiksa. Apalagi kemudian dia merasakan ada yang tumbuh di dalam
perutnya.
Ya, tanpa sepengetahuan suaminya, Suhaila ternyata sudah
berbadan dua. Masa tiga bulan pernikahan mereka rupanya sudah berbuah.
Maka kemudian, setiap hari yang dilakukan Suhaila selain
berdoa adalah mengetahui kabar tentang suaminya. Setiap ada pasukan yang tiba
dari medan perang, dia selalu menanyakan kabar suaminya, dan selalu tidak ada
yang mengetahui kabar suaminya.
Hari berganti hari, bulan pun bergulir berganti bulan.
Tibalah saatnya Suhaila melahirkan. Dengan menggunakan sisa uang pemberian
suaminya yang semakin berkurang, dia dan anaknya bertahan hidup. Dalam hatinya
selalu muncul godaan untuk menggunakan uang simpanan suaminya yang berjumlah
30.000 dinar. Namun, mengingat pesan suaminya, maka ia urung menggunakannya.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya, terpaksa Suhaila bekerja.
Hingga kemudian, saat usia anaknya menginjak 5 tahun,
Suhaila mendapat kabar bahwa Farukh, suaminya, telah gugur di medan perang.
Tentu saja berita itu sangat menggetarkan hatinya. Untuk menahan gejolak di
dalam dirinya, dia hanya berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.”
Setelah mendengar berita duka itu, Suhaila pun membuka
simpanan suaminya. Namun, dia bertekad bahwa uang simpanan suaminya itu hanya
akan digunakan untuk pendidikan anaknya, bukan untuk makan sehari-hari. Maka,
dengan telaten dia mendidik anaknya. Mengajaknya ke majelis-majelis ilmu dan
dzikir. Serta membawanya ke majelis-majelis para ulama menyampaikan ceramah.
Suhaila pun mengundang beberapa guru ke rumah untuk
mengajari anaknya Al-Quran dan As-Sunnah. Dia membayar mereka dengan uang
simpanan suaminya. Tak lupa Suhaila selalu berdoa supaya anaknya kelak menjadi
seorang yang saleh sekaligus berilmu.
***
Tiga puluh tahun kemudian.
Di sebuah wilayah yang sangat jauh dari Kota Madinah, di
daerah yang berbatasan dengan Cina, sekelompok pasukan Muslim sedang
beristirahat. Mereka baru saja memenangkan pertempuran.
Di antara pasukan Muslim itu, tersebutlah seorang prajurit
yang berusia 50 tahun, yang terlihat gelisah. Entah mengapa, beberapa hari ini
di kepalanya selalu terbayang wajah istrinya. Istrinya yang sudah
ditinggalkannya 30 tahun yang lalu untuk berjihad.
Karena sangat rindunya pada sang istri, maka dia pun meminta
izin kepada komandan pasukan untuk pulang ke Madinah. Dan setelah mendapat
izin, prajurit itu yang ternyata Farukh segera berangkat menuju Madinah dengan
mengendarai unta.
Perlu waktu sebulan untuk sampai di Madinah. Namun,
kerinduannya pada sang istri telah memompa motivasi dan semangatnya untuk
menyelesaikan perjalanan itu secepat mungkin.
Akhirnya, menjelang sore, sampai juga Farukh di gerbang
masuk kota Madinah. ada keraguan dalam dirinya. Apakah istrinya masih tinggal
di rumah yang dulu? Apakah istrinya masih ingat padanya? Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Untuk menenangkan hatinya dari keraguan-keraguan tersebut,
dia beranjak ke Mesjid Nabawi. Farukh kemudian melaksanakan salat sunat dua
rakaat kemudian berdzikir sambil menunggu waktu salat Asar.
Setelah selesai salat Asar dan berdzikir, Farukh melihat
puluhan bahkan ratusan jamaah duduk melingkar, mengelilingi seorang ulama yang
tidak diketahuinya. Melihat jumlah jamaahnya yang banyak, sudah pasti ulama
tersebut termasuk ulama besar. Farukh pun ikut duduk dan menyimak semua yang
disampaikan ulama besar tersebut.
Muncul kekaguman dalam diri Farukh setelah mengetahui
kedalaman ilmu dan kepiawaian ulama tersebut dalam menyampaikan ilmu, serta
caranya berinteraksi dengan murid-muridnya. Farukh berusaha mengingat-ngingat
siapa ulama besar tersebut. Selama 30 tahun meninggalkan Madinah, ternyata
banyak perubahan yang terjadi.
Kekaguman Farukh bertambah-tambah, setelah mengetahui di
antara ratusan jamaah yang menyimak ulama besar itu ternyata ada Imam Malik bin
Anas (salah satu dari Imam Mazhab), di sebelahnya duduk Imam Sufyan Tsauri, dan
di sebelahnya lagi ada Imam Laits bin Sa’ad.
Farukh kemudian bertanya ke salah seorang jamaah yang duduk
di sebelahnya, “Siapakah Syekh itu?”
Yang ditanya bukannya menjawab, malah bertanya dengan
keheranan, “Anda tidak tahu siapa ulama besar itu?”
Farukh kemudian menjelaskan bahwa dia seorang yang baru tiba
di Madinah.
Orang itu kemudian menjelaskan. Ulama besar itu adalah
sumber rujukan utama di Madinah. Dia salah satu dari tujuh ulama Madinah, yang
disebut ‘Al-Ulama al-Madinah Sab’ah’. Namanya adalah Rabi’ah bin Abdurrahman.
Farukh benar-benar tidak mengenalnya, bahkan dia tidak bisa melihat wajahnya
karena jauh dari tempat duduknya yang di belakang.
Setelah ta’lim selesai dan jamaah membubarkan diri. Farukh
pun kemudian berjalan ke arah rumahnya. Beberapa meter dari rumahnya, Farukh
berhenti dan tertegun. Di dalam hatinya masih muncul pertanyaan, ‘Apakah
Suhaila masih mengingatnya?’
Beberapa saat kemudian, Farukh melihat ada seorang lelaki
berpakaian seperti seorang Syekh akan memasuki rumahnya. Farukh tentu saja
terkejut, kok ada lelaki yang tidak dikenalnya hendak memasuki rumahnya. Farukh
pun kemudian berlari mendekati lelaki itu dan menegurnya.
“Heh, Siapa kamu. Apa yang akan kau lakukan di rumahku?
Siapa yang mengizinkanmu masuk ke rumahku?”
Lelaki tadi, yang ternyata seorang Syekh, kaget ditegur
tiba-tiba, tapi dia kemudian berbalik bertanya dengan nada yang sama tinggi,
“Kamu siapa? Kok berani-beraninya melarang saya memasuki rumahku?”
“Ini rumahku!” bentak Farukh.
“Tidak, ini rumahku!” balas si Syekh.
Mendengar keributan yang terjadi, orang-orang berdatangan,
salah satunya adalah Imam Malik bin Anas. Mereka kemudian membela si Syekh,
apalagi mengetahui Farukh adalah orang asing, tidak ada yang mengenalnya
seorang pun.
Orang-orang pun, termasuk Imam Malik bin Anas, mengusir
Farukh dan memintanya untuk meninggalkan Madinah.
Karena orang-orang memegangi dan mendesaknya untuk pergi,
maka Farukh berteriak dengan sangat nyaring, “Aku Faruuuukh! Aku Farukh pemilik
rumah ini.”
Tiba-tiba muncul seorang wanita tua dari dalam rumah, dan
berteriak. “Ya Allah! Wahai saudara-saudaraku, orang ini adalah Farukh. Dia
suamiku, lepaskan dia!”
Suhaila kemudian menatap dan memegang wajah Farukh. “Selamat
datang suamiku. Tahukah kamu, dia adalah anak kita.”
Setelah mengetahui yang sebenarnya, orang-orang pun
membubarkan diri. Sementara Suhaila kemudian membawa Farukh memasuki rumah.
Syekh, putra mereka tidak ikut masuk, seolah memberi waktu kepada kedua
orangtuanya untuk saling melepas rindu.
Di dalam rumah, mereka membicarakan apa yang mereka alami
selama 30 tahun. Sampai kemudian Farukh menanyakan uang simpanan yang ia
titipkan kepada istrinya.
Mendapat pertanyaan dari suaminya itu, Suhaila malah
bertanya, “Suamiku, apakah engkau tadi ke masjid Nabi sebelum pulang ke rumah
ini?”
“Ya, aku tadi salat Asar di sana!” jawab Farukh.
“Apa yang engkau lihat di sana?” tanya Suhaila lagi.
“Aku melihat seorang Syekh yang luar biasa. Namanya Rabi’an
bin Abdur-Rahman. Ratusan orang mendengarkan uraian ilmu darinya. Aku
sepertinya tidak akan melupakan Syekh itu seumur hidupku.”
“Apakah engkau ingin seperti Rabi’ah bin Abdurrahman
walaupun kehilangan semua kekayaan?”
“Tentu saja aku mau. Aku ingin seperti dia walau harus
kehilangan kekayaan yang kumiliki.”
“Apakah engkau rela menghabiskan seluruh kekayaanmu untuk
membiayai anakmu supaya seperti Rabi’ah bin Abdurrahman?”
“Ya! bahkan kalau itu lebih baik lagi.”
Setelah berdiam beberapa jenak, Suhaila kemudian berkata,
“Rabi’ah bin Abdurrahman itu adalah anakmu, putra kita. Ia adalah orang yang
bertengkar denganmu tadi di depan pintu. Dia lahir beberapa tahun setelah
engkau pergi. Dan aku telah menggunakan uang simpanan yang kau titipkan
kepadaku untuk mendidiknya sampai kemudian dia menjadi seorang ulama.”
Rona kebahagiaan dan kebanggaan terpancar dari wajah Farukh
begitu mendengar penjelasan istrinya. Dia bersyukur kepada Allah Swt yang telah
memberinya seorang istri yang setia dan amanah, juga seorang anak yang saleh
dan berilmu.
*****
*Kisah diambil dari buku Salaf Stories karya Abdullah bin Abdurrahman.
Ya Alloh...jadikan hamba mempunyai pemahaman seperti pemahaman Suhaila,dan suaminya farukh, kisah inspiratif yang memotivasi pentingnya ilmu dalam kehidupan manusia. Semoga manfaat Baarokah tulisan kisah tersebut,menjadi ladang amal bagi penulisnya,orang2 yang dianugerahi Alloh kemampuan berbagi melalui tulisan.Tetimakadihsmg Alloh meridhoi...Aamiin.
BalasHapus